Nasional

Nobar Film Polisi, Narkoba, dan Pemerasan: Koalisi Sipil Desak Reformasi Polri

Channel9.id – Jakarta. Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Kepolisian (Koalisi RFP), Public Virtue, Salam 4 Jari, dan Front Perjuangan Pemuda Indonesia (FPPI) menggelar acara nonton bareng (nobar) dan diskusi film dokumenter Polisi, Narkoba dan Pemerasan karya Koreksi.org di Sekretariat AJI Jakarta, Kalibata, Jakarta Selatan, Jumat (7/1/2025) malam.

Ketua Umum FPPI Sari Wijaya selaku moderator diskusi mengatakan, film berdurasi 41 menit ini merupakan hasil liputan jurnalis Koreksi.org yang menemukan adanya indikasi pemerasan oleh polisi terhadap masyarakat yang diduga terlibat dengan kasus narkoba.

“Di samping ada temuan, hari ini juga sekaligus untuk mendorong percepatan reformasi Polri yang sebenarnya juga kawan-kawan sedang perjuangkan sebagai institusi kepolisian, sebagai pilar penegakan hukum,” kata Sari saat membuka acara nobar dan diskusi film Polisi, Narkoba dan Pemerasan.

Dalam sambutannya, Pemimpin Redaksi Koreksi.org Sasmito Madrim mengatakan hasil liputan yang disajikan dalam film ini berawal dari keresahan publik terkait kasus pemerasan yang kerap dilakukan aparat penegak hukum.

“Liputan ini sebenarnya juga kita dapatkan ketika Koreksi menggelar diskusi sosial-politik di Pilkada Jakarta. Tapi kemudian ada beberapa kawan yang mendatangi Koreksi supaya berbagai kejahatan, pemerasan yang dilakukan aparat penegak hukum terkait dengan kasus narkoba itu bisa dihilangkan,” ujar Sasmito yang juga produser film Polisi, Narkoba dan Pemerasan ini.

Di sisi lain, Sasmito menyampaikan film ini tidak dibuat dengan maksud untuk mencemari nama kepolisian. Namun, lanjutnya, apa yang disajikan dalam film ini justru untuk mendorong perbaikan kinerja institusi tersebut.

“Ini bisa mendorong perubahan kebijakan terutama terkait narkotika karena masih banyak pemerasan, kekerasan, kemudian itu menimbulkan dampak bagi korban,” jelasnya.

Setelah film ditayangkan, acara dilanjutkan dengan sesi diskusi. Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Girlie L. A. Ginting menyebutkan dalam kasus penyalahgunaan narkotika, pelanggaran yang paling banyak justru berasal dari aparat penegak hukum. Ia menilai pelanggaran yang terjadi itu dikarenakan regulasi tentang narkotika bermasalah, mulai dari ketentuan pidana hingga hukum acara.

“Kita semua sudah pasti tahu kalau misalnya di Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 (UU Narkotika) itu sebenarnya dia sudah memberikan hak kesehatan bagi ‘pecandu’ dan korban penyalahguna. Tapi memang konteksnya di UU Narkotika kita saat ini, dia sifat rehabilitasinya masih bersifat dikotomi. Jadi pilihannya antara rehabilitasi atau pidana,” kata Girlie.

Mengutip dari hasil riset Kantor Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Narkoba dan Kejahatan (UNODC) Tahun 2018, Girlie mengatakan hanya 18 persen dari seluruh pengguna narkotika yang bermasalah dalam penggunaan narkotikanya. Dengan begitu, kata dia, tidak semestinya semua pengguna narkotika dihadapkan dengan ancaman pidana, sebagaimana terjadi di Indonesia saat ini.

“Yang saat ini kita lakukan terkait dengan advokasi kebijakan, kita terus mendorong konsep dekriminalisasi untuk diadopsi di RUU Narkotika dan saat ini juga DPR sudah mendorong agar pemerintah menyelesaikan drafnya,” jelasnya.

Menurut Girlie, ancaman pidana terhadap seluruh pengguna narkotika akan membawa banyak masalah. Salah satu masalah yang juga disampaikan dalam film Polisi, Narkoba dan Pemerasan ini adalah praktik penyiksaan oleh polisi terhadap masyarakat yang diduga sebagai pemakai narkoba.

“Kita mendorong pengawasan dan mendorong agar sistem peradilan pidana kita ini lebih akuntabel dan transparan untuk memperbaiki permasalah-permasalahan yang ada saat ini yang kita alami,” tegas Girlie.

Sementara itu, Anggota Forum Akar Rumput Indonesia (FARI) Rizky Kurniawan menilai film garapan Koreksi.org ini sangat berkaitan dengan pengalamannya dalam mendampingi korban pemerasan kasus narkotika. Ia mencontohkan, di tingkat Polres, keluarga korban awalnya diarahkan oleh penyidik untuk bertemu dengan pihak swasta penyedia layanan rehabilitasi narkoba.

“Dari situ, mulai komunikasi terkait ‘angka’, negosiasinya di situ dengan pihak rehabilitasi. Di saat sudah nego dengan pihak rehabilitasi, pihak penyidik sudah lepas tangan, mundur, sudah tidak ada komunikasi lagi dengan pihak keluarga,” beber Rizky.

Tak hanya di tingkat Polres, pemerasan juga terjadi di tingkat Polda. Rizky menuturkan, pihak keluarga tidak pernah dipertemukan dengan penyidik yang menangani kasus narkoba. Pihak keluarga justru ditawarkan ‘nominal’ oleh pengacara dari pihak Polda.

“Jadi yang tadi juga ada testimoni dari keluarga korban, itu memang benar terjadi bahwa proses negosiasinya itu antara keluarga dan pengacara. Serah terimanya pun, nominalnya, juga dengan si pengacara itu,” ungkapnya.

Terkait adanya praktik pemerasan tersebut, Rizky mendesak adanya reformasi Polri untuk memastikan penegakan hukum yang adil, transparan, dan berpihak kepada masyarakat. Ia menegaskan, reformasi Polri harus segera diwujudkan bukan hanya sebagai janji politik, tetapi sebagai langkah konkret untuk menciptakan keadilan yang sesungguhnya.

“Kita tidak boleh lagi membiarkan impunitas dan penyalahgunaan wewenang merusak kepercayaan publik,” tandas Rizky.

HT

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

8  +  1  =