Channel9.id, Jakarta – Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI) kembali menyoroti beban jaringan yang semakin berat akibat melonjaknya trafik layanan over the top (OTT) seperti WhatsApp dan Instagram. Para pelaku industri telekomunikasi menilai perlunya regulasi yang mewajibkan kerja sama antara penyedia OTT dan operator agar beban infrastruktur dapat ditanggung secara proporsional.
Wakil Ketua Umum ATSI, Merza Fachys, menjelaskan bahwa lonjakan trafik dari layanan OTT kini menekan kinerja operator nasional maupun industri penyiaran. Bagi operator, layanan panggilan suara dan video berbasis internet menjadi tantangan besar karena memakan kapasitas jaringan yang mereka bangun, sementara layanan tersebut turut menggerus pendapatan dari layanan tradisional seperti panggilan suara (legacy).
“Sebagian besar trafik data kini didominasi oleh OTT. Operator terpaksa terus berinvestasi untuk memperbesar kapasitas agar layanan OTT tetap berjalan, padahal kontribusi mereka terhadap negara maupun operator belum sebanding dengan biaya yang dikeluarkan,” kata Merza, Senin (28/7/2025).
Menurutnya, kondisi ini dapat berdampak pada keberlanjutan bisnis operator dan kualitas layanan publik jika tidak segera diatur. ATSI mendorong Kementerian Komunikasi dan Digital bersama para pemangku kepentingan untuk menyusun regulasi, termasuk kewajiban kerja sama, agar tercipta ekosistem digital yang adil dan berkelanjutan.
Merza menambahkan, pemerintah sebenarnya sudah memiliki landasan hukum untuk mengatur OTT melalui PP Nomor 46 Tahun 2021 tentang Pos, Telekomunikasi, dan Penyiaran, serta turunannya, PM Kominfo Nomor 5 Tahun 2021. Regulasi tersebut bahkan memberi kewenangan operator untuk mengelola trafik demi menjaga kualitas layanan dan kepentingan nasional. Namun, menurutnya, penerapan aturan tersebut belum maksimal.
“Kami tidak meminta WhatsApp Call dibatasi, hanya agar ekosistem digital dan telekomunikasi ditata lebih adil dan seimbang sesuai regulasi,” tegasnya.
Meski telah ada beberapa bentuk kerja sama antara operator dan OTT, Merza menilai belum ada skema yang benar-benar mencerminkan fair share atas nilai ekonomi yang didapat OTT dari pemanfaatan infrastruktur digital di Indonesia. Ia menegaskan, OTT tidak bisa terus beroperasi tanpa pengawasan hukum, sementara operator dibebani berbagai kewajiban.
Selain soal kesetaraan bisnis, ATSI menekankan pentingnya perlindungan konsumen. Maraknya kasus penipuan digital melalui aplikasi OTT, mulai dari pengambilalihan akun, tautan undangan palsu, hingga lowongan kerja fiktif, menunjukkan perlunya mekanisme akuntabilitas yang jelas di tingkat nasional.
“Dalam kasus-kasus itu, masyarakat yang menjadi korban tidak tahu harus melapor ke mana, karena penyedia OTT tidak memiliki kehadiran hukum di Indonesia. Ini saatnya OTT diatur demi kepentingan industri dan perlindungan konsumen,” pungkas Merza