Channel9.id-Jakarta. Mantan Kepala Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) Raden Priyono dan Deputi Finansial Ekonomi dan Pemasaran BP Migas Djoko Harsono dituntut 12 tahun penjara ditambah denda Rp1 miliar subsider enam bulan kurungan karena dinilai terbukti melakukan korupsi penunjukan langsung kondensat PT Trans Pasific Petrochemical Indotama (PT TPPI).
“Menuntut supaya menjadi hakim pengadilan tindak pidana korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menyatakan terdakwa Raden Priyono dan terdakwa Djoko Harsono terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana dakwaan primer,” kata Jaksa Penuntut Umum Agung Bima Suprayoga di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin, 8 Juni 2020.
“Menjatuhkan pidana terhadap para terdakwa berupa pidana penjara masing-masing selama 12 tahun dan pidana denda sebesar Rp1 miliar dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar maka diganti dengan pidana kurungan masing-masing selama 6 bulan,” tuntut Jaksa Agung.
Tuntutan itu berdasarkan dakwaan pertama yaitu pasal 2 ayat (1) jo pasal 18 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
“Hal yang memberatkan, para terdakwa selaku pimpinan pada BP Migas tidak mendukung pemerintah dalam rangka menyelenggarakan penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari KKN,”kata Agung. “ Hal-hal yang meringankan para terdakwa tidak menikmati uang hasil kejahatan, telah ada pemulihan kerugian keuangan dan kerugian keuangan negara sebesar US$ 2,566 juta yang disetorkan ke rekening pada Bank Indonesia terdiri dari pokok dan denda sebesar pokok US$ 2,577 juta, US$ 10,659juta.”
Dalam perkara ini, Raden Priyono dan Djoko Harsono dinilai terbukti melakukan perbuatan yang merugikan keuangan negara senilai US$ 2,588 juta (sekitar Rp37,8 triliun). Perbuatan itu dilakukan bersama dengan mantan Direktur Utama PT TPPI, Honggo Wendratno, yang hingga kini masih buron sehingga sidang Honggo digelar secara in absentia.
Kasus bermula Dirut PT TPPI Honggo Wendratno mengajukan program PSO (public service obligation) melalui surat ke BP Migas. Honggo mengklaim, selain mampu menghasilkan produk aromatic (paraxylene, benzene, orthoxylene, toluene), PT TPPI juga mampu memproduksi bahan bakar minyak khususnya mogas RON 88 (bensin premium) sebagaimana Surat Nomor : TPPI/BPH Migas/L-040 tertanggal 5 Mei 2008 yang ditujukan kepada BP Migas.
Padahal saat itu PT TPPI mengalami kesulitan keuangan dan telah berhenti berproduksi dan PT TPPI memiliki utang kepada PT. Pertamina (Persero). Honggo kemudian mengirimkan surat permohonan kepada Djoko selaku agar TPPI dapat membeli minyak mentah/kondensat sebagai bahan baku langsung dari BP Migas untuk produksi BBM guna memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Atas permohonan itu, Djoko menyetujuinya. Raden Priyono kemudian menunjuk PT TPPI sebagai penjual Kondensat bagian negara tapi penunjukan itu menyalahi prosedur.
Penunjukan langsung PT TPPI sebagai penjual kondensat bagian negara tidak melibatkan Tim Penunjukan Penjual Minyak Mentah/Kondensat Bagian Negara sehingga tidak pernah dilakukan kajian dan analisa. Selain itu penunjukan TPPI sebagai penjual kondensat bagian negara tidak melalui lelang terbatas, tidak terdaftar di BP Migas, tidak pernah mengirim formulir atau penawaran, dan TPPI tidak menyerahkan jaminan berupa open credit/irrevocable LC.
Priyono dan Djoko kemudian menyerahkan kondensat bagian negara kepada TPPI dari kilang Senipah, kilang Bontang Return Condensate (BRC) dan kilang Arun tanpa dibuatkan kontrak kerja sama dan tanpa jaminan pembayaran. Akibat penyerahan kondesat itu, Honggo tidak mengolah kondensat bagian negara itu di kilang TPPI.
TPPI mengolah kondensat bagian negara yang seharusnya menjadi produk mogas 88, kerosene dan solar yang dibutuhkan PT Pertamina, menjadi produk-produk olahan kondensat yang tidak dibutuhkan PT Pertamina. Akibatnya, semua produk olahannya tidak dijual ke PT Pertamina (Persero) tetapi dijual ke pihak lain.
Jumlah keseluruhan penyerahan kondensat bagian negara kepada Honggo sejak 23 Mei 2009 sampai 2 Desember 2011 sekitar 33 juta barel dengan nilai US$ 2,716 juta.
Terkait perkara ini, Honggo Wendratno dituntut 18 tahun penjara ditambah denda Rp1 miliar subsider 6 bulan kurungan ditambah kewajiban membayar uang pengganti sebesar diwajibkan membayar uang ganti rugi sebesar US$ 128,23 juta.