Oleh: Dr. Ahmad Salim
Channel9.id – Jakarta. Harapan tentang masa pandemi ini akan segera berakhir agaknya merupakan sebuah keinginan yang tidak realistik. Realitas menunjukkan sebaliknya, bahwa peningkatan penderita terinfeksi corona di berbagai negara termasuk Indonesia justru masih mengalami peningkatan serius. Data statastik yang dirilis pemerintah menunjukkan adanya penambahan kasus baru setiap harinya dan penyebarannya juga mengalami perluasan ke berbagai wilayah di Indonesia.
Informasi terkait peningkatan jumlah kasus terinfeksi dan juga dampak dari virus mematikan ini merupakan realitas yang menghantui semua entitas masyarakat termasuk institusi pendidikan. Kekwatiran insan pendidikan tidak hanya didasarkan atas kegamangan dan keterpaksaan melaksanakan pembelajaran by online, tetapi juga pada dampak dari regulasi physical and social distancing oleh otoritas kesehatan dan instansi lain terkait, yang berakibat pada menurunnya perekonomian masyarakat. Banyaknya perusahaan merumahkan karyawannya akibat tidak mampu bertahan untuk biaya operasional adalah salah satu realitas tentang dampak buruk dari kebijakan yang “terpaksa” diambil atas nama keselamatan manusia.
Efek domino dari kebijakan sulit ini juga merambah ke berbagai masyarakat yang menggantungkan pencahariannya melalui kontak langsung dengan koleganya. Mereka nampak jelas terdampak pada kebijakan pembatasan perilaku baru ini, dan berakibat pada penurunan pendapatan ekonominya. Penurunan pendapatan masyarakat utamanya pada sektor-sektor informal ini jelas akan berbanding lurus dengan kemampuan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, termasuk pada dimensi pendidikan. Rasionalitas prioritas menjadi alasan kuat mereka untuk lebih mementingkan urusan “perut” dari pada pendidikan yang masih bisa ditunda pada waktu yang lebih memungkinkan, dan melanjutkan belajar ke perguruan tinggi menjadi bagian dari yang dikalahkan tersebut.
Realitas Kondisi PTKIS di Indonesia
Secara kuantitas PTKIS di Indonesia cukup mencengangkan. Mendasar pada situs diktis.kemenag.go.id, ada 649 PTKIS dengan berbagai bentuk yang ada yakni Sekolah Tinggi, Institute ataupun Fakultas Agama Islam. Jumlah ini tentu sangat banyak, dan jika dibandingkan dengan PTKIN, maka jumlah PTKIS adalah lebih dari 10 kali lipatnya PTKIN (58). Pada konteks ini, maka kita bisa berharap banyak bahwa PTKIS adalah menyumbang layanan pendidikan Islam terbesar bagi masyarakat Indonesia. Namun kuantitas PTKIS yang ada belum diikuti dengan kualitas yang membuatnya bisa berkompetisi secara global dengan PT lain, baik pada konteks nasional terlebih Internasional.
Dengan memakai instrument penjaminan mutu paling sederhana, misalnya akreditasi, maka belum banyak PTKIS yang mampu meraih predikat unggul/A baik pada sisi prodi yang dimiliki apalagi pada sisi institusi. Predikat unggul pada institusi lebih banyak dimiliki oleh FAI yang mereka “tertolong” karena di bawah institusi yang berkualitas. Kebanyakan prodi yang dimiliki PTKIS masih stagnan pada predikat B atau bahkan C. Kualifikasi dosen, tata pamong, kualitas tri darma perguruan tinggi, layanan kemahasiswaan serta sarana dan prasarana adalah beberapa item yang masih menjadi sandungan PTKIS guna meningkatkan predikat yang disandangnya. Padahal predikat akreditasi sangat terkait dengan penciptaan atmosfir akademik berkualitas dengan penguatan sistem penjaminan mutu internal serta pangkalan data perguruan tinggi (pddikti).
Pada sisi pemeringkatan perguruan tinggi misalnya versi webometrics, kemenristekdikti, ataupun QS World University, maka terlihat jelas bahwa PTKIS belum ada yang nonggol. PTKIS seakan menjadi penonton manis yang tidak bisa ikut bagian dari perlombaan yang diselenggarakan. Ia masih berkutat pada masalah internal yang membelenggunya, sehingga kepuasannya masih diukur dengan kemenangan jagoannya, belum menjadikan champion adalah miliknya. Peringkat terbaik PT masih dipegang oleh PT yang telah lama mapan keberadaanya.
Secara umum, saat ini PTKIS masih berjibaku pada fase yang disebut dengan teaching university pada fokus kegiatannya. Fase ini masih menjadikan pembelajaran sebagai tujuan akhir dari tridarma perguruan tinggi. Akibatnya, kegiatan lain yang menjadi indikator berkualitasnya sebuah pergurauan tinggi belum dapat terlaksana dengan optimal, misalnya penelitain dan pengabdian masyarakat. Sumber pembelajaran yang digunakan oleh dosen juga masih banyak diambil dari sumber kedua dan orang lain belum beranjak dari hasil penelitian dosen yang bersangkutan. Pada fase ini PTKIS masih tersibukkan dengan perbaikan sistem pembelajaran yang bersifat administratif, dan belum banyak menelorkan inovasi karya yang menunjang kualitas pembelajaran yang dilaksanakannya.
Belum banyak PTKIS yang mempunyai pondasi kokoh untuk memposisikanya sebagai PT yang memiliki keunggulan dalam memproduksi penelitian bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan pembangunan masyarakat. Padahal ini menjadi keharusan sebuah PT di tengah perubahan sosial yang bergeser menuju aroma komersialisasi pendidikan. J.G. Wissema (2009) pada bukunya Toward the Third Generation University, Managing the University in Transition menyarankan agar perguruan tinggi dapat mempertahankan keberadaannya maka ia harus melakukan beberapa hal diantaranya adalah melakukan kerjasama penelitian dengan industri, memunculkan penelitian interdisipinary. Dengan beberapa hal yang dilakukannya sebagaimana disebut di atas maka akan dapat menempatkan perguruan tinggi pada posisi pusat peradapan dan juga kesejahteraan masyarakat.
Menengok kondisi kebanyakan PTKIS yang masih pada level teaching university, maka kekhawatiran banyak orang pada daya tahan perguruan tinggi swasta terhadap dampak pandemi corona ini sangat beralasan. Rasionalisasi realitas ini paling tidak didasarkan atas asumsi bahwa sumber utama pendapatan PTKIS adalah berasal dari mahasiswa. PTKIS belum bisa mendapatkan dana operasional dari sumber lain yang menjadikannya mereka tetap survival jikalau mereka tidak mendapatkan mahasiswa dengan jumlah banyak. Artinya dapat dikatakan bahwa penggantungan PTKIS hanya pada kuantitas mahasiswa yang diperoleh ini yang menjadikan kekhawatiran banyak orang akan nasib PTKIS. Dampak pandemi yang meruntuhkan perekonomian pada banyak sektor informal nampak jelas dikhawatirkan berimplikasi pada penurunan jumlah mahasiswa baru PTKIS yang sebentar lagi akan melaksanakan tahun ajaran baru. Realitas bahwa kondisi sosial ekonomi mahasiswa PTKIS kebanyakan berasal dari ekonomi menengah ke bawah semakin menguatkan kekhawatiran akan hal ini. Padahal harus diakui bahwa, melalui perguruan tinggi di bawah bendera Kemenag ini banyak masyarakat mengenyam dan menikmati suasana akademik perguruan tinggi.
Tawaran Solusi
Pandemi corona telah memaksa setiap orang untuk melakukan perubahan mindset, termasuk pada konteks PTKIS. Mereka harus berpikir bagaimana cara tetap eksis sebagai lembaga pendidikan Islam di tengah pandemi dan pasca pendemi yang sangat memungkinkan akan mengubah perilaku masyarakat pada berbagai aspek kehidupan, termasuk juga pada cara bagaimana masyarakat belajar.
Pada jangka pendek ini, penguatan fasilitas guna mendukung pembelajaran berbasis online menjadi keharusan yang tidak dapat ditawar bagi eksistensinya. Penguatan ini akan memaksa insan yang ada di dalamnya untuk memperbaharui kompetensinya pada bidang teknologi, sehingga tri darma perguruan tingginya tetap berjalan. PTKIS juga harus mampu mengelola pengaturan irama kerja dosen dan tenaga kependidikannya secara efektif, sehingga efisiensi biaya operasional yang dikeluarkan selama pandemi ini dapat ditekan.
Pada jangka panjang, maka PTKIS harus mampu membuat pondasi kuat agar menjadi PT yang mampu bersinergi dengan dunia industri dengan cara memproduksi penelitian yang dibutuhkan oleh masyarakat luas, sehingga basis kekuatan pendapatan PTKIS tidak hanya tersentral di jumlah mahasiswa. Penguatan kualifikasi dan kompetensi dosen menjadi keharusan untuk mencapai tahap idelias ini. PTKIS harus selalu menyadari bahwa basis kekuatan perguruan tinggi adalah pada wilayah akademik dengan segala hal turunan yang menyertainya. Maka kualitas akademik akan menjadi senjata ampuh untuk kebertahanan institusi ini kapanpun dan dimanapun. Sehingga pada saat dan pasca pandemipun kebertahanan ini akan teruji jika PTKIS mempunyai kualitas akademik yang terjaga.
Penulis: Dekan FAI Universitas Alma Ata Yogyakarta