Channel9.id-Jakarta. Mulai 5 Februari mendatang, hasil tes alat deteksi Covid-19 GeNose menjadi syarat perjalanan kereta api—di luar kawasan satu aglomerasi, di Indonesia.
Namun, sejumlah pakar mengkritik keputusan tersebut. Salah satunya epidemiolog asal Universitas Indonesia (UI) Pandu Riono.
Pandu mengatakan bahwa status GeNose masih dalam tahap eksperimental, sehingga belum bisa digunakan untuk pelayanan publik seperti screening Covid-19. “Masih perlu penyempurnaan dan uji validasi yang benar,” imbuhnya, baru-baru ini.
Sebelumnya, ketua tim pengembang GeNose Universitas Gadjah Mada (UGM) Kuwat Triyana mengaku alat GeNose tak optimal jika orang yang dites merokok atau makan makanan beraroma tajam, seperti petai hingga jengkol. Karenanya, ia berpesan agar satu jam sebelum pengetesan dilarang mengkonsumsi alkohol, mengonsumsi makanan beraroma tajam, dan merokok.
Pandu menambahkan, GeNose memiliki kelemahan saat mulut orang yang dites nanti sudah terkontaminasi. “Ini kan orang Indonesia perokok semua, doyan makan petai jadi GeNose ini untuk apa?” ujar Pandu.
Dengan kelemahan yang dimiliki GeNose, lanjutnya, pemerintah lebih baik fokus pada alat tes yang sudah ada dan mengoptimalkan 3T, yakni testing, tracing, dan treatment.
Selain itu, Pandu mengatakan bahwa beberapa negara, seperti Singapura, pernah melakukan eksperimen serupa, yakni alat deteksi Covid-19 lewat napas. Namun, akhirnya, negara-negara itu memutuskan untuk tak mengandalkannya.
“Di negara lain juga sudah ada eksperimen GeNose, cuma diputuskan tidak dipakai,” kata Pandu.
Saat ini, lanjut Pandu, rapid test antigen atau swab PCR masih menjadi alat deteksi Covid-19 yang paling akurat di dunia.
Selain itu, Ahli Biologi Molekuer Ahmad Rusdjan menambahkan bahwa gas yang keluar dari mulut atau nafas untuk tes GeNose sangat sensitif. “Ya soalnya karena ini (napas) kan gas ya. Karena gas itu juga kan sifatnya sensitif,” tuturnya.
Menurutnya, bau-bau itu bisa saja memengaruhi hasil sehingga GeNose tak bisa mendeteksi Covid-19 dengan benar.
“Ya kan misal dia makan petai, apa berpengaruh? Terus abis makan siang dan buru-buru harus tes. Atau bagaimana dengan orang yang sakit Mag. Itu kan dia suka bersendawa, nah apa itu juga berpengaruh,” kata dia.
Sementara itu, Pusat Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat (IAKMI) Hermawan Saputra berpendapat bahwa penggunaan GeNose tak tepat untuk skrining awal Covid-19, untuk syarat perjalanan. Pasalnya, GeNose tak bisa menemukan kasus baru Corona atau active case finding.
“Walaupun GeNose sudah diteliti dan dikaji, tapi memang tak praktis dalam penggunaannya, jadi memang tidak tepat, dan memang bukan sebagai active case finding,” terangnya.
Bahkan, lebih lanjut, Dr Masdalina Pane dari Perhimpunan Ahli Epidemiologi Indonesia (PAEI) mengatakan bahwa tes Covid-19 sebagai syarat perjalanan itu tak berguna.
“Tapi jika dibandingkan dengan swab/rapid test antigen yang tidak ada gunanya untuk perjalanan, iya pendapat saya sama. Tidak ada gunanya dilakukan,” cetus dia, Selasa (26/1).
Sejauh ini, memang ada sejumlah pakar yang berpendapat serupa. Mereka menilai tes Covid-19 sebagai syarat perjalanan berisiko memunculkan rasa aman semu. Tujuan membatasi mobilitas manusia pun menjadi sulit tercapai. Bahkan, di beberapa kasus, hasil tes Corona bisa dibeli dan dimanipulasi.
(LH)