Menangkal Terorisme Dengan HAM
Opini

Mata Batin dan Keperkasaan Logika

Oleh: HM. Soffa Ihsan

Channel9.id – Jakarta. Orang awam biasa menyebut mata batin. Yaitu kemampuan hati manusia untuk menangkap gejala di sekitarnya sehingga mampu menyingkapnya menjadi tidak rahasia. Kemampuan seperti ini dapat dilakukan oleh ahli kasyaf atau mereka yang sudah sampai tingkatan mukasyafah.

Mungkinkah mata telanjang melihat segala sesuatu yang gaib? Pertanyaan semacam ini sudah lama muncul jauh-jauh hari sebelum era modern. Tepatnya pada abad ke-4 H antara pendukung ulama senior Mazhab Maliki, Abu Muhammad b. Abu Zaid al-Qirwani (w. 386h) dengan pendukung Syekh Abul Qasim Abdurrahman b. Muhammad al-Bakry as-Shiqli (w.s.386h).

Kemampuan mata batin dalam diskursus “karomah”, menurut pendukung al-Qirwani dapat dilakukan dalam kehidupan nyata. Sedangkan pendukung as-Shiqli berpendapat kemampuan mata batin hanya melalui mimpi (ru’rah fi al-manam).

Perdebatan yang semula terjadi di daerah Qirwan akhirnya meluas ke penjuru dunia Islam. Di Baghdad kubu al-Qirwani dikuatkan ulama sekaliber Abul Hasan Ali al-Qabisi dan Abu Ja’far al-Dawudi. Sedangkan kubu as-Shiqli dipandegani oleh Ibnu Hisyam.

Perdebatan ini menarik perhatian ulama besar Baghdad Abu Bakr Muhammad al-Baqillani untuk menengahi. Tapi justru pendapat beliau dikomentari ulama Mekkah bernama Abul Hasan Ali al-Hamdani yang lebih berpihak kepada kubu as-Shiqli.

Di negeri Andalusia pendapat al-Qirwani diperkuat ulama-ulama asal wilayah Qurtub, seperti Abul Abbas b. Zdakwan. Sementara kubu as-Shiqli diperkuat tokoh sekaliber Abu Ja’far b. Aunillah.

Sampai abad ke-5 Hijriyah tema mata batin sangat populer di kalangan umat Islam. Banyak karya ulama yang mengupas masalah itu. Dari sekian banyak negara yang melahirkan karya-karya tentang mata batin adalah negeri Maroko. Misalnya Izdharul Kamal ditulis Abbas al-Marakisyi, Durratul Asrar karya Ibnul Shibagh, al-Minhaj al-Wadhih karya al-Majiri, dll.

Pada prinsipnya pengalaman mata batin sungguh terjadi pada seseorang yang telah mampu menyingkap alam gaib dan malakut. Mereka sudah terlatih tidak menggunakan indera penglihatan alam kasat. Hal ini seperti yang terjadi pada Sahabat Rasulullah, Abu Bakar Shiddiq yang tahu hari wafatnya (al-Muwatta’: 1242). Umar b. Khattab berdialog dengan penjaga bumi, sehingga ketika terjadi gempa bumi seketika bumi diam (al-Asqalani: I, 41). Dan lain-lain.

Tapi sayangnya seiring dengan semakin kokohnya nalar positivisme di kalangan umat Islam “kekuatan” hati sudah tidak dihiraukan lagi. Keperkasaan logika membuat manusia tidak lagi menerima informasi yang dihasilkan dari penangkapan hati atas obyek yang tak kasat mata.

Padahal hati, seperti halnya akal — sama-sama awalnya merupakan potensi diri yang dapat menangkap dan menjelaskan obyek karena pembiasaan. Logika manusia kuat karena sehari-harinya otak manusia dibiasakan berpikir. Demikian pula “mukasyafah” manusia akan kuat kalau hatinya dibiasakan untuk merasakan.

Pikir dan rasa adalah umpan balik dari obyek yang ditangkap menjadi pikiran oleh akal dan/atau perasaan oleh hati. Seandainya dua potensi ini dikelola dengan baik oleh manusia maka kita semua akan memiliki multiple-intellegencies sebagai potensi baru manusia untuk berkreasi dan berinovasi; termasuk untuk melakukan mitigasi.

Penulis adalah Pengurus MUI Pusat, Pengurus LBM PWNU DKI dan Marbot Rudalku

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

5  +  5  =