Oleh: Rudi Andries*
Channel9.id-Jakarta. Indonesia memiliki kekayaan ekologi luar biasa: hutan hujan tropis, lahan gambut, mangrove, dan ekosistem pesisir yang berfungsi sebagai penyerap karbon alami (carbon sink). Dalam konteks krisis iklim dan transisi menuju ekonomi hijau global, potensi ini menjadi modal strategis. Skema perdagangan karbon (carbon market) kini berkembang cepat, membuka peluang sekaligus risiko.
Namun, fakta di lapangan menunjukkan bahwa sebagian besar proyek karbon masih dikuasai oleh aktor internasional, tidak melibatkan komunitas lokal secara bermakna, dan belum tunduk pada prinsip keadilan ekologis serta kedaulatan nasional.
Tulisan ini mengajukan kerangka strategis dan kebijakan untuk membangun skema karbon yang adil, berdaulat, dan berbasis komunitas di Indonesia.
Latar Belakang dan Konteks
Perdagangan Karbon Global dan Posisi Indonesia
Pasar karbon—baik sukarela (voluntary) maupun wajib (compliance)—tumbuh cepat, dengan nilai triliunan dolar per tahun. Indonesia, sebagai negara dengan luas hutan tropis terbesar ketiga di dunia, menyimpan potensi puluhan juta ton CO2 eq. dalam bentuk jasa ekosistem.
Masalah yang Muncul
- Ketimpangan kendali antara aktor lokal dan global
- Minimnya pendampingan terhadap masyarakat adat dan lokal
- Overclaim emisi dan praktik greenwashing
- Belum adanya skema distribusi manfaat yang adil
- Lemahnya kapasitas kelembagaan daerah
Analisis Kritis: Studi Kasus
Katingan Mentaya Project (Kalimantan Tengah)
Proyek REDD+ ini dianggap sebagai salah satu proyek karbon terbesar di dunia. Namun, analisis independen mengungkap bahwa kendali sertifikasi, nilai transaksi, dan pembagian manfaat lebih banyak dikuasai aktor asing. Masyarakat lokal menerima proporsi yang sangat kecil dari nilai ekonomi yang dihasilkan.
REDD+ Papua dan Papua Barat
Terdapat laporan bahwa sejumlah proyek karbon dilakukan tanpa FPIC (Free, Prior and Informed Consent) yang sah. Beberapa kontrak jangka panjang (hingga 99 tahun) dibuat tanpa pemahaman yang utuh dari pemilik ulayat.
Greenwashing oleh Korporasi Global
Perusahaan multinasional membeli kredit karbon dari Indonesia untuk mengimbangi emisi, tanpa melakukan perubahan berarti pada praktik industrinya. Ini berisiko memperpetuasi kerusakan ekologis global. Kredit karbon yang tidak benar-benar mencerminkan pengurangan emisi justru mengukuhkan polusi global.
Prinsip-Prinsip Skema Karbon yang Adil dan Berdaulat
- Kedaulatan Ekologis: Semua proyek karbon harus tunduk pada sistem nasional.
- Keadilan Sosial: Manfaat ekonomi karbon harus dibagi secara proporsional kepada penjaga ekosistem.
- Transparansi: Informasi proyek, harga, dan mitra harus terbuka dan dapat diaudit publik.
- Berbasis Komunitas: Masyarakat lokal tidak boleh menjadi penonton. Mereka harus menjadi aktor utama.
- Free, Prior and Informed Consent (FPIC): Persetujuan bebas, didahului, dan diinformasikan menjadi syarat mutlak.
Rekomendasi Kebijakan
Untuk Pemerintah Pusat
- Bentuk Badan Sertifikasi Karbon Nasional
- Percepat regulasi induk tentang Ekonomi Karbon
- Wajibkan registrasi proyek karbon ke SRN PPI (KLHK)
- Integrasikan skema karbon dalam RPJMN dan dokumen perencanaan lainnya
Untuk Pemerintah Daerah
- Bangun database karbon berbasis spasial dan sosial
- Kembangkan regulasi daerah yang melindungi hak masyarakat adat
- Dorong pembentukan koperasi karbon atau BUMDes karbon
Untuk Masyarakat Sipil dan LSM
- Lakukan edukasi dan pendampingan hukum
- Dorong partisipasi komunitas dalam negosiasi proyek karbon
- Monitoring independen terhadap proyek-proyek yang berjalan
Strategi Implementasi
Integrasi dalam dokumen pembangunan daerah (RPJMD, RTRW, RAD GRK)
- Penyiapan platform digital transparansi karbon
- Skema insentif fiskal bagi daerah/komunitas penjaga karbon
- Kemitraan dengan universitas dan lembaga riset nasional untuk MRV
Ekonomi karbon adalah peluang strategis untuk menata ulang relasi kita dengan alam. Tapi hanya jika dijalankan dengan adil, transparan, dan berdaulat. Indonesia harus belajar dari masa lalu: jangan sampai hutan kita diserahkan kembali pada tangan pasar global tanpa kendali. Sebaliknya, kita harus menjadi pemilik, pengelola, dan penerima utama manfaat dari kekayaan karbon kita sendiri.
“Karbon adalah hak, bukan komoditas. Jika masyarakat menjaga hutan, mereka pula yang harus mendapat manfaat utamanya.”
“Kita tidak menolak pasar karbon, tapi kita menolak pasar yang tidak adil. Keadilan ekologis dimulai dari pengakuan dan kedaulatan komunitas.”
“Jangan ulangi sejarah eksploitasi. Karbon harus menjadi instrumen kemandirian, bukan jebakan kolonialisme hijau.”
Baca juga: Astabhakti DNIKS dan Ketahanan Sosial: Jantung Pembangunan Berkelanjutan
*Wakil Ketua Umum Dewan Nasional Indonesia Untuk Kesejahteraan Nasional (DNIKS)