Ekbis

Peneliti Perancis Puji Keberagaman Bahasa Daerah di Indonesia Masih Terus Lestari

Channel9.id, Jakarta – Dalam materi pembukanya Phillip Grangé memuji dan meminta izin kepada audien untuk menggunakan bahasa Indonesia dalam presentasi yang mengangkat tema “Why france lost its Linguistic Diversity and How Indonesia is Maintaining it” pada kegiatan seminar dan lokakarya internasional bertajuk International Conference on Innovation, Reflection, and Creativity in Arts, Literature, and Language Education (I-CIRCALLED) pada Selasa, 14 Oktober 2025, bertempat di Aula Bung Hatta, Kampus UNJ.

“Izinkan saya menggunakan Bahasa Indinesia yang notabene sudah berstatus Bahasa internasional,” kata Phillip sambil diiringi tepuk tangan meriah dari para audien. Phillip Grangé sendiri Adalah seorang akademikus dan peneliti dari La Rochelle Université, Perancis yang banyak menaruh perhatian terhadap penelitian di Indonesia.

Phillip memulai dengan pertanyaan sederhana mengapa Perancis kehilangan keberagaman bahasanya dan bagaimana Indonesia melestarikannya? Dimana menurutnya hal ini tidak terlepas dari proses kebijakan bahasa daerah di antara kedua negara.

Dirinya mengatakan tidak semua orang Perancis bisa berbahasa Inggris. “biasanya banyak orang Perancis mengaku ah saya tidak bisa bahasa Inggris ketika ditanya, bukan mereka tidak tahu tapi mereka malas menjawab dan mengatakan saya tidak bisa berbahasa Inggris kadang-kadang tidak jelas,” katanya.

Menurut Phillip fenomena ini tidak hanya terjadi di Perancis tetapi juga terjadi di negara-negara Eropa seperti Spanyol maupun Italia. Dirinya mengatakan orang Eropa Utara justru lebih pandai bahasa Inggris.

Phillip mencoba memetakan apa yang terjadi pada situasi bahwa mengapa banyak warga Eropa menguasai satu bahasa nasional masing-masing negara? Dan kenapa di Perancis semua bahasa daerah telah punah.

Dirinya mengatakan Eropa memiliki sedikit bahasa atau sekitar 3 persen bahasa dunia dituturkan di Eropa. “Hanya 3 persen dari 6.000 bahasa di dunia, Jadi Eropa sangat miskin dibandingkan dengan Indonesia yang berkisar 600-700 bahasa daerah sedangkan Eropa tidak sampai 50 bahasa yang berbeda,” katanya.

Menurutnya orang Indonesia pada kenyataannya paling sedikit memahami dua bahasa yakni bahasa daerah dan bahasa Indonesia, atau bahkan menguasai lebih banyak bahasa.

Dirinya menambahkan bahwa terdapat sekitar 20 bahasa daerah di Perancis sebelum revolusi Perancis Tahun 1789. “Sebelum revolusi Perancis hampir semua orang Perancis itu hampir semua menguasai dua bahasa yaitu bahasa daerah dan bahasa Perancis, dan kadang-kadang jauh lebih lancar bahasa daerah dari pada bahasa Perancis,” katanya.

Menurutnya bahasa Perancis adalah bahasa daerah yang telah menguasai seluruh tanah Perancis. Pada saat yang bersamaan bahasa Perancis juga telah mengambil ruang bahasa daerah lainnya yang sebetulnya ada.

Pada masa kerajaan Francois 1 pada Tahun 1539 telah mengambil keputusan raja bahwa semua Undang-Undang menggunakan bahasa Perancis di mana sebelumnya masih menggunakan bahasa latin.

“Bahasa latin pada masa itu sangat prestisius dan adalah bahasa para kaum intelektual di Eropa,” katanya.

Menurutnya kekuasaan di Indonesia pada masa kerajaan sangat terdisentralisasi sehingga bahasa daerah berperan aktif baik dalam sistem pemerintahan, perdagangan, maupun pembakuan sastra tulis. “Kenyataan ini yang berbeda dengan kerajaan Perancis yang sangat sentralistik sehingga raja berhak menentukan bahasa resmi,” katanya.

Menurutnya bahasa daerah juga kerap dipandang rendah sebagai bahasa rakyat dan fenomena ini lambat laun menyebabkan bahasa daerah Perancis mengalami kepunahan.

Selain itu dirinya mengatakan bahasa Perancis mulai berekspansi dan menghilangkan keberadaan bahasa daerah adalah ketika Perdana Menteri Raja Louis XIII

yang juga sebagai seorang pendiri Academie Francaise pada 1635 membentuk badan bahasa Perancis dengan tujuan membuat pembakuan bahasa agar menjadi bahasa yang baik dan benar.

“Jadi telah ditentukan oleh cendekiawan apa itu bahasa Perancis yang baik dan benar, dan bahasa daerah lain tidak dihiraukan lagi, dan sampai sekarang badan bahasa ini masih tetap ada” ungkapnya.

Phillip menilai momentum penting pembentukan Undang-Undang Dasar Republik Perancis yang pertama menyebutkan bahwa bahasa Perancis adalah bahasa Republik juga telah berperan memperkuat kedudukan bahasa Perancis yang sudah mapan.

“Otomatis dengan kebijakan ini bahasa non-Perancis bukan bahas republik dan dianggap orang yang masih setia dengan raja dan musuh revolusi,” ungkapnya.

Turunan kebijakan ini juga telah memperkuat bahasa Perancis sebagai bahasa wajib sekolah pada Tahun 1883. “Saat itu guru diberikan tanggung jawab untuk mengimplementasikan penerapan bahasa Perancis di sekolah,” katanya.

Phillip mengatakan jika terhadap murid yang menggunakan bahasa daerah juga dikenakan sanksi. Menurutnya berbagai fenomena tersebut telah memberi kontribusi bagi laju bahasa Perancis memusnahkan bahasa daerah.

Kebijakan bahasa yang sangat terpusat ini, lanjutnya, memperkuat identitas nasional Prancis terutama pada masa perang. “Abad ke-20 adalah abad perang bagi Eropa. Maka satu negara, satu bahasa menjadi simbol persatuan dan kekuatan nasional,” tuturnya.

Berbeda dengan Prancis, Indonesia menurutnya menunjukkan kebijakan yang jauh lebih inklusif terhadap bahasa daerah. Dengan lebih dari 600 bahasa lokal, Indonesia masih memberi ruang pelestarian melalui Pendidikan terutama yang tertuang dalam pelajaran muatan local (mulok), kegiatan budaya, hingga media digital.

“Indonesia luar biasa kaya secara linguistik. Bahasa-bahasa seperti Jawa, Sunda, dan Lamaholot masih bertahan karena dituturkan, diajarkan, dan dihidupkan dalam ruang social Masyarakat sehari-hari,” ungkapnya.

Namun, ia juga mengingatkan bahwa beberapa bahasa daerah di Indonesia tetap berisiko punah, terutama yang hanya memiliki penutur di bawah 100 ribu orang. “Setiap dua minggu, satu bahasa di dunia punah. Jadi pelestarian bahasa daerah perlu terus dijaga oleh penuturnya sendiri,” pesannya.

Di akhir presentasinya, ia menegaskan bahwa keberagaman bahasa adalah kekuatan, bukan hambatan. “Semakin banyak bahasa yang kita kuasai, semakin luas pandangan kita dan semakin banyak orang yang bisa kita ajak bicara,” pungkasnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

  +  29  =  34