OLIGARKI DAN DILEMA KOALISI
Opini

Oligarki dan Dilema Koalisi

Oleh: Salman Hasky*

Channel9.id-Jakarta. Alkisah, dua bandit perampok terciduk polisi. Saat interogasi, mereka ditempatkan di ruang terpisah. Masing-masih mereka bertahan tidak mengakui aksi perampokan. Ampun. Polisi putar otak. Salah satu Bandit, si A, dikasih kesempatan bebas tuntutan jika memberi pernyataan, sohibnya Bandit B, terlibat perampokan. Si A berpikir, B di ruang sebelah pasti dapat tawaran sama. Kepala A berkecamuk pikiran liar, bagaimana jika A bertahan tidak beritahu polisi, tapi B di ruang sebelah justru bekerja sama dengan polisi agar bebas tuntutan. Jika A memilih bekerja sama dengan polisi tapi ternyata B tidak terlena tawaran polisi, maka A telah berkhianat. Pusing tujuh keliling rupa-rupanya ini bandit.

Kisah di atas adalah gambaran sederhana dilema tahanan (prisoner’s dilemma), yang biasa dipakai menjelaskan Game Theory. Asumsinya, kedua belah pihak yang ingin berjalan seiringan dan mendapatkan hasil sama-sama menyenangkan, harus tetap bertahan (setia dan tidak berkhianat, sebagaimana yang sedang dialami bandit A dan B). Tapi, dalam pespektif ekuilibrium yang dicetus John Nash, dua pihak secara alamiah akan berkhianat demi mendapatkan keuntungan minimalis. Disinilah titik keseimbangan terjadi.

Dalam politik, sebuah koalisi terancam pecah kongsi, jika mendapati dilema serupa (tentu bukan di dalam ruang interogasi Pak Polisi).

Banyak dongeng beredar, politik Indonesia terbelenggu oligarki. kondisi ini menyuburkan praktek ala-ala game theory. Apalagi, koalisi dalam politik oligarki kerap didasari ego rasional masing-masing partai koalisi, ketimbang kesamaan premis ideologi.

Konon, dalam setiap politik oligarki, sebagaimana praktek kartel dalam ekonomi, ada satu atau dua pihak bermain cerdik demi memanen keuntungan lebih dibanding rekan sesama koalisi. Kalau sudah begini, prasangka buruk membiaskan persepsi salah satu partai ke partai lain sesama anggota koalisi.

Perang Sunyi Egoisme Rasional

Tak mudah menganalogikan koalisi laksana urusan laki-bini dalam pernikahan yang “happy ever after” dan penuh romansa “till death do us apart”. Politik penuh kepentingan, yang sering tidak diketahui rekan koalisi. Bisik-bisik dan intrik kalau bisa tetap dibuat sunyi. Jangan sampai niatan terendus, mulut harus tetap dikunci.

Anggota koalisi memakai jurus kesunyian, demi egoisme rasional masing-masing. Saling curiga, saling intip dan menyusup, jadi kebiasaan. Parpol benar-benar berada dalam persimpangan kesetiaan dan penghianatan. Aksi salah satu pihak, sangat dipengaruhi bias bayang-bayang, berbagai langkah yang akan diambil pihak lain.

Pada bentuk koalisi seperti ini, prisoner’s dilemma menemukan momentum.

Jika satu pihak setia, di ruang dimana kepentingan tetap disunyikan, maka bagi Nash, hanya akan ada satu pihak yang menikmati keuntungan lebih. Sementara, berkhianat adalah pilihan rasional, demi keuntungan minimalis. Karena jika belakangan diketahui rekan lain berkhianat, minimal kedua kubu sama-sama menderita. Zero sum game!

Dengan demikian, retak koalisi dalam politik merupakan sebuah kewajaran. Lantaran, pengkhiatan adalah sebuah keniscayaan demi keuntungan maksimalis atau minimalis sebagaimana Nash berteori.
Sebaliknya, kesetian hanya sekedar lelucon di siang bolong. Karena, dalam koalisi seperti ini, kesetiaan hanya melahirkan penderitaan. Kalau tidak percaya, tanya saja sama yang sudah setia tapi sering dikhianati.

*Penulis: Jurnalis iNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

80  +    =  81