Hot Topic Hukum

Pemilu Tetap Coblos Caleg, MK Sebut Proporsional Terbuka Lebih Demokratis

Channel9.id – Jakarta. Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan menolak permohonan uji materi (judicial review) terhadap pasal mengenai sistem proporsional terbuka dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Dengan begitu, sistem pemilu yang berlaku tidak berubah, yakni tetap proporsional terbuka.

Hakim Konstitusi Suhartoyo mengungkapkan kelebihan dan kekurangan sistem pemilu proporsional terbuka. Pada proporsional terbuka, Suhartoyo mengatakan kandidat calon anggota legislatif harus berusaha memperoleh suara sebanyak mungkin agar dapat memberoleh kursi.

“Hal ini mendorong persaingan yang sehat antara kandidat dan meningkatkan kualitas kampanye serta program kerja mereka,” kata Suhartoyo dalam sidang pleno pembacaan putusan perkara Nomor 114/PUU-XIX/2022 di Gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (15/6/2023).

Kelebihan proporsional terbuka lainnya yaitu kebebasan para pemilih untuk menentukan calon legislatif yang dipilihnya tanpa terikat nomor urut yang ditetapkan partai politik.

“Hal ini memberikan fleksibilitas pemilih untuk memilih calon yang mereka anggap paling kompeten atau sesuai dengan preferensi mereka,” ujarnya.

Lebih lanjut, ia menyebut proporsional terbuka memungkinkan para pemilih berkesempatan untuk melibatkan diri pada tindakan dan keputusan anggota legislatif.

“Meningkatkan akuntabilitas dan transparansi dalam sistem politik termasuk meningkatkan partisipasi pemilih,” tutur Suhartoyo.

Selain itu, ia menyebut proporsional terbuka lebih demokratis karena representasi politik didasarkan pada jumlah suara yang diterima oleh partai politik atau calon, sehingga memberikan kesempatan yang lebih adil bagi partai atau calon legislatif.

Di sisi lain, Suhartoyo menjelaskan kekurangan dari sistem pemilu proporsional terbuka, salah satunya memberikan peluang terjadinya politik uang.

“Keberadaan modal politik yang besar ini dapat menjadi hambatan bagi kandidat dari latar belakang ekonomi yang lebih rendah,” ucap dia.

Selain itu, proporsional terbuka juga dinilai mereduksi peran partai politik dan membuka kemungkinan adanya jarak antara anggota calon legislatif dengan partai politik.

“Kelemahan lainnya adalah pendidikan politik oleh partai politik yang tidak optimal, di mana partai politik cenderung memiliki peran yang lebih rendah dalam memberikan pendidikan politik kepada pemilik,” tutur Suhartoyo.

“Akibatnya, partai politik menjadi kurang fokus dalam memberikan informasi dan pemahaman yang mendalam tentang isu isu politik kepada pemilik,” tandas dia.

Sebagaimana diketahui, MK telah menerima permohonan uji materi terhadap Pasal 168 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) terkait sistem proporsional terbuka. Gugatan ini diajukan pada 14 November 2022 dengan nomor registrasi perkara 114/PUU-XX/2022.

Kemudian, MK menggelar sidang perdana dengan jadwal pemeriksaan pendahuluan I pada 23 November 2022. Hingga jelang putusan, MK tercatat telah melakukan 17 kali sidang.

Gugatan terhadap UU Pemilu ini diajukan enam orang dari berbagai kalangan. Penggugat menginginkan pemilihan umum memberlakukan sistem proporsional tertutup atau hanya mencoblos partai politik.

Enam orang penggugat itu antara lain kader PDI Perjuangan Demas Brian Wicaksono, kader NasDem Yuwono Pintadi, Fahrurrozi, Ibnu Rachman Jaya, Riyanto, serta Nono Marijono.

Dalam sidang perdana, sejumlah alasan disampaikan para pemohon. Sistem pemilu yang memilih calon legislatif secara langsung dinilai hanya menjual diri calon bermodal populer tanpa ikatan ideologis dengan partai. Calon tersebut juga dianggap tidak punya pengalaman organisasi partai politik atau organisasi sosial politik.

Maka, ketika terpilih menjadi anggota DPR atau DPRD, calon legislatif itu dinilai tidak mewakili organisasi partai politik, tetapi mewakili diri sendiri.

Menurut pemohon, harus ada otoritas kepartaian yang menentukan siapa yang layak menjadi wakil partai di parlemen setelah melalui proses pendidikan, kaderisasi dan pembinaan ideologi partai.

Alasan lainnya, pemohon meniali sistem pemilihan calon legislatif secara langsung berpotensi menimbulkan individualisme para politisi yang mengakibatkan konflik internal dan kanibalisme di internal partai politik.

Pemohon memandang, persaingan itu harusnya terjadi antar partai politik, karena sesuai UUD 1946 Pasal 22E ayat (3) peserta pemilu adalah partai politik.

Baca juga: Tok! MK Tolak Permohonan Uji Materi, Sistem Pemilu Tetap Terbuka

Baca juga: Anggota DPR: Proporsional Terbuka Bentuk Kemajuan Demokrasi

HT

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

88  +    =  94