Channel9.id – Jakarta. Pakar psikologi politik dari Universitas Indonesia (UI) Hamdi Muluk menyatakan, tes wawasan kebangsaan (TWK) yang disusun oleh KPK, BKN, dan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kempan RB), bisa dibuktikan secara ilmiah.
Pernyataan itu disampaikan menyusul polemik 51 pegawai KPK yang diberhentikan karena tidak lulus TWK alih status pegawai KPK menjadi ASN.
“TWK dapat dibuktikan secara ilmiah, tetapi perlu dipilah aspek mana saja yang bisa diungkap ke publik dan mana yang tidak bisa sehingga dapat dibuktikan tingkat efikasi dari tools tersebut memiliki tingkat validitas yang cukup baik,” kata Ketua Laboratorium Psikologi Politik UI itu dilansir Berita Satu, Jumat 29 Mei 2021.
Dia menegaskan, TWK perlu digelar karena penting sebagai tolok ukur kepribadian seseorang terkait kebangsaan mulai dari ideologi radikalisme, intoleransi, ideologi liberalisme hingga sosialisme.
“Bahwa alat ukur TWK itu tidak hanya untuk mengukur ideologi radikalisme terorisme atau intoleransi, tetapi ideologi liberalisme, komunisme, sosialisme itu juga jadi aspek yang bisa diukur,” katanya.
Kepala Laboratorium Psikologi Universitas Bina Nusantara Istiani menyatakan, TWK yang diadakan KPK sudah sesuai kaidah psikometri serta memiliki tingkat validitas yang baik.
“Penyusunan instrumen TWK sudah melalui prosedur psikologi yang ketat dan panjang sejak 2012, sehingga TWK sudah sesuai dengan kaidah psikometri dan memiliki tingkat validitas yang baik,” katanya.
Jika publik merasa janggal akan hasil TWK tersebut, maka BKN perlu membuktikan secara ilmiah termasuk detail mekanisme penyelenggaraan tes itu.
Pakar aliansi kebangsaan Yudi Latief menambahkan, TWK memang perlu diterapkan dalam mekanisme tes alih status pegawai menjadi ASN.
Menurutnya Pancasila menjadi satu keutuhan yang pelaksanaannya harus dipaksa kepada ASN oleh negara. Hal itu bertujuan agar moral anak bangsa tetap terjaga untuk NKRI.
“Pancasila merupakan civil religion atau agama publik. Penafsiran-nya harus dilakukan oleh negara dan pelaksanaannya harus dipaksa oleh negara. Masyarakat tetap bisa menafsirkan Pancasila namun harus tetap dalam bingkainya,” katanya.
Lebih jauh, tentunya akan ada konsekuensi tertentu ketika warga negara tidak seiring dengan Pancasila. Negara perlu mengupayakan bagaimana moral publik itu dilaksanakan secara sukarela sehingga tidak terpaksa dan menjadi suatu kebutuhan.
“Begitu pula bagaimana kita harus berkolaborasi sebagai anak bangsa dan warga negara dalam menjaga keutuhan NKRI agar tidak terjadi disintegrasi bangsa,” ujarnya.
HY