Oleh: Awalil Rizky*
Channel9.id-Jakarta. Resesi ekonomi akan melanda Indonesia pada tahun 2020. Alasannya, ancaman krisis di pasar keuangan global dan resesi ekonomi dunia pada tahun 2020 telah makin nyata. Saat ini, beberapa negara telah mulai mengalami resesi.
Bulan lalu, IMF telah memperingatkan bahwa ekonomi dunia akan menghadapi masa ‘genting’ pada tahun 2020. Setahun lalu, Nouriel Roubini telah memprediksi krisis finansial dan resesi global akan terjadi pada 2020.
Minggu lalu, Firma konsultan global McKinsey & Company mengingatkan negara-negara Asia untuk mewaspadai risiko terulangnya krisis 1997 karena soalan utang luar negerinya. Indonesia termasuk salah satu negara yang dinilai mereka memiliki utang luar negeri swasta yang dapat bermasalah. Disebabkan banyak perusahaan yang menggunakan sebagian besar labanya hanya untuk membayar bunga utang.
Beberapa hari lalu, Sri Mulyani mengatakan, “Jerman, Singapura, negara latin AS seperti Argentina yang dalam masa krisis, Meksiko, Brasil, juga dalam situasi sulit. Eropa, China, dan bahkan kawasan Asia sendiri termasuk India yang jadi motor penggerak ekonomi di pasar berkembang juga alami pelemahan.” Diakuinya bahwa Indonesia harus waspada atas fenomena itu.
Anehnya, dokumen resmi otoritas ekonomi justeru tidak bernuansa kewaspadaan. Nota Keuangan dan RAPBN 2020 yang baru diajukan Pemerintah tidak menganggap akan ada resesi ekonomi. Buktinya, asumsi pertumbuhan ekonomi masih sebesar 5,3%. Asumsi optimis itu mendasari target pertumbuhan penerimaan perpajakan yang amat tinggi, yaitu 13,3% dari outlook 2019.
Bank Indonesia (Kamis 22, Agustus) pun optimis bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2020 akan mencapai titik tengah kisaran 5,1-5,5%. Artinya sebesar 5,3%.
Istilah resesi sendiri biasa diartikan sebagai pertumbuhan ekonomi yang terkontraksi atau negatif dalam dua triwulan beturut-turut. Dengan ukuran ini, Indonesia pernah mengalami kontraksi selama lima triwulan, mulai kuartal IV tahun 1998.
Ukuran yang lebih “longgar” dipakai pula untuk menyebut resesi, terutama dalam kasus Indonesia. Yaitu laju pertumbuhan yang menurun signifikan, meskipun tidak sampai negatif. Sebagaimana yang terjadi tiga triwulan berturut-turut mulai triwulan IV 2008.
Dilihat secara sektoral, sektor industri pengolahan Indonesia lebih sensitif terhadap penguatan dan pelemahan kondisi ekonomi. Penyebabnya antara lain: porsinya yang besar dalam PDB, penyerapan tenaga kerja, dan terhadap ekspor.
Faktanya, industri pengolahan tumbuh melambat selama empat triwulan terakhir. Kondisinya lebih buruk dibanding tahun 2008-2009, yang kemudian dianggap “krisis” meski berskala kecil.
Menurut Boediono (2018) sebenarnya krisis ekonomi global yang terjadi pada 2008 skalanya lebih besar dari krisis 1997. Namun dia menilai Indonesia telah bisa belajar dari sebelumnya (1998), sehingga dampak krisis bisa diminimalisir.

Apakah otoritas ekonomi saat ini telah waspada seperti kata Sri Mulyani? Atau telah belajar banyak seperti kata Boediono untuk kasus tahun 2008? Faktanya, tidak ada “sense of crisis” dalam dokumen Nota Keuangan dan APBN 2020 serta Tinjauan Kebijakan Moneter Bank Indonesia terkini.
Kewaspadaan sangat erat dengan faktor kesiapan yang berkaitan langsung dengan “kapasitas” perekonomian mengantisipasi dampak krisis global. Dua diantara faktor terpenting adalah kondisi anggaran Pemerintah dan kondisi Transaksi Berjalan.
Defisit APBN tahun 2008 hanya sebesar 0,08% dari PDB. Sementara itu, defisit telah mencapai 1,76% dari PDB pada tahun 2018. Defisit dapat mencapai 2,0% dari PDB pada tahun 2019, dan makin membesar pada tahun 2020.
Ruang fiskal untuk mengantisipasi krisis tak cukup tersedia dibanding kondisi tahun 2008. Upaya agar anggaran bersifat ekspansif saat ini kurang didukung oleh ketersediaan dana. Tidak tersedia pula dana cadangan yang cukup besar bagi upaya tambahan pencegahan resesi.
Transaksi Berjalan tahun 2008 masih mengalami surplus meski tipis, sebesar 0,02% dari PDB. Memang sempat defisit selama tiga triwulan, namun juga di kisaran 0,6%. Sedangkan pada tahun 2018, Transaksi Berjalan telah defisit sebesar 2,98%. Dalam lima triwulan terakhir, defisit rata-rata di atas 3% dari PDB.
Kondisi Transaksi Berjalan terkini diperberat oleh kondisi Neraca Pembayaran yang juga defisit. Akibatnya, tiap gejolak yang mempengaruhi arus modal ke luar akan langsung berdampak besar. Ketahanan eksternal dalam konteks ini, jauh di bawah tahun 2008.
Sisi lain dari PDB yang turut mengkonfirmasi kerentanan perekonomian adalah laju pertumbuhan Pembentukan Modal Tetap Domestik Bruto (PMTB). Lajunya selama dua triwulan terakhir telah melambat signifikan. Kondisi serupa PMTB merupakan gambaran investasi yang sensitif atas kondisi ekonomi, dibanding dengan komponen konsumsi.
Akhirnya, kita terpaksa mengatakan, “selamat datang resesi”. Moga tidak seberapa dalam dan berdampak besar bagi kehidupan rakyat banyak.
*Chief Economist Institut Harkat Negeri (IHN)