Oleh: Rudi Andries*
Channel9.id-Jakarta. Indonesia tengah membangun kekuatan militernya. Pertanyaannya, apakah langkah ini benar-benar mempersiapkan negara menghadapi perang, atau hanya memelihara struktur yang sibuk mengurus dirinya sendiri?
Di era perang modern, kekuatan tak lagi diukur dari panjangnya barisan parade atau jumlah markas di peta. Dunia bergerak menuju post-human warfare — peperangan berbasis kecerdasan buatan, senjata otonom, drone tempur, hingga serangan siber. Negara-negara seperti Amerika Serikat, Tiongkok, dan Israel tahu bahwa yang membuat lawan gentar bukan jumlah prajurit, melainkan kemampuan menyerang presisi dari ribuan kilometer tanpa kehilangan satu nyawa pun.
Dulu, ukuran kekuatan militer ditentukan jumlah personel, senjata konvensional, dan kapasitas mobilisasi nasional. Kini, paradigma itu bergeser. Mengandalkan pasukan besar tak lagi menjamin kemenangan, bahkan bisa menimbulkan beban, apalagi jika militerisme terlalu mendominasi politik.
Minggu lalu, Presiden Prabowo meresmikan enam Komando Daerah Militer (Kodam) baru. Alasan resmi: memperkuat kehadiran militer, merespons bencana, dan menjaga perbatasan. Namun, setiap penambahan struktur berarti biaya tetap yang sulit dihindari—gaji, fasilitas, rumah dinas, dan operasional harian. Padahal, menurut data SIPRI 2023, belanja pertahanan Indonesia setara 0,7% PDB, dengan lebih dari 60% tersedot untuk belanja personel dan operasional, bukan modernisasi teknologi. Bandingkan dengan Singapura yang mengalokasikan lebih dari 20% anggarannya untuk riset dan pengembangan, atau Israel yang memprioritaskan intelijen, rudal presisi, dan drone.
Di saat yang sama, Indonesia memesan 48 jet tempur generasi kelima KAAN dari Türkiye senilai USD 10 miliar. Itu di luar pesanan 42 Rafale dan rencana pembelian F-15ID. Artinya, TNI AU akan mengoperasikan tiga jenis jet berbeda—mimpi buruk logistik: tiga sistem pelatihan, tiga rantai pasok amunisi, dan tiga jenis suku cadang. Masalahnya, KAAN baru terbang perdana pada 2024 dan belum teruji dalam operasi jangka panjang. Tanpa kill chain lengkap—radar jarak jauh, sistem peringatan dini, rudal jarak jauh, dan jaringan data aman—jet siluman ini ibarat panah mahal tanpa busur.
Negara-negara seperti Israel dan Singapura memilih strategi “lebih sedikit tapi lebih pintar”. Mereka tidak membangun markas di setiap wilayah, tetapi mengembangkan C4ISR (Command, Control, Communications, Computers, Intelligence, Surveillance, and Reconnaissance), mengintegrasikan seluruh matra, dan memprioritaskan teknologi penentu kemenangan. Indonesia berisiko mengulang pola lama: memperbesar struktur sambil membeli platform canggih tanpa ekosistem pendukung. Hasilnya, kekuatan yang tampak megah di atas kertas, namun rapuh di medan tempur modern.
Efek gentar tidak ditentukan oleh jumlah Kodam atau deretan jet tempur, tetapi oleh kemampuan membalik prioritas: memperkuat sensor, rudal, jaringan data, pertahanan siber, serta integrasi penuh antara darat, laut, dan udara. Anggaran harus lebih berpihak pada teknologi dan riset, bukan sekadar menopang beban struktur.
Jika tidak, kita hanya akan punya militer yang gagah di upacara, namun gamang di layar radar. Di abad ini, yang paling menakutkan bukan derap langkah pasukan, melainkan tekanan satu tombol yang mampu melumpuhkan musuh dari ribuan kilometer—sebelum mereka sadar apa yang terjadi.
Baca juga: Bappenas dan DNIKS Bentuk Gugus Tugas Nasional Kesejahteraan Sosial
Rangkuman dari berbagai sumber
*Peneliti LAPEKSI