Channel9.id, Jakarta – Pemerintah melalui Kementerian Keuangan resmi memberlakukan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 50 Tahun 2025 yang memperbarui ketentuan perpajakan atas transaksi aset kripto. Meski banyak pihak menyoroti adanya lonjakan tarif pajak dalam beleid ini, para pakar menegaskan bahwa inti kebijakan bukan terletak pada peningkatan penerimaan negara, melainkan pada perubahan fundamental dalam pendekatan fiskal dan kepastian hukum terhadap ekosistem kripto di Indonesia.
Pengajar Ilmu Administrasi Fiskal Universitas Indonesia, Prianto Budi Saptono, menyatakan bahwa beleid ini didasari tiga prinsip utama: kepastian hukum, kesederhanaan, dan kemudahan administrasi. “Ketiga asas tersebut menjadi fondasi PMK 50/2025. Meskipun penerimaan pajak dari kripto diperkirakan naik, itu bukan tujuan utama,” ujarnya, Rabu (30/7/2025).
Dari Komoditas Menjadi Instrumen Keuangan
Salah satu perubahan paling mendasar dalam PMK 50/2025 adalah status hukum aset kripto. Jika sebelumnya diperlakukan sebagai komoditas tak berwujud—yang otomatis dikenai Pajak Pertambahan Nilai (PPN)—maka kini kripto disamakan dengan surat berharga, dan tidak lagi menjadi objek PPN.
“Dalam kerangka baru ini, penghasilan dari transaksi kripto dikenai Pajak Penghasilan (PPh), sedangkan PPN tidak lagi berlaku. Ini karena kripto tak lagi dianggap barang, tapi instrumen keuangan,” terang Prianto. Perubahan ini selaras dengan Pasal 4 ayat (2) UU PPN, yang memang mengecualikan surat berharga dari objek PPN.
Meski tujuan utamanya adalah penataan fiskal, PMK 50/2025 tetap membawa dampak fiskal melalui penyesuaian tarif yang signifikan dibanding beleid sebelumnya (PMK 68/2022). Kini, tarif PPh Pasal 22 atas transaksi kripto naik dari 0,1% menjadi 0,21%.
Tarif PPN, meskipun tidak dikenakan langsung atas aset kripto, tetap muncul dalam konteks jasa penambangan dan verifikasi. Dalam aturan baru, tarif pungutan atas jasa penambang kripto dilipatgandakan: dari 10% × tarif PPN × DPP (dalam PMK 68/2022) menjadi 20% × 11/12 × tarif PPN × DPP.
Selain tarif, aturan baru ini juga menetapkan mekanisme dan kriteria baru bagi pihak pemungut pajak. Hanya Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) yang sudah berstatus Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang ditunjuk sebagai pemungut resmi. Penunjukan ini mengacu pada Pasal 32A dan 44E UU KUP, serta mempertegas posisi PMSE sebagai aktor fiskal yang bertanggung jawab secara administratif.
Implikasi: Penambang Kini Jadi Subjek Pajak
Dalam skema baru ini, penambang aset kripto—baik individu maupun entitas—mulai diperlakukan sebagai subjek pajak. Mereka dianggap melakukan penyerahan aset digital dan menerima penghasilan, sehingga dikenai PPh berdasarkan Pasal 4 UU PPh. Namun karena kripto bukan lagi objek PPN, penambang tidak terkena pungutan PPN atas aset yang ditambangnya.
Transparansi dan Ketegasan Administratif
Kepala Riset Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Fajry Akbar, menyebut bahwa PMK 50/2025 tidak hanya menaikkan tarif, tetapi juga menyempurnakan basis pengenaan pajak dan memperketat aspek administratif. Ketentuan baru kini mensyaratkan dokumen setara bukti potong serta menetapkan kriteria teknis untuk pihak yang bisa ditunjuk sebagai pemungut. Hal ini sebelumnya tidak diatur secara eksplisit dalam PMK 68/2022.
“Peningkatan tarif memang mencolok, tapi struktur dan mekanisme baru ini memberi kejelasan lebih tinggi terhadap skema perpajakan kripto,” ujar Fajry. Meski demikian, ia mengingatkan bahwa dampak terhadap penerimaan negara masih menunggu data transaksi aktual.