Nasional

Nilai Pancasila Sudah Ada Sebelum Merdeka, Sekarang Malah Goyah

Channel9.id-Jakarta. Sila kedua Pancasila berbunyi, “kemanusiaan yang adil dan beradab”. Menurut budayawan Mohamad Sobary, ini bukan sekadar janji bernegara dan janji membentuk karakter bangsa. Sebab karakter bangsa Indonesia memang demikian, jauh sebelum kemerdekaan.

Pasalnya, pria yang mengetuai Rumah Karakter Bangsa ini menerangkan, bahwa nilai-nilai Pancasila itu sebetulnya sudah ada sebelum Indonesia merdeka di 1945, bahkan ketika masih ada Kerajaan Mataram Kuno.

“Masa lalu Pancasila sudah ada sebelum dirumuskan secara formal, bahkan ketika masih ada Kerajaan Mataram Kuno. Kemudian, di tangan ideologi politik Soekarno, Pancasila diletakan sebagai persolan masa depan, persoalan keindonesiaan. Karena, kelima sila yang telah dirumuskan dan kokoh itu menjadi realitas empirik. Lalu menjadi kenyataan sosiologis bangsa kita,” jelas dia, di diskusi daring bertajuk “Pancasila: Membangun Karakter dan Janji Bernegara – Sila ‘Kemanusiaan yang Adil dan Beradab’”, yang diadakan oleh PARA Syndicate, Jumat (12/6).

Adapun sila kedua itu, Sobary mencontohkan, berkaitan dengan sikap masyarakat Nusantara dan bangsa Indonesia dalam berurusan dengan bangsa lain, di tataran global.

Di masa kerajaan di Nusantara—sebelum menjadi Indonesia, masyarakat turut aktif berperan dalam aktivitas global seperti perdagangan. Mereka tetap bersatu meski menghadapi suku bangsa yang berbeda.

Sementara itu, jauh setelah masa kerajaan di Nusantara—yaitu saat Perang Dingin, sikap Indonesia sama, tidak memihak pada Blok Barat atau Timur secara politik. “Meski begitu, sepanjang berbicara tentang manusia yang adil dan beradab, kita termasuk bagian keduanya,” imbuh Sobary.

Ia melanjutkan, beradab di sila kedua, menunjukkan manusia yang demokratis dan adil merupakan bagian dari demokratisasi, di mana adil sebagai syarat kehidupan demokratis.

“Tidak ada yang lebih hebat daripada rumusan membangun manusia yang adil dan beradab. Idealisme yang mau dicapai itu tinggi sekali, tidak hanya sekedar jadi warga dunia. Tapi kita seperti bangsa yang memimpin di kehidupan global, dengan manusia yang adil dan beradab,” ujarnya.

Namun, Sobary menyadari ada beberapa tantangan yang menghadang dalam merealisasikan nilai sila kedua itu. Di tataran global, karena globalisasi, ia khawatir nilai tersebut dimanipulasi oleh negara-negara besar.

“Kita bisa disuruh membangun ini-itu, urusan tata pemerintahan Indonesia diminta ikuti aturan umum. Jangan lupa, kita ini masih dalam dunia penjajahan. Penjajahannya tidak militeristik, tetapi penjajahan ideologi, teknologi, pemikiran politik, perdagangan, dan sebagainya,” terangnya.

Selain itu, datang pula tantangan dari dalam negeri. Pancasila goyah karena diganggu oleh ideologi-ideologi keagamaan. Lantas ide dan nilai sila kedua untuk membangun manusia yang adil dan beradab pun terganggu.

Menurut Sobary, memang ada pihak yang ingin membangun kembali rezim yang sudah lewat, sudah ditolak, dan sudah tidak relevan lagi di Indonesia. Ia melanjutkan, kebanyakan dari mereka memiliki intelektual yang terbatas dan minim wawasan soal sejarah.

“Selain itu, kedudukan mereka sebetulnya tidak ada di sentral. Supaya kelihatan sentral, mereka mengutuk-mengutuk Pancasila dan menuduh-nuduh PKI. Untungnya, itu semua tidak laku karena kita telah memupuk dan membangun manusia yang adil dan beradab, di mana itulah corak bangunan karakter bangsa indonesia.”

Ia melanjutkan, bahwa bangsa Indonesia harus tenang menghadapi tantangan seperti itu.

“Saya kira itu gangguan yang kita hadapi. Presiden saja bersikap tenang secara politik, begitu pula harusnya kita tenang. Seperti dalam diskusi, kita harus tenang secara intelektual dan merumuskan suatu jawaban,” ujarnya.

(LH)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

34  +    =  39