Opini

PBB di Usia ke-79: Mampukah Menjaga Api Perdamaian di Tengah Badai Global?

Oleh: Eva Riana Rusdi*

Channel9.id-Jakarta. Di tengah kepulan asap dan puing-puing Perang Dunia II yang masih menganga, 51 negara berkumpul di San Francisco pada 24 Oktober 1945. Mereka membawa satu tekad: dunia tak boleh lagi terseret ke dalam kehancuran perang. Dari titik inilah, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) lahir sebagai mercusuar harapan bagi perdamaian dunia.

Dari Abu Perang Menuju Fajar Baru

Sejarah PBB sebenarnya mulai tertulis jauh sebelum 1945. Pada Agustus 1941, di tengah berkecamuknya Perang Dunia II, Presiden Amerika Serikat Franklin D. Roosevelt dan Perdana Menteri Inggris Winston Churchill menandatangani Piagam Atlantik. Dokumen bersejarah ini menjadi fondasi awal visi dunia pasca perang yang lebih damai dan demokratis.

Momentum ini berlanjut dengan Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 1 Januari 1942, saat 26 negara sekutu berkomitmen melawan kekuatan Poros. Nama “Perserikatan Bangsa-Bangsa” sendiri dicetuskan oleh Roosevelt, menggambarkan aliansi negara-negara yang berjuang bersama demi kebebasan dan kemanusiaan.

Konferensi Dumbarton Oaks di Washington DC (1944) menjadi titik krusial berikutnya, di mana Amerika Serikat, Inggris, Uni Soviet, dan Tiongkok merancang kerangka dasar organisasi internasional baru ini. Mereka belajar dari kegagalan Liga Bangsa-Bangsa dengan menciptakan struktur yang lebih kuat, terutama melalui pembentukan Dewan Keamanan dengan sistem hak veto.

Puncaknya terjadi pada Konferensi San Francisco, 25 April hingga 26 Juni 1945. Selama dua bulan, delegasi dari 50 negara (Polandia bergabung kemudian) merancang Piagam PBB yang terdiri dari 111 pasal. Piagam ini secara resmi berlaku pada 24 Oktober 1945, setelah diratifikasi oleh lima anggota tetap Dewan Keamanan dan mayoritas negara penandatangan lainnya.

Trygve Lie dari Norwegia terpilih sebagai Sekretaris Jenderal pertama, memimpin organisasi yang bermarkas di New York City – lokasi yang disumbangkan oleh John D. Rockefeller Jr. PBB kemudian tumbuh pesat, dari 51 anggota pendiri menjadi 193 negara saat ini, menjadikannya forum global paling inklusif di dunia.

Jejak Kontribusi di Panggung Global

Selama hampir delapan dekade, PBB telah menorehkan pencapaian signifikan dalam berbagai bidang kehidupan. Di bidang kemanusiaan, Pasukan Perdamaian Topi Biru telah berhasil meredam konflik di berbagai wilayah bergejolak, dari Rwanda hingga Timor-Leste. Misi-misi ini tidak hanya menghentikan pertumpahan darah, tetapi juga membantu membangun kembali institusi pemerintahan dan infrastruktur sosial pasca konflik.

UNICEF, sebagai sayap PBB untuk anak-anak, telah menyelamatkan jutaan nyawa melalui program vaksinasi, pendidikan, dan perlindungan anak. WHO memimpin perang melawan berbagai wabah penyakit, dari cacar hingga COVID-19, sementara UNHCR memberikan perlindungan dan harapan baru bagi lebih dari 70 juta pengungsi global.

Di ranah lingkungan, UNEP (United Nations Environment Programme) menjadi motor penggerak kesadaran dan aksi global terhadap krisis iklim. Kesepakatan Paris 2015 menjadi bukti kemampuan PBB dalam menyatukan 196 negara untuk mengatasi ancaman eksistensial ini. Program Pembangunan PBB (UNDP) telah membantu menurunkan angka kemiskinan ekstrem global dari 36% pada 1990 menjadi kurang dari 10% saat ini.

Pencapaian monumental lainnya termasuk Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia 1948 yang menjadi standar global hak asasi, program pangan dunia yang memberi makan jutaan korban kelaparan, hingga misi-misi pelucutan senjata nuklir yang mencegah ancaman perang atom.

PBB Menghadapi Tantangan Kontemporer

Di usia ke-79, PBB menghadapi tantangan yang semakin kompleks dan multidimensi. Konflik Ukraina-Rusia telah memperlihatkan keterbatasan sistem veto Dewan Keamanan, di mana kemampuan satu negara untuk memblokir resolusi dapat melumpuhkan respons global terhadap krisis. Situasi ini memicu perdebatan serius tentang urgensi reformasi struktural dalam sistem pengambilan keputusan PBB.

Krisis iklim menjadi ujian berat lainnya. Meski Perjanjian Paris 2015 telah disepakati, implementasinya masih jauh dari target. Kenaikan suhu global yang mendekati 1.5°C membutuhkan aksi lebih agresif, sementara ketegangan antara kepentingan ekonomi negara maju dan berkembang semakin menajam.

Pandemi COVID-19 membuka tabir ketimpangan global yang menganga. Akses vaksin yang tidak merata, pemulihan ekonomi yang timpang, dan meningkatnya kemiskinan ekstrem menantang PBB untuk menemukan solusi yang lebih efektif dalam mengatasi kesenjangan Utara-Selatan. Ancaman cybersecurity, terorisme digital, dan penyebaran dezinformasi menambah kompleksitas tantangan di era digital.

Di internal, PBB bergulat dengan masalah pendanaan kronis, di mana banyak negara anggota terlambat atau gagal memenuhi kontribusi wajib mereka. Birokrasi yang rumit dan tumpang tindih antar badan PBB juga menghalangi respons cepat terhadap krisis. Tuntutan reformasi representasi di Dewan Keamanan semakin menguat, terutama dari negara-negara Afrika dan Amerika Latin yang merasa kurang terwakili.

Menatap Masa Depan dengan Optimisme

Meski dihadapkan pada berbagai tantangan, PBB tetap menjadi harapan terbaik dunia untuk kerja sama multilateral. Di era di mana nasionalisme sempit menguat dan polarisasi meruncing, peran PBB sebagai jembatan dialog antarperadaban menjadi semakin vital.

Reformasi struktural, penguatan mandat, hingga modernisasi sistem kerja menjadi kunci agar organisasi ini tetap relevan. Seperti kata Sekretaris Jenderal António Guterres, “PBB harus beradaptasi dengan realitas abad ke-21 sambil tetap setia pada prinsip-prinsip pendiriannya.”

Di tengah ketidakpastian global, satu hal pasti: dunia membutuhkan PBB lebih dari sebelumnya. Organisasi ini bukan hanya simbol kerja sama internasional, tapi pengingat bahwa masalah-masalah global hanya bisa diatasi melalui solidaritas dan aksi bersama. Di usianya yang ke-79, api perdamaian yang dinyalakan PBB harus terus dijaga, diperkuat, dan diwariskan ke generasi mendatang.

Baca juga: Santri dan Semangat Kemerdekaan: Kisah Tak Terlupakan dari Pesantren untuk Indonesia

*Kandidat Doktor Ilmu Sejarah Universitas Indonesia

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

  +  53  =  59