Channel9.id – Jakarta. Kementerian Luar Negeri (Kemlu) RI mencatat bahwa terjadi peningkatan jumlah korban perekrutan perusahaan penipuan berbasis daring (online scam) di luar negeri yang menyasar pada warga negara Indonesia (WNI).
Direktur Perlindungan WNI dan BHI Kemlu RI Judha Nugraha mengungkapkan, sebanyak 1.185 WNI telah menjadi korban perusahaan daring di sepanjang tahun 2022.
Ia mengatakan, para korban itu tersebar di Kamboja sebanyak 864 orang, 81 orang di Myanmar, 107 orang di Filipina, 102 orang di Laos, dan 31 orang di Thailand.
Baca juga: Kadiv Hubinter: 34 WNI Korban Online Scam di Kamboja Ditipu, Disekap hingga Tidak Diberi Makan
Baca juga: DPR Apresiasi Kapolri: Luar Biasa Polri Bebaskan 34 WNI Korban Online Scam di Kamboja
“Dari angka tersebut, kita melihat peningkatan tajam, misalnya di Kamboja saja pada 2021 ada 116 kasus kemudian bertambah menjadi 864 kasus. Ini perlu menjadi concern kita bersama,” ujar Judha di Jakarta, Jumat (10/2/2023).
Untuk menangani kasus tersebut, lanjut Judha, diperlukan langkah-langkah komprehensif dan terkoordinasi di antara pemangku kepentingan, terkait di Indonesia dan di negara tujuan.
“Langkah-langkah yang mencakup penanganan kasus serta aspek pencegahan penting dilakukan,” tutur Judha.
Menurut catatan Kemlu, dari 1.000-an WNI korban yang dipulangkan ke Indonesia, ada yang kembali ke luar negeri dan bekerja di jenis perusahaan yang sama.
“Ini yang perlu kita atasi bersama, terutama memberikan awareness kepada masyarakat agar jangan mudah tertipu dengan lowongan pekerjaan di media sosial yang menawarkan gaji besar tetapi tidak minta kualifikasi dan tidak mensyaratkan visa kerja,” ungkapnya.
“Jika (masyarakat) tahu ada yang janggal atau merasa ada yang salah, ya jangan memaksakan diri. Kita paham ada motif ekonomi untuk mencari pekerjaan dan penghidupan yang bagus. Tetapi kalau sudah tahu dan mendeteksi ini akan jadi masalah ya jangan berangkat,” sambung Judha.
Menurutnya, ada perbedaan antara para korban online scam dengan kalangan WNI yang mengincar pekerjaan informal secara ilegal di Malaysia. Pekerjaan yang dimaksud tersebut adalah pekerjaan yang hanya berbekal keahlian rendah, misalnya sebagai penata laksana rumah tangga (PLRT).
Judha juga mengungkapkan, korban umumnya memiliki latar belakang pendidikan yang bagus dan dari kalangan ekonomi berada.
Mereka juga berasal dari kota-kota besar, seperti Jakarta, kota-kota di Sumatera Utara, Kalimantan Barat, dan Sulawesi Utara.
“Yang berangkat ini adalah anak-anak muda berpendidikan, lulus SMA atau kuliah, dan bukan dari keluarga yang tidak mampu. Hanya memang mereka tergiur tawaran kerja yang gajinya berkisar 1.000-1.200 dolar AS,” ucap Judha.
Untuk meminimalisir angka kasus penipuan perusahaan online, Juda menegaskan pemerintah Indonesia mesti mengupayakan langkah-langkah pencegahan dan penindakan di dalam negeri maupun di negara-negara yang terkait.
Judha menegaskan, calo yang menjadi perantara antara WNI dengan perusahaan ‘bodong’ itu juga harus diadili karena telah melanggar UU Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran dan UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO).
“Dan sekaligus kita dorong negara tujuan untuk melakukan tindakan terhadap perusahaan-perusahaan yang memperkerjakan (para WNI). Jadi pelaku di Indonesia ditangkap, di sana juga ditangkap,” ungkapnya.
Selain itu, pemerintah pun harus memastikan perlindungan terhadap korban dengan mengatasi kasus secepatnya serta memfasilitasi proses rehabilitasi dan reintegrasi kepada para korban WNI yang dipulangkan dari luar negeri.
HT