Channel9.id – Jakarta. Pengadilan Negeri Jakarta Utara (PN Jakut) melanjutkan sidang kasus penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan, Senin (29/6).
Dalam persidangan ini, Tim Penasihat Hukum (TPH) terdakwa Rahmat Kadir Mahulete dan Ronny Bugis membacakan duplik atas replik Jaksa Penuntut Umum (JPU).
Tim penasehat hukum menolak empat pernyataan JPU yang menjadi dasar, menuntut 1 tahun penjara kepada terdakwa.
“JPU tidak objektif dalam melihat fakta-fakta hukum dalam persidangan. JPU tetap bertahan dengan tuntutan awalnya,” kata salah satu TPH di PN Jakut, Senin (29/6).
JPU sebelumnya menyatakan, Rahmat dan Ronny merupakan pelaku penyiraman air aki yang dicampur air kepada Novel Baswedan. Hal ini juga membantah pleidoi TPH pada 15 Juni 2020.
Pernyataan itu pun ditolak TPH. TPH menegaskan, Rahmat merupakan aktor tunggal dalam peristiwa penyiraman tersebut. Sedangkan, Ronny hanya dimanfaatkan Rahmat untuk mengantarkannya ke kediaman Novel. Kemudian, Rahmat melakukan penyiraman air aki tersebut.
“Ronny Bugis hanya dijadikan alat Rahmat Kadir untuk mengantarkan yang bersangkutan melakukan penyiraman air aki yang dicampur air biasa kepada korban Novel Baswedan. Di mana maksud Ronny tidak sama dengan maksud Rahmat Kadir Maulete,” katanya.
Pernyataan kedua yang ditolak TPH adalah, Rahmat dan Ronny sudah menyusun rencana untuk memberikan penganiayaan kepada Novel. Hal ini berdasarkan fakta bahwa Rahmat mencari alamat dan melakukan survei kediaman Novel sebelum melakukan penyiraman.
TPH menyatakan, Rahmat tidak berencana melakukan penyiraman tersebut. Tindakan tersebut hanya spontanitas Rahmat yang didorong kebencianya kepada Novel.
“Berdasarkan fakta hukum di persidangan, Rahmat Kadir tidak memiliki rencana untuk menyiram Novel. Padahal jelas, Rahmat melakukan itu secara spontan dipicu kebencian kepada Novel karena korban dianggap tidak memiliki jiwa korsa dalam Kasus Sarang Burung Wallet,” ujarnya.
“Kondisi itu menyebabkan Rahmat Kadir ingin memberikan pelajaran. Pelajaran itu tak pernah direncanakan. Pencarian alamat dan survei bukan perencana, tapi konsekuensi dari kebencian tersebut,” lanjut salah satu TPH.
Bahkan, saksi Ahli Psikologi Handi Muluk menyatakan, Rahmat Kadir melakukan penyiraman tersebut karena sikap impulsifnya yang memunculkan spontanitas.
TPH juga menolak pernyataan JPU, bahwa kedua terdakwa hendak memberikan penganiayaan berat kepada Novel.
Menurut TPH, Rahmat Kadir tidak bermaksud melakukan penganiayaan berat. Rahmat hanya ingin memberikan pelajaran sehingga Novel tidak melupakan intitusinya.
“Rahmat Kadir tidak ada niat untuk melakukan penganiayaan berat. Dia hanya berniat untuk memberikan pelajaran dengan menyiramlan air keras yang dicampur air biasa ke tubuh Novel. Namun ternyata, mengenai mata Novel yang mengakibatkan penglihatan mata kiri tak berfungsi, dan mata kanan hanya melihat 50 persen saja,” ujarnya.
Terakhir, TPH menyatakan, kerusakan mata yang terjadi pada mata Novel bukan akibat langsung dari penyiraman air aki. Namun, kesalahan penanganan karena sikap NoveL yang tidak kooperatif.
Menurut TPH, harus dibedakan antara akibat langsung penyiraman air aki yang dilakukan Rahmat dengan akibat tidak langsung.
“Berdasarkan fakta persidangan, Dokter Mitra Keluarga menyatakan, Novel saat pertama kali disiram air aki yang mengandung asam sulfat, sudah melakukan perawatan irigasi. Sehingga asam sulfat yang ada di mata Novel mencapai titik normal atau netral,” katanya.
“Dengan demikian, akibat langsung dari daya rusak akibat asam sulfat sudah berhenti,” ucapnya.
Namun, justru korban tak percaya dengan penanganan RS Mitra Keluarga dan meminta ke RS lain. Sikap tidak kooperatif itu yang membuat mata Novel mengalami kerusakan parah.
“Maka kerusakan mata korban tak bisa menjadi tanggungjawab Rahmat karena bukan akibat langsung,” ujarnya.
Oleh karena itu, TPH meminta kepada Majelis Hakim untuk membebaskan kedua terdakwa.
“Kami mohon kepada majelis hakim untuk membebaskan kedua terdakwa, setidaknya dibebaskan dari tuntutan JPU,” pungkasnya.
(HY)