Oleh: Kemal H Simanjuntak
Channel9.id-Jakarta. Tak semua kehancuran datang sambil menggelegar seperti film Hollywood. Kadang, perubahan besar dimulai bukan dari bom nuklir atau meteor yang nyasar, tapi dari hal kecil—yang dibiarkan, dianggap sepele, dan terus beranak-pinak tanpa kita sadari. Dalam dunia fisika, para ilmuwan menyebutnya teori perturbasi. Keren, ya? Tapi artinya sederhana: sistem yang kelihatan tenang-tenang saja, bisa ambruk kalau gangguan kecilnya diabaikan terus-menerus.
Gangguan kecil itu kadang nyaris tak terlihat. Bisa berupa hoaks yang dibaca sambil lalu, ijazah palsu yang dipamerkan sambil senyum manis, atau komentar intoleran yang dibungkus “beda pendapat”. Lalu tanpa terasa, semua itu jadi rayap di lemari demokrasi kita: tak bersuara, tak terlihat—eh tahu-tahu roboh.
Sejarah sih sudah berkali-kali ngajarin kita. Mesin uap yang awalnya cuma buat bantu angkat air malah mengguncang dunia dan bikin Revolusi Industri. Jalur perakitan bikin kerja massal berubah. Komputer pribadi dulu dianggap barang aneh—sekarang bahkan handphone bisa nyalain AC. Terakhir, si AI ini—yang dulunya cuma proyek iseng di kampus, sekarang bisa gantiin asisten, jurnalis, bahkan pasangan ngobrol!
Intinya: perubahan besar itu sering diawali dari hal remeh-temeh. Nah, di situ juga bahayanya.
Sayangnya, kita juga menyaksikan perturbasi sosial, tapi bukan dalam bentuk inovasi. Yang kita lihat malah pergeseran nilai-nilai, yang makin ke sini makin di-“maklumi”. Hoaks? Ah, cuma lucu-lucuan. Ijazah palsu? Cuma kesalahan teknis. Ujaran kebencian? Ya ampun, katanya cuma ekspresi pribadi. Lalu kita semua, diam saja. Kadang ikut ketawa.
Padahal itu lho, yang pelan-pelan mencabut paku dari fondasi rumah kita yang bernama demokrasi dan keadaban. Sosiolog Emile Durkheim pernah bilang soal anomie—kondisi di mana masyarakat kehilangan arah karena norma-norma sosial mendadak kabur. Nah, gangguan kecil yang kita anggap remeh itu ya benihnya. Kalau dibiarkan tumbuh, kita jadi bingung sendiri: mana yang salah, mana yang “ya sudahlah”.
Data juga nggak bohong. Indeks Persepsi Korupsi kita tahun 2024 stagnan di angka 34. Transparency International yang ngomong, bukan saya. World Values Survey lebih getir lagi: satu dari tiga warga Indonesia nggak masalah nyogok “asal urusannya cepat”. Jadi, apakah ini pertanda bahwa kita sudah terbiasa hidup dalam gangguan-gangguan kecil?
Lihat negara lain. Singapura tegas urusan buang sampah, telat bayar pajak pun bisa didenda. Kenapa? Karena mereka tahu, dari yang kecil-kecil itulah retak besar dimulai. Vietnam, sejak 2016 sampai sekarang, udah mengadili lebih dari 11.000 kasus korupsi besar. Swedia? Mereka bangun integritas dari rumah. Dari dapur, malah.
Lalu kita? Di sini, orang yang ijazahnya nggak jelas bisa duduk di kursi kekuasaan. Kita biarkan rayap-rayap itu pesta di lemari demokrasi. Kita tertawa saat hoaks viral, dan bilang “biasa aja” saat ujaran kebencian menyerang minoritas. Kita lupa—bahwa dunia sedang menonton, dan menilai.
Pertanyaannya: apakah kita bangsa yang layak dipercaya?
Ini bukan soal nasionalisme romantis. Dunia menilai kredibilitas kita dari tindakan nyata, bukan dari logo kampanye atau jargon bersayap. Dan sayangnya, kredibilitas itu sedang tergerus, perlahan tapi pasti.
Lantas, apa yang bisa kita lakukan? Bukan cuma urusan presiden atau menteri. Ini kerja kolektif. Semua harus ikut turun tangan.
Guru? Jangan cuma ngajarin IPA dan perkalian, tapi juga kejujuran dan tanggung jawab. Pemuka agama? Doa saja tidak cukup, harus ikut jaga suasana hati umat. Media? Klik itu penting, tapi kebenaran jauh lebih penting. Akademisi? Turunlah dari menara gading, ajak masyarakat berpikir jernih. Dan tentu saja, pemerintah: berhenti kompromi. Hukum ya hukum, jangan lihat siapa pelakunya.
Kita tidak bisa terus hidup dalam budaya permisif: membiarkan yang salah karena “dia orang kita”, atau menunda tindakan dengan alasan “belum waktunya”. Karena, kalau semua dianggap kecil dan bisa ditunda—ya kita tunggu apa lagi? Sampai semua roboh?
Coba lihat Cina. Dulu korupsi di sana merajalela. Tapi sejak 2012, mereka habisi habis-habisan. Lebih dari sejuta pejabat ditindak. Ada yang sampai dihukum mati. Apakah mereka jadi negara paling suci? Enggak juga. Tapi dunia sekarang lebih segan dan respek.
Kita? Masih senang bilang “nanti juga beres sendiri”.
Padahal kita punya pilihan: mau jadi bangsa yang reaktif, yang baru bertindak setelah kebakaran? Atau bangsa yang proaktif—yang peka, yang berani membetulkan hal-hal kecil sebelum jadi malapetaka besar?
Karena sejarah, baik itu sejarah bumi maupun sejarah manusia, menunjukkan: kehancuran jarang datang dalam bentuk tsunami. Kadang cukup dari air rembesan di atap yang dibiarkan, rayap yang disayang, atau kebohongan kecil yang dimaafkan.
Indonesia punya segala syarat jadi negara besar. Tapi besar itu bukan soal angka di PDB, bukan soal stadion dan tol. Besar itu soal karakter. Dan karakter dibangun dari sikap terhadap hal-hal kecil.
Kalau kita ingin jadi bangsa yang besar, maka mulai sekarang—jaga yang kecil, dengan kesungguhan besar.
Baca juga: Komisaris, Kursi Hangat, dan Aroma Korupsi di Balik Seragam Rapi
*Konsultan Manajemen | GRC Expert | Asesor LSP Tatakelola, Risiko, Kepatuhan (TRK)