Channel9.id-Jakarta. Kadar polusi udara di ibu kota cukup tinggi meskipun masih berada di ambang. Salah satu penyebabnya adalah polutan PM 2.5.
Particulate matter atau yang dikenal dengan PM 2.5 adalah partikel di atmosfir yang memiliki diameter berukuran 2.5 Mikrometer atau 3% dari diameter rambut manusia. Partikel ini pun hanya dapat Nampak menggunakan perangkat mikrokopis elektron. PM 2.5 disebut bersumber dari proses emisi kendaraan bermotor dalam konteks perkotaan.
Menurut terbitan IQAir, pada umumnya PM 2.5 dapat membawa beberapa elemen kimia diantaranya sulfur dioksida, nitrogen oksida, ammonia, karbon hitam, debu mineral, dan senyawa lainnya. Hal tersebut disebut dapat berdampak pada kesehatan manusia. PM 2.5 harus dianggap sebagai ancaman serius karena mampu menyusup ke sistem peredaran darah bahkan ke otak.
Elemen lain yang sering dianggap sebagai polutan adalah PM 10 yang seperti namanya memiliki ukuran 10 mikrometer. Pada umumnya dapat dilihat dengan mata telanjang karena bersumber dari proses pembakaran seperti asap, debu jalanan, atau proses pembakaran.
Dilaporkan gejala jangka pendek PM 2.5 adalah masalah iritasi tenggorokan dan salurat udara, batuk, dan kesulitan bernafas. Beberapa gangguan serius seperti penyakit jantung dan paru-paru, bronchitis, asma, dan bahkan kematian dini dapat juga disebabkan oleh kontak jangka Panjang dengan partikel ini.
Dalam film documenter karya kolaborasi Vincent Ricardo dan Bicara Udara, kelompok rentan disebut menanggung beban akibat pencemaran PM 2.5. Salah satu penderita dampak polusi udara ini adalah Puteri Aisyaffa yang menyebut dirinya harus bolak-balik menemui dokter spesialis. Puteri merupakan bagian dari kelompok sensitif.
Naasnya, udara Jakarta dianggap sangat tidak sehat. Menurut indeks kualitas udara (AQI) dan polusi oleh PM2.5, Jakarta menempati skor 131 yang disebut tidak sehat bagi kelompok sensitif. Polutan utama yang dilaporkan adalah PM 2.5 dengan konsentrasi mencapai 47.6 µg/m³ (per 14/06). Menurut IQAir berada 9.5 dari panduan kualitas udara rilisan organisasi kesehatan dunia (WHO)