Rudi Andries
Opini

Astabhakti DNIKS dan Ketahanan Sosial: Jantung Pembangunan Berkelanjutan

oleh: Rudi Andries*

Channel9.id-Jakarta. Ketika berbicara tentang pembangunan berkelanjutan melalui jargon megah seperti Sustainable Development Goals (SDGs), ada satu elemen penting yang kerap terlupakan dalam gemuruh statistik dan laporan indikator kuantitatif: ketahanan sosial bangsa. Di sinilah peran penting Astabhakti DNIKS hadir sebagai pendekatan strategis yang diusung oleh Dewan Nasional Indonesia untuk Kesejahteraan Sosial (DNIKS) bersama Kementerian Sosial Republik Indonesia.

Astabhakti bukan sekadar dokumen kebijakan, melainkan kerangka operasional yang menempatkan ketahanan sosial sebagai fondasi utama pembangunan nasional yang inklusif dan berkeadilan. Melalui delapan bhakti (astha-bhakti) yang menjadi pilar utamanya, pendekatan ini membentuk jalan strategis dalam memperkuat perlindungan, jaminan, rehabilitasi, dan pemberdayaan sosial bagi seluruh warga negara, terutama kelompok rentan.

Ketahanan sosial bukan istilah kosong atau sekadar kebijakan populis. Ia adalah kemampuan suatu bangsa untuk bertahan, beradaptasi, dan pulih dari tekanan—baik yang bersumber dari bencana alam, konflik sosial, kemiskinan ekstrem, hingga ketimpangan struktural. Di Indonesia, kompleksitas sosial dan geografis membuat konsep ini sangat krusial. Astabhakti DNIKS menjawab kebutuhan itu dengan pendekatan struktural yang menyatukan berbagai fungsi sosial dalam kerangka terpadu.

Pendekatan ini bukan hanya reaktif terhadap krisis, tetapi juga proaktif dalam membangun komunitas yang tangguh, kohesif, dan siap menghadapi disrupsi.

Melalui Astabhakti, ketahanan sosial diposisikan sebagai pendorong utama keberhasilan implementasi SDGs di tingkat nasional.

Meskipun indikator global SDGs cenderung kuantitatif dan sektoral, realitas pembangunan di Indonesia menuntut pemahaman yang lebih substansial dan kontekstual. Perlindungan sosial, misalnya, bukan sekadar angka penerima bantuan, tetapi cerminan dari keberfungsian sosial yang menjangkau hingga ke akar komunitas. Astabhakti menekankan bahwa pembangunan bukan hanya soal infrastruktur fisik, tetapi juga infrastruktur sosial: solidaritas, empati, dan keberdayaan warga.

Ketika masyarakat memiliki akses pada perlindungan sosial yang memadai, mereka tidak hanya lebih siap menghadapi guncangan ekonomi atau bencana alam, tetapi juga lebih mampu menjaga kohesi sosial di tengah keragaman.

Dalam konteks inilah, pertahanan sosial bekerja sebagai strategi non-militer yang sangat efektif. Ia tidak membawa senjata, tetapi membekali warga negara dengan ketangguhan mental, sosial, dan struktural yang diperlukan untuk melampaui krisis. Ini adalah fondasi yang sangat penting bagi pembangunan yang damai dan inklusif.

Astabhakti DNIKS, dalam hal ini, tidak hanya menyediakan kerangka kerja yang strategis, tetapi juga membangun landasan filosofis bahwa setiap warga negara adalah subjek aktif pembangunan. Melalui pendekatan ini, rehabilitasi sosial tidak hanya berfungsi sebagai proses pemulihan, melainkan juga sebagai pengakuan bahwa martabat manusia adalah bagian tak terpisahkan dari narasi pembangunan. Ketika perlindungan dan pemberdayaan menjadi arus utama dalam kebijakan sosial, maka pembangunan tidak hanya terjadi di kota-kota besar, tetapi juga menyentuh desa-desa terpencil, wilayah perbatasan, dan komunitas-komunitas yang selama ini terpinggirkan.

Dalam realitas Indonesia, hal ini menjadi sangat relevan. Sebagai negara kepulauan yang majemuk, risiko sosial Indonesia sangat tinggi. Bencana alam bisa melanda kapan saja, ketimpangan sosial terus membesar, dan ketegangan identitas kerap kali menyulut konflik horizontal. Ketahanan sosial dalam hal ini menjadi pagar yang melindungi bangsa dari perpecahan dan kehancuran. Ia bekerja diam-diam, tetapi dampaknya menentukan keberlanjutan bangsa dalam jangka panjang.

Namun, ketahanan sosial tidak akan tumbuh dalam ruang hampa. Diperlukan sinergi antara kementerian, lembaga negara, pemerintah daerah, dan masyarakat sipil. Kementerian Sosial, sebagai garda terdepan, harus berani menjadikan agenda ketahanan sosial sebagai prioritas utama dalam pelaksanaan program. Lebih jauh lagi, narasi ini perlu diarusutamakan dalam strategi diplomasi pembangunan. Dunia perlu mendengar bahwa Indonesia tidak hanya membangun jalan dan gedung, tetapi juga membangun daya tahan dan solidaritas sosial. Ini adalah diplomasi yang tidak berbicara dalam bahasa senjata, tetapi dalam bahasa kemanusiaan.

Langkah konkret pun dibutuhkan. Integrasi kerangka Astabhakti ke dalam dokumen Rencana Aksi Nasional (RAN) dan Rencana Aksi Daerah (RAD) SDGs adalah keniscayaan. Demikian pula pengembangan indikator turunan yang mampu mengukur kontribusi ketahanan sosial terhadap capaian SDGs. Tanpa ini, upaya pengarusutamaan ketahanan sosial hanya akan menjadi wacana normatif yang kehilangan daya dorong implementatif. Perlu ada keberanian politis dan kebijakan publik yang progresif untuk mengubah cara kita memandang pembangunan.

Matriks Keterkaitan:

ASTABHAKTI DNIKS Fungsi Kemensos Kontribusi    ke SDGs
Penguatan Ketahanan Sosial Bangsa Perlindungan & Jaminan Sosial SDG 1,10
Penanggulangan Risiko Sosial Rehabilitasi Sosial SDG 3, 16
Penguatan Modal Sosial Masyarakat Pemberdayaan Sosial SDG 8,5
Respons Sosial terhadap Bencana Perlindungan Sosial & Rehabilitasi SDG 11,13
Pengarusutamaan Kelompok Rentan Rehabilitasi & Pemberdayaan SDG 4, 5, 10
Koordinasi & Advokasi Sosial Nasional Semua Fungsi SDG 16, 17

Kita juga perlu mengakui bahwa tantangan terbesar bukan pada konsep, melainkan pada implementasi. Ketahanan sosial adalah hal yang mahal dan kompleks. Ia membutuhkan investasi sosial yang tidak selalu memberikan hasil dalam jangka pendek. Namun, investasi ini adalah satu-satunya cara agar pembangunan tidak menjadi menara gading yang ditopang oleh fondasi rapuh. Kita tidak bisa membangun Indonesia Emas 2045 jika generasi yang akan datang dibesarkan dalam kondisi ketidakadilan sosial, kerentanan sistemik, dan keterasingan struktural.

Ketahanan sosial, dalam pengertian paling mendasar, adalah upaya untuk memanusiakan pembangunan. Ia bukan sekadar strategi teknokratik, melainkan perwujudan dari sila kelima Pancasila: keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dalam dunia yang semakin tidak pasti, dari krisis iklim hingga ancaman geopolitik, kekuatan sebuah bangsa tidak hanya ditentukan oleh kekuatan militernya atau pertumbuhan ekonominya, tetapi oleh seberapa kuat jaringan sosialnya bertahan dan berfungsi.

Sudah waktunya kita meletakkan ketahanan sosial di pusat narasi pembangunan nasional. Bukan sebagai pelengkap, bukan sebagai pos anggaran yang bisa dikurangi saat krisis, tetapi sebagai fondasi yang menentukan apakah bangsa ini bisa terus berdiri tegak atau roboh perlahan oleh tekanan zaman. Ketahanan sosial bukan hanya tentang bertahan hidup, tetapi tentang hidup dengan martabat. Dan dalam dunia pembangunan yang sering kali melupakan yang lemah, itu adalah bentuk paling radikal dari kemajuan.

Baca juga: Hashim Djojohadikusumo Menjadi Ketua Badan Penasihat DNIKS

*LAPEKSI

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

56  +    =  59