Techno

Pengamat Sebut Dampak Omnibus Law Bagi TIK

Channel9.id-Jakarta. Pengasahan RUU Cipta Kerja menjadi UU Omnibus Law Cipta Kerja tentu saja berdampak pada sektor Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK).

Direktur Eksekutif ICT Institute Heru Sutadi memaparkan bahwa ada sejumlah UU yang direvisi di Omnibus Law, termasuk UU Telekomunikasi. “Ada dua pembaruan utama yang diatur, yaitu mengenai infrastruktur sharing atau passive sharing dan dibukanya penggunaan frekuensi bersama yang mengarah pada active sharing,” terang dia.

Jika ditinjau dari kebutuhan, Heru menjelaskan bahwa aturan tersebut diperlukan. Pasalnya, sudah bukan zamannya lagi setiap operator memiliki jaringan masing-masing, namun sudah harus berbagi. Misalnya 5G membutuhkan 100 MHz, padahal spektrum sebesar itu sulit didapat. Salah satu solusi untuk mencapai 5G yaitu berbagi spektrum.

“Namun begitu, untuk pelaksanaan infrastruktur pasif masih dibutuhkan PP sebagai aturan pelaksanaan. Kemudian untuk frekuensi juga tetap membutuhkan persetujuan pemerintah sehingga masih harus menunggu juga agar aturan bisa dijalankan,” sambung dia.

Sementara itu, Doni Ismanto dari Indotelko Forum mengakui bahwa UU Omnibus Law Cipta Kerja berdampak besar bagi industri TIK, di antara secara perizinan akan lebih mudah karena banyak perizinan yang disebutkan cukup melalui pemerintahan pusat.

Baca juga : DPR RI Jadi Sorotan, Gedung Dijual dan Situsnya Diretas

Kemudian kendala keterbatasan frekuensi bisa dilakukan dengan spectrum sharing, seperti 5G yang membutuhkan 100 MHz dan Analog Switch Off (ASO) yang membutuhkan 700 MHz. “ASO bisa dijalankan, sesuatu yang tak perlu lagi menunggu revisi UU Penyiaran. Dan, MVNO yang selama ini menjadi perdebatan juga bisa jalan. Artinya kompetisi di sektor Telekomunikasi akan kian ketat, karena pemain baru berdatangan,” kata Doni.

Di lain sisi, ada tantangan yang mesti dihadapi. Contohnya, lanjut Doni, perihal masalah perizinan yang hanya menyebutkan melalui pemerintah pusat. Ia menilai harus jelas siapa lead sector-nya. Kemudian soal spectrum sharing, peraturan pelaksana seperti PP harus memberi keadilan bagi semua pihak, terutama untuk pemain yang selama ini mengklaim memiliki infrastruktur terbesar.

“Untuk implementasinya banyak tantangan, aturan turunannya, dari Peraturan Pemerintah hingga Peraturan Menteri. Jadi, aturan teknis di lapangan, bagaimana scale up ekonomi, dan Over The Top (OTT),” kata dia.

Kemudian perubahan model bisnis di jaringan ini mesti diirngi juga dengan aturan ketat di konten, dalam hal ini OTT. Doni menyayangkan hal ini yang belum diatur di UU Cipta Kerja, bahkan perihal pajak untuk equal playing field, OTT asing masih belum digarap maksimal. Padahal pemain jaringan sudah di-unbundling di sisi layanan di UU Omnibus Law Cipta Kerja ini—yang membuat posisi mereka tak lagi dominan di ekosistem Broadband.

“Perubahan Daftar Negatif Investasi (DNI) dalam peraturan pelaksana nantinya juga harus diwaspadai yang membuat pemain asing bisa masuk ke sektor-sektor TIK dimana selama ini dibatasi kepemilikan asing karena melihat kemampuan SDM, Teknis, dan Pemodalan lokal harusnya tetap dipertahankan,” jelasnya.

(LH)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

  +  77  =  81