Channel9.id – Jakarta. Dirjen Sains dan Teknologi Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendiktisaintek) Ahmad Najib Burhani menyoroti dominasi penerbit jurnal ilmiah internasional dalam industri akademik global. Ia menyebut praktik bisnis yang dijalankan para penerbit besar itu telah menciptakan hegemoni yang menyulitkan akses terhadap pengetahuan ilmiah, khususnya bagi perguruan tinggi di negara berkembang.
Hal itu disampaikan Najib saat memberikan orasi ilmiah pada Sidang Terbuka dalam Rangka Dies Natalis ke-61 UNJ di Kampus A UNJ, Pulogadung, Jakarta Timur, Kamis (15/5/2025). Orasi ilmiah yang disampaikan Najib bertemakan ‘Mandiri Transformatif Mendunia’.
“Akses terhadap publikasi itu tidak murah. Kebanyakan publikasi itu berada dalam gated journal, terkunci, dan dimiliki oleh sindikasi multinasional corporation di bidang akademik,” ujar Najib.
Menurutnya, banyak penerbit besar dunia yang menjual jurnal ilmiah dalam bentuk paket bundling, bukan secara satuan. Pola ini menyebabkan universitas membayar untuk akses jurnal-jurnal yang tidak selalu relevan dengan kebutuhan riset mereka.
“Selain tidak murah harganya, penerbit banyak yang kemudian menjual ke berbagai universitas dalam bentuk bundling atau paket yang berisi sejumlah jurnal yang tak semuanya diperlukan atau tak semuanya sesuai dengan kebutuhan yang ada di sini,” katanya.
Profesor riset di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) itu mencontohkan beban anggaran yang ditanggung beberapa lembaga pendidikan dan riset di Indonesia untuk membayar langganan jurnal. Universitas besar seperti UI dan ITB disebut menghabiskan anggaran puluhan miliar rupiah setiap tahun hanya untuk akses ke publikasi ilmiah.
“Mungkin Bapak/Ibu sudah tahu misalnya di UI itu Rp35 miliar. Di ITB itu sekitar Rp20 atau Rp30 miliar juga. Di BRIN itu juga Rp20 miliar untuk berlangganan ini,” ujar dia.
Jebolan University of Manchester dan Universiteit Leiden ini menilai, praktik bisnis tersebut bukan hanya membebani institusi, tetapi juga menegaskan ketimpangan dalam ekosistem ilmu pengetahuan global. Kampus-kampus yang memiliki dana terbatas menjadi makin sulit menjangkau literatur ilmiah bermutu.
“Independensi kita, kemandirian kita, di antaranya diuji terhadap konglomerasi dan juga hegemoni penerbitan global ini di kampus-kampus yang ada di Indonesia,” kata Najib.
Dalam orasinya, ia juga mengingatkan bahwa dominasi penerbit besar tidak hanya menyulitkan akses terhadap ilmu pengetahuan, tetapi juga memberi tekanan terhadap ekosistem akademik lokal. Hal ini, menurutnya, merupakan bentuk imperialisme pengetahuan yang harus diwaspadai.
Najib menyebut, Presiden Joko Widodo sempat menggagas ide penyatuan langganan jurnal ilmiah pada 2017 saat meresmikan Gedung Perpustakaan Nasional. Namun hingga kini, gagasan itu belum direalisasikan dalam bentuk kebijakan atau program nasional yang terintegrasi.
“Gagasan untuk kemudian melakukan upaya menyatukan langganan ini sebetulnya pernah disampaikan pada peresmian Gedung Perpustakaan Nasional 2017 yang lalu oleh Presiden Jokowi. Namun ini masih berhenti pada tataran ide dan belum ada langkah-langkah konkret untuk merealisasikannya dan kita sekarang berupaya untuk kemudian merealisasikan kegiatan ini,” ujar Najib.
Menurutnya, jika sistem langganan nasional dapat diwujudkan, maka akses terhadap jurnal ilmiah tidak lagi terbatas pada kampus-kampus besar. Perguruan tinggi kecil dan lembaga pendidikan lain yang selama ini tidak mampu membayar langganan akan merasakan manfaatnya.
“Jika langkah ini bisa terwujud, maka kita tidak terbatas hanya masyarakat akademik dari kampus tertentu yang bisa mengakses jurnal ilmiah secara mudah, kampus-kampus yang selama ini kesulitan atau sama sekali tidak berlangganan jurnal ilmiah, akan mendapatkan manfaat besar dari skema ini,” kata Najib.
Langkah tersebut juga dinilai dapat membantu Indonesia melepaskan diri dari ketergantungan terhadap penerbit global dan membangun ekosistem akademik yang lebih mandiri. Selain itu, ia menekankan bahwa inisiatif ini akan berkontribusi pada amanat konstitusi untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.
“Ini tentu akan membuka pintu yang lebar bagi masyarakat kita untuk menjadi masyarakat ilmiah dan amanah UUD 1945 untuk mencerdaskan kehidupan bangsa akan lebih mudah tercapai. Selain itu, upaya ini juga bisa melepaskan bangsa ini dari hegemoni atau imperialisme akademik, terutama yang berada di bawah multinational corporation yang mengontrol industri akademik,” jelasnya.
HT