Oleh : Yanuar Iwan S.
Rangkaian kerusuhan di Papua dari Manokwari, Sorong, Fak-fak, Deiyai dan yang terbaru di Jaya Pura menjadi peringatan serius bahwa kita sebagai suatu bangsa masih memiliki masalah integrasi nasional khususnya di tanah Papua. Kompleksitas permasalahan di Papua yang digambarkan oleh para peneliti LIPI, Adriana Elisabeth, Cahyo Pamungkas, dan Muridan S Widjojo yang populer di sebut “Papua Road Map” bahwa akar permasalahan Papua mencakup :
1. Masalah sejarah dan status politik integrasi Papua ke Indonesia, orang-orang Papua belum merasa integrasi ke Indonesia di lakukan dengan benar. Sehingga masih perlu di bicarakan.
2. Kekerasan dan pelanggaran HAM yang berlangsung di Papua dari 1965 melalui operasi militer nyaris tak ada pertanggung jawaban dari negara.
3. Perasaan terdiskriminasi dan termarginalkan yang di akibatkan oleh penyingkiran orang-orang Papua dalam rumusan pembangunan di tangan mereka.
4. Kegagalan pembangunan di Papua itu sendiri yang melingkupi bidang pendidikan, kesehatan, dan ekonomi rakyat.
Dari kompleksitas permasalahan di Papua tersebut, kita juga patut bertanya bagaimana penggunaan dan pemanfaatan dana otonomi khusus yang di mulai dari tahun 2001 jumlah dana otsus dari tahun ke tahun terus meningkat pada tahun 2019 Rp 8,36 T dan pada 2020 naik menjadi Rp 8,37 T Mengapa dana itu tidak signifikan untuk merubah wajah sosial, ekonomi, dan pendidikan di Papua ? dan apakah sudah di lakukan audit oleh pihak berwenang dalam hal ini BPK, karena Pemprov Papua dan Papua Barat yang mengelola dana ini secara langsung.
Peristiwa yang bernuansa rasis, sikap-sikap rasisme telah banyak di buktikan dalam sejarah dunia, sikap dan tindakan rasisme bahkan di legalkan di Afrika Selatan ( Politik Apartheid ) dengan tujuan untuk mempertahankan hegemoni dan kekuasaan kelompok kulit putih terhadap masyarakat kulit hitam, rasialisme terbentuk dari sikap Etno Sentrisme yaitu sikap percaya bahwa kebudayaan sendiri lebih baik daripada semua kebudayaan lain, Etno sentrisme lebih kuat dari pada patriotisme dan loyalitas karena menganggap bahwa suatu kebudayaan dan bagian-bagiannya seperti kesenian, ilmu pengetahuan, religi, politik dan ekonomi lebih baik daripada semua kebudayaan lain.
Etno Sentrisme banyak di gunakan oleh negara-negara kolonialis dan imperialis untuk memperkuat hegemoni mereka terhadap tanah jajahan, Etno Sentrime mengakibatkan Perang Dunia II sebagian besar masyarakat Jerman di bawah Hitler menganggap dirinya sebagai ras terpilih dan sangat pantas memimpin dunia sementara bangsa lain hanya di anggap pelengkap penderita.
Pola perilaku Etno Sentrisme ternyata pernah di lakukan Ali Moertopo seorang perwira tinggi kepercayaan Presiden Soeharto, di hadapan anggota DMP ( Dewan Musyawarah Papua ) dan dalam ingatan seorang pendeta anggota DMP Jayapura bernama Hoku Joku . Ali Moertopo mengatakan “Jakarta tidak tertarik kepada orang Papua melainkan wilayahnya” sambil tertawa mencemooh. ( Historia )
Sikap Etno Sentrisme tentu saja mengakibatkan konflik yang entah kapan akan meledak tinggal menunggu moment-moment yang tepat oleh karena itu di butuhkan Pluralisme kebudayaan untuk masa depan Indonesia khususnya masa depan Papua berupa interaksi sosial dan politik antara orang-orang yang berbeda cara hidup dan berpikirnya di dalam masyarakat yang di persatukan dalam suatu negara yang sama. Secara ideal, Pluralisme kebudayaan berarti penolakkan ke fanatikkan, purbasangka, dan rasisme, dan penerimaan sikap menghargai kebudayaan tradisional orang lain ( Antropologi, William. A. Havilland )
Pluralusme kebudayaan tidak akan terjadi tanpa interaksi dan komunikasi yang intensif, semakin meningkat Pluralisme kebudayaan berarti meningkat pula sikap-sikap toleransi. Di dalam kasus ujaran rasial di Surabaya telah membuktikan bahwa kita sebagai bangsa memiliki masalah di dalam Pluralisme kebudayaan, sebagian kita masih terjebak dalam purbasangka terhadap masyarakat yang berbeda kebudayaannya, masih terjebak ke dalam kecurigaan yang rentan terhadap konflik dan sejujurnya sebagian kita masih menerapkan pola pikir dan tindakan yang bernuansa Etno Sentrisme.
Segera kembangkan dialog di Papua, dialog yang terbuka, demokratis, manusiawi dan mengedepankan nilai-nilai kesetaraan demi terwujudnya Papua yang demokratis, sejahtera, dan jauh dari tindak kekerasan.