Nasional

Pemerhati Anak Kecam Kepolisian Gunakan Senjata Laras Panjang dan Tampilkan ABH 13 Tahun di Konferensi Pers

Channel9.id – Jakarta. Pemerhati Anak dan Pendidikan, Retno Listyarti mengecam pihak kepolisian yang membawa senjata laras panjang dan menampilkan ABH 13 tahun saat konferensi pers.

ABH inisial R (13 tahun) merupakan terduga pelaku yang membakar sekolahnya karena sakit hati lantaran mengalami pembullyan terus menerus dari sesama peserta didik dan juga gurunya.dia ditampilkan oleh pihak kepolisian dalam sebuah konferensi pers dan secara berlebihan pihak kepolisian juga menempatkan seorang polisi berseragam yang memegang senjata laras Panjang.

Atas kejadian tersebut Retno menyampaikan bahwa pihak kepolisian berpotensi kuat melanggar UU SPPA dan UU Perlindungan Anak

“Saya menduga kuat pihak polisi tidak memahami UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) dan tidak pahan Konvensi Hak Anak terutama tentang prinsip kepentingan terbaik bagi anak. Apa yang dilakukan pihak kepolisian berpotensi kuat melanggar UU SPPA dan UU Perlindungan Anak,” kata Retno dalam keterangan tertulis yang diterima Channel9.id, Minggu (2/72023).

Meski anak R, lanjut Retno, telah melakukan tindak pidana pengrusakan, namun Anak R yang masih berusia 13 tahun seharusnya tidak perlu ditampilkan dalam konferensi pers, apalagi didampingi polisi dengan senjata laras Panjang, padahal Ananda R tidak akan mampu melarikan diri dan melawan aparat.

“Selain itu, anak R juga korban pembullyan, apa yang dilakukan merupakan akibat dari sebuah sebab yang dialaminya dari lingkungan tempat dia bersekolah,” terang Retno.

Lalu Retno menuturkan, dalam UU No 11 Tahun 2012 pada Pasal 19 (1) disebutkan bahwa Identitas Anak, Anak Korban, dan/atau Anak Saksi wajib dirahasiakan dalam pemberitaan di media cetak ataupun elektronik.

“Adapun ayat (2) merinci apa saja yang merupakan Identitas anak, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi nama Anak, nama Anak Korban, nama Anak Saksi, nama orang tua, alamat, wajah, dan hal lain yang dapat mengungkapkan jati diri Anak, Anak Korban, dan/atau Anak Saksi,” beber Retno.

Menurut Retno, menampilkan anak R dalam konferensi pers meski menggunakan penutup wajah sekalipun, sudah berpotensi kuat ikut mengungkap jati diri anak. Media televisi, cetak dan elektronik dapat dipastikan menampilkan fisik anak R dan pasti akan menzoom bagian wajah yang tertutup, artinya polisi justru memfasilitai media melanggar pasal 19 UU SPPA.

“Padahal, ada Sanksi atas pelanggaran UU SPPA Pasal 19 Ayat 1 yang dapat dikenakan terhadap media, adapaun ketentuan sanksinya adalah bahwa “Setiap orang yang melanggar kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 Ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah),” ujar Retno.

Ditambah lagi kata Retno, pihak Kepolisian berpotensi melanggar hak anak memperoleh Pendidikan. Perlakuan pihak kepolisian yang berlebihan, menurut Retno, dapat berdampak pada massa depan Ananda R, seperti hilangnya hak melanjutkan Pendidikan, karena setelah pemberitaan tersebut, anak R berpoteni tidak diterima lagi oleh pihak sekolah karena dianggap mencemarkan nama baik sekolah dan seolah penjahat yang berbahaya.

“Kalaupun anak R sudah menjalani proses hukum nantinya, anak R akan kesulitan mendapatkan sekolah yang mau menerimanya melanjutkan Pendidikan. Padahal, anak R berhak mendapatkan Pendidikan meski sebagai pelaku pidana sekalipun, karena dia masih anak dibawah umur,” jelas Retno.

“Anak R juga berhak melanjutkan masa depannya meski pernah dihukum sekalipun. Itu semua dijamin dalam UU Perlindungan Anak,” tambahnya.

Namun, ketika diliput luas oleh media bahkan diambil foto dan videonya, maka anak R akan berpotensi kuat mendapatkan stigma buruk berkepanjangan, baik di wilayah anak R tinggal bersama keluarganya, maupun dalam lingkup yang lebih luas.

“Hal ini akan berdampak masa depannya yang berpotensi suram, seperti sulit mendapatkan sekolah, berikutnya mendapatkan pekerjaan, dan sebagainya. Hal tersebut berpotensi kuat terjadi sebagai dampak pemberitaan dan identitas yang muncul di publik, dan ironisnya itu dilakukan oleh APH,” terangnya.

Untuk itu Retno mendesak Kompolnas, Irwasun Polri, KPAI dan Dewan Pers Turun Tangan. “Saya sebagai pemerhati anak dan Komisioner KPAI Periode 2017-2022 mendorong pihak pihak terkait seperti Irwasun Polri dan Kompolnas dapat bertindak sesuai kewenangannya untuk menyelidiki dugaan pelanggaran UU PA dan UU SPPA yang dilakukan oleh kepolisian,” kata Retno.

Dia mendorong KPAI sebagai Lembaga pengawas perlindungan anak segera bersuara dan bertindak. Selain itu, Dewan Pers juga harus melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap media yang diduga melanggar pasal 19 UU SPPA dalam tayangannya.

“Semoga peristiwa menjadi pembelajaran bagi semua pihak untuk peka dan memiliki persfektif perlindungan anak,” pungkas Retno.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

  +  2  =  4