Channel9.id-Jakarta. Desakan agar kelompok bersenjata di Papua dilabel sebagai organisasi teroris semakin menguat belakangan ini, apalagi setelah kematian perwira tinggi Kopassus yang menjabat Kabinda Papua, Mayjen (anumerta) I Gusti Putu Danny Karya Nugraha. Hal itu diungkapkan SETARA Institute, pada Rabu, 28 April 2021.
“Pihak-pihak yang mendukung pelabelan ini hanya berpikir simple dan pendek karena mengira dengan begitu operasi pengejaran dan melumpuhkan kelompok bersenjata di Papua jauh akan lebih efektif. Padahal realitanya tidak semudah itu,” tulis Setara Institute dalam keterangannya.
Baca juga: Satgas Nemangkawi Serbu Markas KKB, Sembilan Orang Tewas
Di lain pihak, lanjutnya, ada juga yang mendukung tapi mempunyai agenda lain yaitu berkepentingan agar label teroris di negeri ini tidak semata pada kelompok kekerasan yang mengaku mewakili agama tertentu.
Setara Institute menilai, ketiadaan definisi yang baku dan diterima secara internasional memang membuka ruang bagi setiap negara secara subyektif untuk mengkategorikan kelompok-kelompok yang dipandang mengancam keamanan dan kepentingan nasional sebagai organisasi teroris, diluar daftar organisasi teroris yang telah ditetapkan oleh PBB.
“Di Indonesia sendiri bila mengacu pasal 1 ayat 2 UU No 15 tahun 2018 definisi terorisme dirumuskan secara luas dan multi interpretasi sehingga dimungkinkan adanya interpretasi yang membenarkan pelabelan itu,”lanjut pernyataan Setara Institute.
Menurut Setara Institute, dengan pelabelan organisasi teroris kepada kelompok bersenjata di Papua. Apalagi kemudian jika pelabelan itu melebar diberikan kepada kelompok pro kemerdekaan di Papua yang berjuang secara damai, tidak akan membantu bagi penyelesaian konflik di Papua tapi justru sebaliknya kontra produktif.
Setara Institute menyebut, perlu dipikirkan implikasi dari pelabelan tersebut. Pertama dengan melabel kelompok bersenjata di Papua sebagai teroris, itu berarti sekaligus menutup ruang negosiasi dan perundingan.
Kedua, pelabelan teroris akan menambah luka sosial rakyat Papua. Karena mereka akan merasa pelabelan ini bukan hanya untuk kelompok bersenjata Papua tetapi rakyat Papua secara keseluruhan.
“Pemerintah harus menyusun sebuah strategi komprehensif untuk penyelesaian damai Papua. Tidak hanya tertuju pada percepatan pembangunan, penambahan provinsi, dan revisi UU otonomi khusus,”jelasnya.
“Tapi juga membuka ruang pembicaraan dan perundingan dengan kelompok-kelompok yang melakukan perlawanan selama ini. Langkah awal untuk itu adalah mencari kesepakatan agar dihentikan penggunaan kekerasan dan permusuhan antara kedua belah pihak,”lanjutnya.
Leibh lanjut Setara Institute menyatakan, Pemerintah Indonesia bisa memulai dengan menjajaki membuka saluran komunikasi dengan pihak yang selama ini melakukan perlawanan.
Pemerintah Indonesia tidak perlu merasa kalah apalagi kuatir akan kehilangan Papua bila duduk dalam satu meja dengan kelompok perlawanan.
“Perdamaian di Papua tidak akan tercapai melalui ujung senjata tetapi melalui perundingan,”pungkas Setara Institute.