Opini Politik

Penyederhanaan Partai Politik Rezim Orde Baru

Oleh : Ari Sulistyanto

Channel9.id – Jakarta. Rabu, 10 Januari 1973 pada pukul 20.00 WIB, Jalan Salemba Raya No. 73, Jakarta Pusat, yang merupakan kantor DPP Partai Nasional Indonesia (DPP PNI) ramai dengan kedatangan para tamu yang merupakan pimpinan partai politik, seperti Mh. Isnaeni dan Abdul Madjid yang merupakan wakil dari unsur Partai Nasional Indonesia (PNI), S. Mubantoko dan John Pakan unsur dari Partai Murba, Achmad Sukarmadidjaja dan M. Sadrie wakil dari Ikatan Perintis Kemerdekaan Indonesia (IPKI), Ben Mang Reng Say dan F.S. Wignjosoemarsono wakil dari Partai Katolik, dan A. Wenas dan Sabam Sirait dari Partai Kristen (Parkindo) mendeklarasikan berdirinya Partai Demokrasi Indonesia (PDI).

Mereka mewakili partainya masing-masing. Empat jam kemudian, tepatnya pukul 24.00 WIB, Mh. Isnaeni sebagai ketua I PNI sekaligus pelaksana tugas Ketua Umum PNI, di depan para wartawan mengatakan tentang penyederhanaan partai yang berbeda dengan Nasakom (Nasionalis, Agama dan Komunis). “Beda pangkal tolak dan manifestasinya”, tegasnya.( Harian Indonesia Raya, 12/1/1973). Fusi merupakan kebijakan pemerintah Orde Baru untuk menyederhanakan partai politik, dan kebijakan ini sulit ditolak.

Para pemimpin partai telah sepakat membubuhkan tanda tangan tanpa cap partai pada sebuah deklarasi. Mereka menyatakan bahwa kelima partai yang hadir berfusi dalam Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Penggabungan kelima partai politik atau yang dikenal dengan fusi merupakan kebijakan dari rezim Orde Baru untuk melakukan penyederhanaan kehidupan politik sebagai akibat dari trauma dari sistem politiknya sebelumnya.

Kebijakan fusi juga diberlakukan pada partai politik yang berazaskan keagamaan-Islam. Yaitu, Nadhatul Ulama (NU), Perti, Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII).

Kelompok nasionalis terdiri dari PNI, Murba, dan IPKI, sedangkan untuk Parkindo dan Partindo tidak mau dikelompokan pada keagamaan, tetapi memilih pada kelompok nasionalis.

PNI, seperti dikelompokan oleh Geertz ((Dhakidae:317:1995), tergolong sebagai partai kaum abangan. Aliran abangan ini terwakili dalam PNI yang memperlihatkan suatu sistem patron klien yang utuh dari priyayi dan birokrasi ke tingkat desa. Massa abangan yang tidak banyak patron klien sentris dan yang memiliki tradisi radikalisme petani pada akhirnya ditampung oleh PKI. Sebagai partai yang didirikan Sukarno dan kawan-kawan seperjuangannya pada tangal 4 Juli 1972, PNI menganut paham Marhaenisme ajaran Sukarno sebagai azas utamanya.

Menurut rumusan Sukarno sendiri, Marhaenisme adalah azas dan cara perjuangan “tegelijk” menuju kepada hilangnya kapitalisme, imperialisme, dan kolonialisme. Partai Murba, partai ini didirikan oleh Tan Malaka yang memproklamirkan sebagai partai proletar. Partai ini didirikan pada tanggal 3 Oktober 1948 sebagai gabungan dari tiga partai yaitu Partai Rakyat, Partai Rakyat Djelata dan Partai Indonesia Buruh Merdeka. Secara longgar “proletariat” ini memberikan kesan bahwa partai ini memakai dasar kelas sebagai basis pembentukannya, walaupun Tan Malaka dalam sebuah artikelnya menyatakan bahwa “latar belakang sejarah dan karateristik Murba Indonesia berbeda dengan proletariat Barat. Perjuangan dan musuh Murba Indonesia berbeda dari proletariat Barat.

Parkindo, lahir pada tangal 10 November 1945, sebagai peleburan dari beberapa partai Kristen yang pada mulanya berdiri sendiri-sendiri di beberapa wilaya Indonesia. Partai-partai antara lain, Partai Kristen Indonesia (PARKI) yang didirikan oleh Melanthon Siregar di Medan–Sumatera Utara bulan September 1946, Partai Kristen Nasional (PKN) di jakarta, Partai Politik Masehi (PPM) di Pemantang Siantar, Persatuan Masehi Indonesia (PMI) yang didirikan oleh Ratulangi dan dua kelompok politik minoritas di jawa Tengah dan Timur, yaitu Perserikatan Kaum Kristen dan Perserikatan Christen Djawi.

Partai Katolik, lahir pada tanggal 12 Desember 1945 dengan nama Partai Patolik Republik Indonesia, sebagai kelanjutan dari Perkumpulan Politik Katolik Indonesia yang ada sebelum Perang Dunia kedua. (Dhakidae:317-319:1995)

Partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI) merupakan kelanjutan IPKI yang dibentuk sejak 20 Mei 1954. Para tokoh pemrakarsa di antaranya adalah Kolonel AH Nasution, Kol Gatot Subroto, Kol Aziz Saleh, dan lainnya. Di awal Orde Baru, IPKI sebenarnya lebih dekat hubungan politiknya dengan Golkar. Namun, sewaktu terjadi fusi parpol tahun 1973, IPKI bergabung dengan PDI.

Langkah penyederhaaan sistem kepartaian oleh Orde Baru juga merupakan upaya untuk membangun sistem partai tunggal, yaitu menjadikan Golkar sebagai kekuatan politik tunggal yang dominan. Ini terlihat ketika pada tanggal 5 September 1966, Jenderal Suharto mengeluarkan intruksi kepada keempat panglima angkatan bersenjata untuk memberikan fasilitas yang seluas-luasnya bagi perkembangan Golkar di pusat maupun di daerah. Alasannya karena Sekber Golkar selalu menempatkan diri sebagai saudara kandung ABRI serta pengawal dan pengaman revolusi Indonesia. (Dhakidae dalam Mahfud:2012:218)

Instrumen hukum yang diterapkan Orde Baru adalah berdasarkan pada Ketetapan MPRS No.XXII/MPRS/1966 tentang Kepartaian, Keormasan, dan Kekaryaan memerintahkan Pemerintahan Presiden Soeharto bersama DPR Gotong Royong segera menyusun undang-undang tentang kepartaian, keormasan dan kekaryaan menuju pada penyederhanaan. Dalam melaksanakan Ketetapan MPRS itu, maka dikeluarkanlah UU No.15/1969 tentang Pemilihan Umum. UU Pemilu ini hanya mengakui sepuluh partai politik termasuk Golkar sebagai peserta pemilu, yaitu, NU, PSII, Parmusi, Perti, Partai Katolik, PNI, IPKI, Partai Kristen Indonesia, dan Golongan Karya. Sedangkan Masyumi dan PSI yang sebelumnya dibekukan oleh Soekarno tidak ikut dalam pemilu pertama Orde Baru. (Suggono:1992:92).

Kemudian pada awal tahun 1970-an, menjelang pemilu 1971, Presiden Soeharto di hadapan para kontestan Pemilu, yaitu 9 partai politik dan Golkar menyatakan maksudnya bahwa pemerintah untuk mengelompokan partai-partai politik. Pengelompokan yang dimaksud adalah kelompok pertama, kelompok nasionalis, kelompok kedua adalah kelompok spiritual dan kelompok ketiga adalah Golongan Karya (Golkar)

Kendati pada pemilu pada tahun 1971, Golkar keluar sebagai pemenang pemilu dengan meraih suara terbanyak sebesar 62.28 persen atau menempatkan 236 wakilnya di Dewan Perwakilan Rakyat dari 360 kursi yang diperebutkan. Hal itu kenyataannya tidak memuaskan pemerintah Orde Baru untuk menempatkan Golkar sebagai kekuatan yang hegemonik. Kendati, beberapa upaya yang dilakukan pemerintah Orde Baru, yaitu, pertama, dengan terlebih dahulu menyingkirkan kelompok radikal dalam partai (khususnya PNI dan Masyumi) yang bersikap oposisi terhadap pemerintah. Kedua, pemerintah berusaha memutuskan hubungan tradisional yang ada selama ini antara partai dengan basis massanya lewat seperangkat peraturan hukum yang diciptakan untuk itu. (Dhakidae: 1995:309) Misalnya, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 12/1969 atau yang dikenal dengan “Permen 12” yang mengharuskan pegawai negeri hanya memberikan loyalitas tunggal kepada negara dan tidak diperkenankan masuk dalam salah satu partai politik kecuali Golkar.

Langkah penyederhanaan partai dalam bentuk fusi merupakan alternatif yang efektif untuk mengendalikan kehidupan partai politik, dan menjaga Golkar sebagai kekuatan yang dominan. Di samping itu, partai baru yang terbentuk untuk tidak berkembang liar dan menjadi oposisi, pimpinan partai harus dapat dukungan dan restu pemerintah. Keadaan ini yang dikemudian hari sering menimbulkan konflik internal partai politik. Kadangkala, konflik partai justeru “dipelihara” dimanfaatkan pemerintah menyingkirkan pemimpin yang tidak sejalan atau sudah mulai kritis pada kebijakan pemerintah Orde Baru, atau sebaliknya menjadi ajang untuk melakukan rekrutmen terhadap pemimpin yang bisa mengakomodir kebijakan pemerintah.

Salah satu anggota fusi dari Partai Demokrasi Indonesia (PDI) adalah PNI. Sejak rezim Orde Baru berkuasa, partai ini banyak menderita akibat dari “keganasan” Orde Baru. Banyak dari pemimpin muda yang paling bersemangat dalam PNI progresif dijebloskan ke dalam penjara atau diteror untuk menerima kompromi dan menghentikan kegiatannya. (Rocamora:1991 :447) Seperti pengakuan Manganar Pasaribu, dikenal sebagai aktivis buruh-Kesatuan Buruh Marhaenis (KBM) ditangkap pada tahun 1969, dan baru keluar penjara pada tahun 1975, tanpa pernah tahu kesalahan dan tidak pernah diadili, tetapi ia menganggap rezim Orde Baru menilai aktivitasnya terlalu progresif.

Berkaitan dengan fusi, Ketua Umum PNI Isnaeni awalnya berkeberatan dengan rencana pemerintah itu. MH. Isnaeni menjadi ketua PNI setelah menggantikan Hadisubeno hasil kongres PNI tahun 1971 yang telah meninggal. Hadirnya Mh. Isnaeni sebagai pengganti Hadisubeno oleh sementara pihak dianggap sebagai putusan terbaik.

Kendati tidak sekarismatik Hadisubeno yang dikenal agitator dan ahli pidato. Mh. Isnaeni mempunyai kemampuan mengorganisir dan membuat konsep strategi yang tangguh. Ia juga dianggap bisa bekerjasama dengan pemerintah dan ABRI dan mempunyai toleransi. (Majalah Ekspres,17/5/1973).

Dalam sebuah rapat PNI dalam menghadapi rencana fusi, seperti yang diceritakan Alex Widya Siregar. Pada rapat MH. Isnaeni mengatakan, “Saya tidak mau fusi dan saya sudah kasih tahu tentang garis, yaitu afal system atau sistem gugur”. Menurutnya, afal system sekarang yang tinggal hanya 10 partai, dalam pemilu partai-partai yang tidak dapat suara bergabung dengan partai yang mampu menempatkan wakilnya di DPR, jadinya bubarnya alami. Yang dapat suara dan menempatkan wakilnya hanya PNI. Jadi, PNI lah yang ada dan yang lain akan bergabung paling.

Sedangkan, Soenawar Sukawati berpendapat bahwa tidak mungkin fusi terjadi dan menganggap merupakan bagian dari skenario Ali Moertopo-pejabat sekretaris pribadi (Sespri) Presiden. Ketidaksetujuan Isnaeni dan Sunawar Sukowati pada waktu itu, merupakan dalih keduanya agar peserta rapat yang lain untuk diam. Sunawar Sukowati merupakan Fungsionaris Ketua PNI sebelum fusi dan kemudian menjadi Ketua DPP Partai Demokrasi Indonesia (1973–1978), pernah menjadi Menteri Negara Kesejahteraan Rakyat Republik Indonesia (1973–1978).

Kenyataanya, Isnaeni tidak bekerja ke arah itu, justeru pada tanggal 15 Januari 1973, PNI mengumumkan bergabung dengan fusi. Bagian dari deklarasi PNI, menyatakan, “Semua aktivis PNI, kecuali yang menyatakan menolak, ikut lebur dalam fusi”. Kenyataannya tidak ada yang menolak. Sebenarnya, Isnaeni menginginkan yang terlebih dahulu mengumumkan fusi adalah PNI, dengan harapan kalau PNI lebih dulu yang lain pasti akan ikut.

Setelah pengumuman deklarasi fusi pada tanggal 10 Januari 1973, Dewan Pimpinan Pusat Lembaga Kebudayaan Nasional (DPP LKN) Bagin sebagai Ketua dan Sekjen Alex Widya Siregar mengirim surat resmi kepada DPP PNI untuk mengadakan pertemuan partai.

Akhirnya, melalui Majelis Permusyawaratan Partai (MPP) diadakan rapat, setiap ormas yang merupakan sayap PNI diwakili 3 orang. Dalam rapat, MH. Isnaeni menegaskan, “Kita harus fusi”. Sedangkan, Bagin menanggapi, bahwa fusi tidak masalah, tetapi garis jelas, kita harus kemana, dan sampai mana, dan yang tinggal itu dikemanakan? Dalam tanggapan yang lain, Alex Widya Siregar menyatakan, fusi suatu hal yang tidak terelakan, tapi satu hal yang harus disetujui bahwa saat ini kekuatan tidak ada dan dipaksa harus ikut Orde Baru dan itu harus dijelaskan bahwa sebagai taktis.

Akhirnya, dalam rapat memutuskan membentuk Badan Kridayana Nasional yang diketuai oleh Suryadi yang tugasnya menampung semua permasalahan yang ditinggal PNI termasuk aset-aset PNI. Adanya fusi dengan sendirinya Partai Nasional Indonesia (PNI) yang didirikan Bung Karno pada masa pergerakan nasional telah berakhir, dan melembur dalam Partai Demokrasi Indonesia (PDI).

Penulis adalah Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Bhayangkara Jakarta

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

65  +    =  70