Oleh: Edy Budiyarso*
Channel9.id-Jakarta. Jakarta di awal kemerdekaan 1945, menjadi hari yang teramat sibuk bagi para pendiri bangsa. Denyut nadi sejarah sedang bergerak cepat seakan tak sabar menyosong zaman baru.
Di pusaran pergerakan, ada satu nama yang tak boleh terlewatkan dalam kronik awal kemerdekaan Indonesia, dialah Raden Mas Margono Djojohadikoesoemo, 51 tahun.
Priyanyi Banyumas, Jawa Tengah yang kental pembelaan terhadap nasib kaum pribumi. Sikap patriotik ini bukan sekedar adanya pencerahan (aufklarung) hasil anomali pendidikan politik etis Belanda, tetapi secara built in, dalam darah Margono mengalir semangat perlawanan leluhurnya yang berada di deretan utama panglima perang Pangeran Diponegoro.
Garis ini pula yang membuat Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta memberi kepercayaan besar kepada tokoh Badan Persiapan Usaha Kemerdekan (BPUPKI) sebagai Ketua Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS) di negara baru merdeka.
Sebagai Ketua DPAS ia dilantik secara sederhana bersamaan pelantikan 16 menteri dalam kabinet presidensil dibawah Presiden Bung Karno dan Bung Hatta pada 2 September 1945 dirumah Bung Karno di jalan Pegangsaan, Menteng, Jakarta.
Di negara yang ibarat bayi masih “jabang merah,” maka organ-organ kenegaraan belumlah sempurna. Tubuh negara masih seadanya. Di sisi lain ada urusan dengan tentara Jepang yang baru kalah perang dan Belanda yang bersiap kembali menjajah.
Selain portofolio sebagai tokoh pergerakan kemerdekaan, ada alasan lain mengapa Margono ditunjuk sebagai Ketua DPAS? Sebuah lembaga yang di dalam UUD 1945 sejajar dan dapat memberi nasihat kepada Presiden. Ditilik dari sisi usia saat itu, Margono terbilang cukup senior.
Bung Karno enam tahun lebih muda, Bung Hatta 7 tahun, bahkan dengan Bung Syahrir terpaut jauh 15 tahun.
Alumni sekolah pangreh praja OSVIA (Opleiding School Voor Inlandsche Ambtenaren) Magelang ini sudah menjadi pegawai djawatan perkreditan rakyat dan Koperasi (Volkscredietwezen) masa Kolonial. Pekerjaannya lebih banyak mengurusi persoalan ekonomi atau perut rakyat, karenanya ia lebih dekat dengan Wakil Presiden Hatta yang Ekonom lulusan Handels Hoogere School (Sekolah Tinggi Ekonomi) Rotterdam, Belanda.
Saat itu Indonesia belum memiliki bank sendiri. Sirkulasi perdagangan masih menggunakan bank asing seperti De Javasche Bank. Maka, Margono merasa perlu Republik baru ini punya bank nasional yang dikelola bangsa sendiri.
Suatu hari sekitar bulan September 1945, Margono mengusulkan gagasan itu kepada Ir. Surachman Wakil Menteri Keuangan yang masih kemenakannya.
Surachman berpandangan lain, Margono tak perlu repot membuat bank baru. Cukup menasionalisasi De Javasche Bank Republik akan langsung punya bank beserta perangkat dan seluruh pegawainya yang sudah terampil tanpa perlu repot membuat bank baru.
Margono tak berhenti disitu, gagasannya kemudian dia diskusikan dengan Wakil Presiden Mohammad Hatta. Sebagai Ekonom Bung Hatta paham arti pentingnya sebuah bank dalam perjuangan ekonomi nasional. Bung Hatta menyambut baik gagasan tersebut.
Akhirnya, Bung Hatta bersama Margono menyusun surat kuasa. Saat itu, tanggal 16 September 1945 dan tiga hari kemudian atau pada 19 September, dalam Rapat Kabinet sore hari di kediaman Bung Karno di Pegangsaan Timur Menteng Jakarta, surat kuasa pendirian Bank Negara kepada Margono ditandatangani Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Moh. Hatta.
“Naskah aslinya disita Belanda pada agresi militer kedua Desember 1948,” ujar Margono dalam memoarnya, ‘Kenang-Kenangan Dari Tiga Zaman’.
Margono senang, gagasannya akan segera terwujud. Namun, masalah langsung ada di depan mata. Ia harus memutar otak mencari modal. Beberapa pengusaha di Jakarta, Bandung, Surabaya, Yogyakarta dan Solo, ia hubungi. Hasilnya nihil, maklum situasi negara masih belum menentu.
Atas saran sahabatnya, Mr Surojo seorang notaris di Jakarta, Margono disarankan untuk mendirikan Yayasan untuk menampung sementara dana. Maka dibuatlah Akte Yayasan Pusat Bank Indonesia dengan modal pertama disetor £ 100 uang Jepang dari simpanan keluarga Margono.
Rupanya usaha Margono tak sia-sia. Beberapa langkahnya mendapat perhatian dari dr. Soeharto, dokter Soeharto juga dokter pribadi Presiden Soekarno. Rupanya dr. Soeharto mengelola dana sumbangan bantuan masyarakat dari rumah Bung Karno.
Awalnya disebut sumbangan Fonds Perang sejak 1943 dan namanya berganti menjadi Fonds Kemerdekaan setelah Jepang resmi menyebut akan memberi kemerdekaan bagi Indonesia.
Fonds yang berasal dari bantuan sumbangan dari desa dan kota inilah yang kemudian diurus Bung Karno dan Bung Hatta untuk seluruh pendanaan perjuangan. Seperti membiayai kepergian tokoh-tokoh ke daerah dan diputar dalam kegiatan pasar malam, pertunjukan kesenian, dan lain-lain.
Bertambah semangat Margono, ia mendapat bantuan dana cukup besar £ 340.000 uang Jepang. Modal ini ia gunakan untuk mengurus staf bagian administrasi. Kantornya, Margono menduduki gedung peninggalan Belanda di Menteng 23 yang ditulis “Milik Republik”.
Namun situasi keamanan di Jakarta semakin tidak menentu. Tentara NICA Belanda datang membonceng tentara Sekutu Inggris. Maka, di awal Januari 1946, kantor Bank Negara pindah ke Yogyakarta menempati kantor De Javasche Bank. BNI kemudiaan diperkuat posisinya kemudian Presiden menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) No 2 Tahun 1946 yang kelak akan dasar lahir Bank Negara Indonesia 1946.
Dalam periode sibuknya hijrah Jakarta-Yogyakarta. Margono mendapat kabar duka. Tepat sore hari di tanggal 26 Januari 1946 dua putera kesayangannya gugur dalam pertempuran Lengkong, Tangerang.
Mereka adalah Letnan Satu Subianto Djojohadikoesomo, 22 tahun dan adiknya Taruna Soejono Djojohadikoesoemo,17 tahun, taruna Akademi Militer Tangerang.
Mendung akhir September 1946 begitu mengguncang keluarga Margono. Dikabarkan, para kadet Akademi Militer Tangerang yang dipimpin Mayor Daan Mogot, hendak merampas senjata Jepang dari satu markas di hutan karet kawasan Lengkong (sekarang sekitar BSD Tangerang).
Dalam buku Siliwangi Dari Masa ke Masa (1979) disebutkan pertempuran Lengkong antara Jepang dan Resmin IV Tentara Keamanan Rakyat (TKR) Tangerang yang diperkuat 2 peleton taruna Akademi Militer Tangerang (AMT).
Ceritanya berawal, tentara Sekutu Inggris yang sudah mendarat di Jakarta sudah memasuki Bogor pada 24 Januari 1946. Mereka berencana merampas senjata dari Batalyon Jepang di Lengkong.
Mendengar kabar ini Resimen IV Tangerang bergerak mendahului. Tujuannya agar senjata Jepang bisa dipakai mempersenjatai TKR dan tidak jatuh ke tangan Belanda. Operasi Lengkong pun disetujui kantor penghubung TKR Jakarta. Bahkan kantor penghubung TKR melibatkan 4 serdadu Gurkha Inggris yang membelot ke Indonesia, sehingga nantinya Jepang akan mengira perampasan atas sepengatahuan militer Sekutu. Untuk itu Resimen IV mendapat pinjaman truk Gurkha.
Operasi pun berjalan tanggal 25 Januari. Siang hari konvoi truk Gurkha melaju membelah jalan berdebu ke arah selatan Jakarta barat. Operasi dipimpin Mayor Daan Mogot dan dua perwira Letnan Subianto dan Letnan Soetopo serta 4 perwira Gurkha Inggris.
Sesampai di Markas Jepang Mayor Daan Mogot memimpin negosiasi dengan Komandan Jepang Kapten Abe. Negosiasi awalnya berlangsung damai, taruna AMT mulai menaikan senjata ke atas truk ketika tiba-tiba meletus suara tembakan.
Negosiasi bubar keributan dan tembak menembak pecah. Pertempuran di markas tentara Jepang tak berjalan seimbang. Tentara Jepang lebih terlatih dalam pertempuran, mereka menyapu taruna yang rata-rata masih baru belajar jadi tentara. Akibatnya, 37 taruna menjadi korban, termasuk tiga perwira dan Komandan Mayor Daan Mogot.
Berita pertempuran Lengkong masih samar-samar sampai Jakarta. Baru esok harinya 26 Januari ada kepastian, Jepang akan membebaskan tawanan Resimen IV dan mengubur secara layak pimpinan TKR dan taruna AMT yang tewas yang sebelumnya dikubur seadanya oleh Jepang.
Diantara 37 jazad tentara syuhada inilah dua putra Margono turut ditemukan. Di dalam kantong celana Letnan Subianto, terdapat secarik kertas dengan tulisan Puisi Karya Penyair terkemuka Belanda Henriette Roland Holts dalam bahasa Belanda.
Wij zijn de bouwers van de tempel miet
Wij zijn de sjouwers van de stenen
Wij zijn het geslacht dat moest vergaan
Opdat een betere oprijze uit onze graven.
Puisi ini kemudian diterjemahkan oleh sahabat Margono, wartawan senior zaman perang Rosihan Anwar dan dipatrikan di atas pusara Kapten (An) Subianto setelah mendapat pemakaman yang layak.
Margono beranak empat dengan tiga putra dan satu putri. Akhir September 1946 yang kelam, di bawah mendung keluarga Margono sungguh berkabung. Hanya dalam satu hari ia kehilangan langsung dua putra yang disayangi sebagai kusuma pertiwi.
Kelak nama Subianto itulah dilekatkan pada cucu kesayangan Margono dari putranya yang tersisa, Prof. Soemitro Djojohadikoesoemo, Prabowo Subianto dan nama Soejono disematkan kepada adiknya Hashim Soejono Djojohadikoesoemo.
Kini apa yang diperjuangkan Margono masih ada. Bank BNI 46 menjadi salah satu dari tiga bank terbesar milik Pemerintah. Sedangkan cucu kesayangannya menjadi Presiden ke-8 Republik Indonesia.
*Sejarawan dari Berbagai Sumber