Oleh: Arcandra Tahar*
Channel9.id-Jakarta. Banyak kebijakan di bidang energi yang diambil oleh Presiden Donald Trump, yang membuat sebagian dari kita tercengang dan ragu akan kepemimpinan Amerika Serikat (AS) dalam mengatasi isu perubahaan iklim. Apakah memang demikian?
Dalam beberapa tulisan sebelumnya, kami sudah menyampaikan bahwa secara umum AS akan menempuh strategi untuk mendahulukan ketahanan energi (energy security) dibandingkan dengan bertransisi menuju energi terbarukan (energy transition). Ini tercermin dari benang merah kebijakan dari Partai Republik yang selalu mengedepankan kepada America First. Beberapa aspek dari kebijakan ini juga didukung oleh Partai Demokrat.
Kita tentu tidak menutup mata adanya platform yang berbeda antara Partai Demokrat dan Partai Republik dalam membuat kebijakan di bidang energi. Namun demikian kalau kita cermati lebih dalam, perbedaan ini tidak membuat pelaku usaha di bidang energi berganti-ganti strategi mengikuti partai yang memerintah. Pelaku usaha cendrung untuk mengedepankan kepentingan korporasi mereka dibandingkan kebijakan dari negara.
Tulisan kali ini akan mengulas bagaimana AS memenuhi kebutuhan listrik mereka di masa sekarang dan akan datang, dalam koridor ketahanan energi. Salah satu program tersebut adalah mendahulukan penggunaan jenis energi yang tersedia di dalam negeri. Hal ini sangat didukung oleh tersedianya semua jenis energi di AS yang dibutuhkan untuk membangkitkan listrik. Mulai dari fosil energi seperti gas alam (LNG), batubara, diesel sampai pada renewable energy seperti hydro, geothermal, angin dan matahari (solar PV). Belum lagi Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) yang sudah sangat mapan di AS.
Dalam masa pemerintahaan Presiden Joe Biden, solar PV, wind, hydrogen dan teknologi Carbon Capture Storage (CCS) mendapat prioritas dalam pemenuhan kebutuhan kelistrikan tersebut. Tapi setelah Presiden Trump berkuasa, prioritas ini menjadi berubah. Tiga sumber energi utama yang menjadi prioritas Presiden Trump adalah geothermal, gas alam dan nuklir.
Memang onshore wind masih mendapat tempat di prioritas menengah bersama solar PV, tapi tidak untuk offshore wind, hydrogen dan CCS. Yang mengejutkan, Presiden Trump kembali menghidupkan batu bara sebagai sumber energi alternatif pada prioritas menengah.
Kelihatannya AS akan tetap mempertahankan PLTU paling tidak sampai pemerintahan Presiden Trump berakhir atau mungkin akan menjadi platform baru bagi partai Republik di masa datang.
Menarik untuk dibahas kenapa geothermal, gas alam dan nuklir yang menjadi prioritas? Hal ini tentu tidak terlepas dari campur tangan para teknokrat seperti Elon Musk dalam melihat kebutuhan listrik ke depan.
Artificial Intelligent (AI) yang membutuhkan data center tentu memerlukan listrik yang handal, bersih dan kompetitif. Akan susah menggunakan listrik dari solar PV (PLTS) dan angin (PLTB) kalau kehandalan menjadi syarat utama untuk beroperasinya sebuah data center. Walaupun sudah dikombinasikan dengan baterai, tetap saja masih kalah handal dibandingkan dengan geothermal, nuklir dan PLTG.
Untuk data center yang tidak terlalu besar, seperti yang dimiliki oleh Oracle, Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG) yang lebih dominan digunakan. Tapi untuk yang besar seperti yang dimiliki oleh Meta, Google, Microsoft dan Amazon, nuklir dan geothermal menjadi pilihan utama sebagai pembangkit listriknya.
Khusus untuk geothermal, dengan dikembangkannya teknologi Enhanced Geothermal System (EGS), maka Levelized Cost of Energy (LCOE) yang dulunya diatas $ 14 cent/kWh bisa ditekan menjadi dibawah $10 cent/kWh pada tahun 2027. Kami sudah pernah membahas tentang teknologi EGS ini pada tulisan sebelumnya.
Strategi lain yang tidak kalah penting dalam memenuhi kebutuhan kelistrikan AS adalah memperkuat keandalan dan keamanan dari grid system yang sudah terbangun. President Trump akan membatasi penggunaan teknologi di luar AS terutama dari China dan Rusia dalam membangun dan memperkuat smart grid system mereka. Hal ini ditujukan untuk mengurangi resiko cyber-attack yang mungkin saja terjadi untuk melumpuhkan sistem kelistrikan AS.
Dapat kita lihat bahwa pengaruh kaum teknokratik dalam membuat strategi ketahanan energi AS sangat kental. Pendekatan teknikal dan komersial lebih didahulukan ketimbang pendekatan politik. Walaupun Presiden Trump sangat susah untuk dipengaruhi tapi jika sudah menyangkut masalah ketahanan energi beliau mau mendengar dan belajar kepada yang ahli. Semoga bermanfaat.
Baca juga: Pengalaman Mencoba Taxi Tanpa Sopir, Waymo, di San Fransisco Amerika Serikat
*Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Indonesia pada Kabinet Kerja Presiden Joko Widodo