Opini

Equilibrium Kebebasan Berekspresi dan Toleransi

Oleh : Dr. Usmar. SE.,MM

Channel9.id – Jakarta.  Meski sudah berusia sekitar 60 tahun tabloid Charlie Hebdo yang semula bernama Hara-Kiri Magazine, tetap saja menjadi sebuah tabloid yang tiras penjualannya relatif kecil. Sejak tahun 2018, penjualan per tahun hanya sekitar 25.000 Eksemplar per tahun, atau hanya sekitar 2.000-an eksemplar perbulan dan atau hanya sekitar 70 eksemplar per hari. Dan Justru tiras penjualan terbesar baru dialami oleh Charlie Hebdo saat menampilkan gambar Nabi Muhammad sedang menangis, setelah aksi teror yang menewaskan 12 kartunis pada 2015 lalu itu terjual sebanyak 8 juta eksemplar di seluruh dunia. Bahkan mereka mendapat uang sumbangan sebesar 4 juta Euro lebih untuk Redaksi, sebagai ungkapan simpati masyarakat dunia.

Melihat kecilnya jumlah tiras tabloid yang terjual, menunjukkan di alam bawah sadar masyarakat Perancis yang rasional ada penolakan terhadap pilihan kebebasan berekspresi yang ekstrim yang jadi pilihan gaya produksi tabloid tersebut tanpa sedikitpun menyisakan ruang toleransi kehidupan secara sosiologis dan teologis.  Meski memang Prancis dalam konsepsi bernegara mereka berdiri di atas prinsip sekularisme, dimana institusi keagamaan tidak memiliki pengaruh atas kebijakan publik yang diemban pemerintah.

Sejarah Panjang kebebasan di Prancis

Ketika ungkapan Vox Populi Vox Dei (suara rakyat adalah suara Tuhan), menggantikan ungkapan lama Vox Rei Vox Dei (suara Gereja suara Tuhan) sebagai buah revolusi Juni 1799, dimana terjadi pembunuhan kepada kaum agamawan dalam hal ini kaum Nasrani, dan pendukung Monarkhi, yang puncaknya saat Raja Prancis Louis XVI digantung di depan Bastille. Kemudian kaum republiken meneriakkan Slogan “liberte, egalite, fraternite” ini menjadi titik awal berdirinya negara dengan konsepsi sekularisme.

Sedangkan tradisi terkait pembuatan satir atau karikatur untuk mengolok-olok penguasa, lahir ketika raja-raja Prancis mulai mempekerjakan bouffon atau badut sebagai satu-satunya individu yang boleh membuat lelucon tentang raja. Kemudian saat sekarang ini peran bouffon ini diambil alih penulis atau karikaturis., dimana paling tidak ada 3 tabloid satir yang ada di Perancis, yaitu Charlie Hebdo, the Guignols de l’Info, Le Canard Enchaine.

Charlie Hebdo termasuk tabloid satir yang mengkampanyekan gerakan etika sekuler yang menekankan bebasnya etika dari agama, dan tak jarang mengambil jalan kontradiktif, lantas bagaimana kita memaknai ini?

Menurut Helvetius, filosof prancis abad 18 mengatakan ”Setiap tingkah laku manusia selalu diarahkan menuju titik upaya terkecil, dan tak akan manusia melakukan sesuatu jika dia tidak yakin bahwa dengan perbuatan itu dia bisa meningkatkan kenikmatan atau meredakan kesengsaraan”. Jadi jika dari sudut pandang Helvetius ini dapat dikatakan bahwa moralitas yang di perjuangkan seolah terpisah dari agama hanyalah egoisme yang dikemas menarik agar kepentingan individu tak terlalu kentara, itu saja.

Sebagai salah satu indikator pendapat ini, jika kita melihat dan membandingkan kecilnya capaian Penjualan tiras Tabloid Charlie Hebdo yang hanya rata-rata sekitar 70-an eksemplar per hari, dengan perolehan pendapatan mereka saat terjual 8 juta eksemplar dan redaksi mereka menerima bantuan lebih dari 4 juta dolar, dari rasa empati masyarakat dunia setelah terjadi pembunuhan terhadap para karikatur tabloid tersebut pada tahun 2015 itu, yang diakibatkan pembuatan kartun yang menghina nabi Muhammad yang diprotes keras oleh umat islam dari berbagai belahan dunia. Tentu ini terlalu mahal bayarannya untuk peradaban manusia dan kemanusiaan, karena itu penulis berpendapat bahwa baik Samuel Paty, guru yang menjadi sasaran pembunuhan setelah menunjukkan karikatur Nabi Muhammad kepada para muridnya, maupun pembunuhnya, Abdullakh Anzorov, remaja 18 tahun kelahiran Chechnya, yang ditembak mati oleh polisi setelah pembunuhan adalah korban dari perbedaan nilai yang mereka yakini, bukanlah akibat dari ajaran agama.

Target Sasaran Satirisme

Adapun yang menjadi sasaran serangan dari tabloid satir ini, bukan hanya Islam, tetapi juga berbagai agama lain seperti Katolik, Kristen, Yahudi, serta tokoh politik dan hal-hal politik. Seperti yang di protes keras oleh Turki, dimana tabloid tersebut menerbitkan karikatur cabul terkait Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan.

Pembuatan kartun Nabi Muhammad yang dilakukan oleh tabloid Charlie Hebdo ini, telah mendapat protes dari umat Islam di berbagai negara di seluruh dunia. Dan ini telah mereka lakukan berulang sebanyak tiga kali, yaitu di tahun 2006, tahun 2011, dan tahun 2015 yang telah banyak memakan korban. Bahkan Entah apa alasannya.? Bahkan pada bulan september 2020, tabloid tersebut berencana menerbitkan ulang kartun nabi Muhammad tersebut, seolah tidak mau tahu dan tidak mau belajar dari berbagai peristiwa yang lalu itu.

Ungkapan bahwa memperjuangkan kebebasan berekspresi adalah sesuatu keharusan yang diamanatkan oleh konstitusi Prancis, sebagai bagian dari penerapan kebijakan yang memisahkan etika moral dengan agama, adalah sesuatu yang memang seutuhnya manggunakan nalar. Perspektif nalar menolak semua yang membutuhkan penjelasan supernatural, sikap mereka hanya berbasis pada hukum kausalitas alam hasil eksprimen dan observasi yang telah dilakukan manusia dalam membangun peradaban, dan peradaban adalah kelanjutan kemajuan teknis bukan spritual, dan penjaga peradaban adalah masyarakat.

Toleransi Sebuah Moralitas

Ketika kebebasan berekspresi tidak menyisakan ruang toleransi, maka berbagai peristiwa yang tidak kita inginkan yang akan mencederai manusia dan kemanusiaan, berpotensi untuk terjadi terus sampai kapanpun.

Penerbitan karikatur satir nabi Muhammad adalah bagian dari penghinaan bagi penganut agama Islam, dan ini dapat memicu sebuah tindakan yang terkadang tak terukur sebagai sebuah respon, mestinya ini harus menjadi sesuatu yang harus disadari bersama.

Respon penolakan dan protes atas pembuatan kartun satir nabi Muhammad, dengan melakukan tindakan pembunuhan juga bukanlah suatu tindakan yang dapat dibenarkan. Karena melakukan protes keberatan dengan melakukan pembunuhan pada dasarnya mengingkari pemahaman bahwa manusia adalah mahluk Tuhan, dan tidakan itu, pasti tidak termasuk dalam tindakan dan ajaran yang diperbolehkan oleh agama apapun. Jadi itu bukan tindakan agama, tapi respon dari perspektif sosial politik.

Untuk itu menurut penulis memiliki sikap Toleransi adalah suatu kewajiban, sedangkan keinginan menjaga kebebasan berekspresi adalah Kepentingan. Kewajiban dan Kepentingan adalah dua daya penggerak dari setiap aktivitas manusia, dan keduanya tidak bisa dibandingkan, karena pada hakekatnya kewajiban lebih tinggi dari kepentingan.

Karena itu himbauan atau bahkan larangan agar jangan hanya memperjuangan dari perspektif menjaga kebebasan berekspresi saja, haruslah dianggap sebagai larangan dari perspektif kemanusiaan, dan jangan tabu dengan kata larangan. Bukankah dari perspektif Kristiani pun bahwa dari “10 Perintah Tuhan”, delapannya adalah bersifat larangan. Dan hakekatnya larangan moralitas adalah sebuah instrumen untuk menghambat naluri hewani manusia.

Untuk itu penulis tetap berpendapat bahwa titik ekulibrium antara Kebebasan Berekspresi dengan Toleransi adalah Kewajiban Asasi Manusia (KAM). KAM adalah Kekuatan yang dapat berperan melawan naluri pelecehan Hak Asasi Manusia (HAM). Sebab Kewajiban Asasi Manusia (KAM) selalu berjalan di atas moral dan etika dalam martabat manusia.

Penulis adalah
Kepala Lembaga Penelitian Dan Pengabdian Masyarakat Universitas Prof.Dr.Moestopo (Beragama), Jakarta.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

  +  15  =  23