Channel9.id-Jakarta. Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi yang juga praktisi hukum Dr. Hamdan Zoelva tetap berpandangan bahwa peninjauan kembali (PK) hanya diperuntukan bagi terpidana. Jaksa tidak punya hak untuk melakukan PK dan aneh kalau tetap melakukan PK katanya.
Demikian pandangan Dr. Hamdan Zoelva saat ditemui Channel9.id di kantornya di kawasan Jalan Proklamasi Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (10/12/19). Upaya peninjauan kembali kembali menjadi perbincangan publik setelah rencana KPK mengajukan PK atas putusan kasasi Mahkamah Agung dalam kasus bebasnya mantan Ketua BPPN Syafruddin Temenggung dalam perkara cessie Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI).
Selain perkara Syafruddin Temenggung, Jaksa Penuntut Umum dari Kejaksaan Negeri Depok juga didesak untuk melakukan upaya hukum termasuk PK atas putusan MA dalam perkara First Travel. Di mana putusan MA menyebutkan harta First Travel diserahkan kepada negara.
Menurut Hamdan Zoelfa, PK muncul dalam perkara Sengkon dan Karta yang dipidana atas tuduhan pembunuhan yang belakangan diketahui bahwa mereka bukan pelakunya dan ada pelaku lain. Sehingga, filosofi PK adalah untuk meringankan hukuman bagi terpidana.
Mengapa jaksa tidak diperbolehkan melakukan PK? Hamdan Zoelva lebih jauh menjelaskan bahwa dalam sistem peradilan kita, pihak penuntut umum atau jaksa memiliki waktu yang sangat panjang untuk menyelesaikan kasus sampai ke penuntutan.
Menurut Hamdan, sebelumnya jaksa diberikan kewenangan untuk start lebih awal. Sementara terdakwa setelah ada dakwaan jaksa baru mulai berpikir untuk menangkis dakwaan. Sebelumnya jaksa mulai dari penyelidikan, penyidikan. Jaksa diberi kewenangan seluas-luasnya untuk menggeledah, menyita, mendapatkan akses kemana saja dan di mana saja.
Menurut Ketua Umum Syarikat Islam ini, dengan kewenangan dan segala ‘senjata’ yang diberikan negara kepada jaksa, sebenarnya di pengadilan dari pengadilan pertama sampai kasasi di MA terjadi pertarungan yang tidak seimbang dengan terdakwa.
“Jadi kewenangan yang sedikit dan terbatas untuk terdakwa melakukan PK, menjadi cara terakhir terpidana membela dirinya untuk mendapatkan keadilan,” katanya.”Jadi aneh kalau jaksa masih meminta waktu lagi untuk mengajukan PK, itu filosofinya PK untuk meringankan terdakwa.
Dan itu terjadi dalam kasus Sengkon dan Karta yang dituduh membunuh dan sudah dijatuhi hukuman lalu belakangan ketahuan bukan mereka yang membunuh karena ada pembunuh yang sebenarnya. Untuk membebaskan Sengkon dan Karta, dilakukan PK,” ujar Hamdan Zoelva.
Apalagi sudah ada keputusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat, soal PK yang menjadi hak terpidana. Maka, mengacu kepada UU Mahkamah Konstitusi khususnya pasal 10 beserta penjelasannya, jika PK dilakukan oleh jaksa tidak hanya aneh tetapi juga jaksa melanggar aturan hukum dan perundang-undangan.