Oleh: Rudi Andries*
Channel9.id-Jakarta. Dewan Pertimbangan Presiden atau Wantimpres berperan penting dalam memberi masukan kepada Presiden. Penulis akan memaparkan peran Watimpres untuk efektifitas pelayanan sistem hukum terpadu dalam konteks pemberantasan korupsi berkelanjutan.
A. Sejarah korupsi
Secara historik, korupsi hadir sejak manusia pertama kali menganut tata kelola administrasi. Kebanyakan kasus korupsi tidak lepas dari kekuasaan, birokrasi, ataupun pemerintahan. Korupsi sering dikaitkan pemaknaannya dengan politik, sosial perekonomian, kebijakan publik, kebijakan Internasional, kesejahteraan sosial dan Pembangunan Nasional. Kisah tentang Cicero di masa Yunani Kuno merupakan salah satu kisah klasik tentang kejatuhan sebuah negara karena korupsi.
Maka peperangan melawan korupsi, adalah peperangan yang telah berusia ribuan tahun lamanya. Tak bisa disangkal, bahwa dapat membahayakan stabilitas serta keamanan bagi masyarakat, membahayakan pembangunan sosial, ekonomi, politik, serta merusak nilai-nilai demokrasi dan moralitas. Dengan kata lain, korupsi dapat mengancam cita-cita bangsa dalam menciptakan masyarakat yang adil dan makmur.
Secara defenitif, korupsi berasal dari bahasa Latin, yaitu corruption dari kata kerja corrumpere berarti busuk, rusak, menggoyahkan, memutar balik, menyogok. Menurut Transparency International Indonesia (TII), korupsi adalah perilaku pejabat publik, baik politikus/politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka. Dari sudut padang hukum, tindak pidana korupsi mencakup; pertama, perbuatan melawan hukum; kedua, penyalahgunaan wewenang, kesempatan atau sarana; ketiga, memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi; dan keempat, merugikan keuangan negara atau perekonomian Negara.
Menurut Taufik Abdullah (1999) korupsi adalah as old as the organization of power. Inti korupsi adalah menyalahgunakan kepercayaan yang diberikan publik untuk kepentingan pribadi. Sedangkan menurut Alatas (1987), korupsi adalah koruptor yang sengaja melakukan kesalahan atau melalaikan tugas yang diketahui sebagai kewajiban, atau tanpa hak menggunakan kekuasaan untuk memperoleh keuntungan pribadi.
B. Pandangan internasional terhadap korupsi
Rekomendasi PBB melalui Centre for international Crime Prevention secara rinci menjelaskan kejahatan korupsi yang terkait dengan sepuluh perbuatan pengadaan barang dan jasa, yaitu; (i) pemberian suap (bribery); (ii) penggelapan (embezzlement); (iv) pemalsuan (fraud); (v) pemerasan (extortion); (vi) penyalahgunaan jabatan atau wewenang (abuse of discretion); (vii) pertentangan kepentingan/ memiliki usaha sendiri (internal trading); (viii) pilih kasih atau tebang pilih (favoritisme); (ix) menerima komisi, nepotisme (nepotism); dan (x) kontribusi atau sumbangan ilegal (illegal contribution). Kemudian dalam pandangan hukum nasional pasca reformasi, kejahatan korupsi diartikan sebagai setiap orang yang melawan hukum memperkaya diri sendiri atau orang lain, atau suatu korporasi, yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian Negara.
C. Kebijakan dan Regulasi Antikorupsi terkait Korporasi
Korporasi merupakan subjek hukum yang dapat dipidana jika melakukan tindak pidana korupsi. Pasal 26 UNCAC yang telah diratifikasi oleh Indonesia menegaskan pentingnya setiap negara peserta konvensi untuk memiliki regulasi yang mengatur pertanggungjawaban korporasi jika melakukan tindak pidana korupsi baik berupa sanksi pidana, perdata maupun administrasi yang efektif, proporsional dan bersifat larangan, termasuk sanksi keuangan (monetary sanction). UNCAC menegaskan tindakan-tindakan yang seharusnya dilarang dan dikualifikasikan sebagai tindak pidana korupsi termasuk jika perbuatan ini dilakukan oleh korporasi yakni: (1) Bribery of national public official atau penyuapan pejabat-pejabat publik nasional (Pasal 15); (2) Bribery of foreign public officials and official of public international organizations atau penyuapan pejabat-pejabat publik asing dan pejabat-pejabat dari organisasi internasional publik (Pasal 16); (3) Embezzlement, misappropriation or other diversion of property by public official atau penggelapan, penyelewengan atau pengalihan kekayaan dengan cara lain oleh pejabat publik (Pasal 17); (4) Trading in influence atau memperdagangkan pengaruh (Pasal 18); (5) Abuse of function atau penyalahgunaan fungsi (Pasal 19); (6) Illicit enrichment atau memperkaya diri secara tidak sah (Pasal 20); (7) Bribery in the private sector atau penyuapan pada sektor swasta (Pasal 21); (8) Embezzlement of property in the private sector atau penggelapan kekayaan dalam sektor swasta; (9) Laundering of proceeds of crime atau pencucian hasil kejahatan; (10) Concealment atau penyembunyian; (11) Obstruction of justice atau perbuatan menghalang-halangi proses peradilan (UNCAC, 2003).
D. Penyuapan dan gratifikasi
Internasional Standarisation Organisation (ISO) telah menyusun standar internasional ISO 37001: 2016 Anti-Bribery Management System yang telah diadopsi oleh Badan Standardisasi Nasional menjadi SNI 37001: 2016 Sistem Manajemen Anti Penyuapan.
Standar ini mensyaratkan pemenuhan klausul anti penyuapan terkait konteks organisasi, kepemimpinan, perencanaan, dukungan, operasional, evaluasi kinerja dan tindakan perbaikan. Standar ini dapat pula diterapkan dan menjadi bagian dalam program kepatuhan antikorupsi korporasi.
E. Komisi Pemberantasan Korupsi
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengkategorisasi jenis-jenis tindakan yang dapat digolongkan sebagai korupsi berdasar UU RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan TPK (UU No. 31 Tahun 1999) jo. UU RI Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan TPK (UU No. 20 Tahun 2001), adalah:
- Kerugian negara (Pasal 2 dan 3)
- Suap-menyuap (Pasal 5 ayat (1) huruf a dan b; Pasal 5 ayat (2); Pasal 6 ayat (1) huruf a dan b; Pasal 6 ayat (2); Pasal 11; Pasal 12 huruf a, b, c, dan d; Pasal 13).
- Penggelapan dalam jabatan (Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10 huruf a, b, dan c)
- Pemerasan (Pasal 12 huruf e, g, dan f).
- Perbuatan curang (Pasal 7 ayat (1) huruf a, b, c, dan d; Pasal 7 ayat (2); dan Pasal 12 huruf b).
- Benturan kepentingan dalam pengadaan (Pasal 12 huruf I)
- Gratifikasi (Pasal 12 B Pasal 12 C)
F. Bahaya korupsi
Bahaya yang diakibatkan korupsi adalah dapat merusak tujuan negara dalam menciptakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, oleh karena itu maka korupsi digolongkan kepada kejahatan luar biasa (extra-ordinary crimes). Dengan kata lain pemberantasan korupsi harus dilakukan dengan cara yang luar biasa juga (extra-ordinary enforcement). Menurut Romli Atmasasmita (2002) menyatakan bahwa korupsi di Indonesia sudah merupakan kejahatan yang sangat luar biasa (extra-ordinary crimes), sehingga tuntutan ketersediaan perangkat hukum yang sangat luar biasa dan canggih serta kelembagaan yang menangani korupsi tersebut tidak dapat dielakkan lagi. Rakyat Indonesia sepakat bahwa korupsi harus dicegah dan dibasmi dari tanah air, karena korupsi sudah terbukti sangat menyengsarakan rakyat, bahkan sudah merupakan pelanggaran hak-hak ekonomi dan sosial rakyat Indonesia.
Tiga strategi pemberantasan korupsi yang tengah dijalankan di Indonesia, KPK menyebutnya: Trisula Pemberantasan Korupsi, yaitu Penindakan, Pencegahan, dan Pendidikan.
G. Kelemahan dalam pemberantasan korupsi di Indonesia
Kelemahan kita dalam pemberantasan tindak pidana korupsi (TPK), UTAMANYA adalah : TIDAK ADANYA PANUTAN yang dapat memberikan keteladanan dalam pemberantasan korupsi secara nasional. Selama ini lebih hanya retorika dalam seruan dan himbauan saja.
H. Akar masalah
- Pejabat yang serakah.
- Law enforcement tidak berjalan karena segala sesuatu diukur dengan uang.
- Hukuman yang ringan terhadap koruptor, karena aparat penegak hukum bias dibayar, maka hukuman yang dijatuhkan kepada para koruptor sangat ringan, sehingga tidak menimbulkan efek jera bagi koruptor.
- Pengawasan yang tidak efektif. Internal kontrol di setiap unit tidak berfungsi karena pejabat atau pegawai terlibat korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).
- Tidak ada keteladanan pemimpin.
I. Sejarah penegakan hukum tindak pidana korupsi di Indonesia
Penegakan hukum TPK di Indonesia terbukti belum berfungsi secara efektif dan efisien serta ketiadaan sinergisitas antara aparat penegak hukum, bahkan aparat penegakan hukum ditengarai malpraktek, abuse of power ikut terlibat mencederai penegakan hukum TPK. Menurut M. Abdul Kholiq AF (2014), setidaknya hal itu dibuktikan oleh tiga sebab, yaitu:
- Melalui media masa seringkali ditemukan adanya beberapa kasus korupsi besar yang tidak pernah jelas akhir penangannya.
- Pada kasus tertentu sering terjadi adanya kebijakan pengeluaran SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan) oleh aparat terkait, sekalipun bukti awal secara yuridis sudah cukup kuat.
- Kalaupun suatu korupsi penanganannya sudah sampai di persidangan pengadilan, seringkali publik dikejutkan, bahkan dikecewakan oleh putusan/ vonis yang melawan arus dan rasa keadilan masyarakat.
J. Kiat mengatasi kasus TPK di Indonesia
- Memperkuat Penegakan Hukum
- Meningkatkan Transparansi
- Pendidikan Anti-Korupsi
- Peningkatan Kesejahteraan Pegawai Publik
- Membangun Sistem Pengawasan yang Kuat
- Penggunaan Teknologi Digital
Untuk No. 5, penekanan pada Penguatan Kelembagaan, Sistem Pengawasan, dan Keterlibatan Masyarakat.
Dalam konsideran UU No. 19 Tahun 2019 dinyatakan aparat penegak hukum dalam penanganan tindak pidana korupsi adalah kepolisian, kejaksaan, dan KPK, selain ketiga lembaga tersebut, juga diikutsertakan peran masyarakat (Pasal 1 ayat (4) UU No. 19 Tahun 2019). Dalam konteks ini masyarakat dapat melaporkan dugaan TPK yang mereka ketahui (Pasal 10A ayat (2) huruf a UU No. 19 Tahun 2019).
K. Masukan Wantimpres untuk pengalihan penanganan perkara TPK
Berdasarkar kajian info dan data tentang malpraktek abuse of power APH yang akurat dan terukur, Wantimpres menyampaikan kepada Presiden agar menegur Jaksa Agung atau Kapolri atau kemungkinan Presiden mengusulkan pengalihan penanganan perkara TPK ke KPK, dengan alasan:
Pertama, laporan masyarakat mengenai Tindak Pidana Korupsi tidak ditindaklanjuti;
Kedua, proses penanganan Tindak Pidana Korupsi tanpa ada penyelesaian atau tertunda tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan;
Ketiga, penanganan Tindak Pidana Korupsi ditujukan untuk melindungi pelaku Tindak Pidana Korupsi yang sesungguhnya;
Keempat, penanganan Tindak Pidana Korupsi mengandung unsur Tindak Pidana Korupsi;
Kelima, hambatan penanganan Tindak Pidana Korupsi karena campur tangan dari pemegang kekuasaan eksekutif, yudikatif, atau legislatif; atau
Keenam, keadaan lain yang menurut pertimbangan kepolisian atau kejaksaan, penanganan tindak pidana korupsi sulit dilaksanakan secara baik dan dapat dipertanggungjawabkan (Pasal 10A UU No. 19 Tahiun 2019).
KPK adalah lembaga yang diberi kewenangan oleh undang-undang untuk melakukan pengambilalihan in casu. Kepolisian atau kejaksaan wajib menyerahkan tersangka dan seluruh berkas perkara beserta alat bukti dan dokumen lain yang diperlukan (Pasal 10A ayat (2) UU No. 19 Tahun 2019).
Dukungan Satgas Wantimpres
SATGAS melapor ke Wantimpres hasil kajian data dan info terverifikasi hasil pendeteksian penanganan kasus KKN yang tidak proper. Selain menerima masukan dari laporan masyarakat, Satgas dapat berkoordinasi dengan lembaga/badan yang dapat melakukan penyadapan berdasarkan undang-undang husus yang mengatur mengenai penyadapan.
Undang-Undang No. 64/2024 tentang Wantimpres menyatakan, Wantimpres adalah mitra yang memberi saran strategis dan hal yang secara kategoris
dinilai extraordinary kepada Presiden. Anggotanya diangkat paling lambat 3
bulan sejak pelantikan presiden.
Beberapa Tokoh yang dinilai memiliki integritas, pengalaman dan kompetensi sehingga layak dipilih Presiden Prabowo sebagai anggota Wantimpres antara lain:
Letjen TNI (Purn) HBL Mantiri. Saat ini Ketua Umum LVRI periode 2022—2027.
Jend TNI (Purn) Agum Gumelar, MSc. Saat ini Ketua Pepabri periode 2022-2027.
Dr. N. Andhi Nirwanto, SH, MH, mantan Plt. Jaksa Agung, Wkl. Jaksa Agung dan Jampidsus periode 2011-2016.
Komjen Pol (Purn) Drs. Aridono Sukmanto, SH, mantan Plt. Kapolri, Wakapolri, Kabareskrim periode 2016-2020.
Kombes Pol (Purn) DR. Alfons Loemau, SH, MM, MBus, Pemerhati Masalah Hukum, Cendekiawan Polri.
Nama-nama tersebut memiliki reputasi yang baik dan cukup senior untuk menjabat sebagai anggota Dewan Pertimbangan Presiden. Pemahaman para tokoh itu tentang politik, hukum, dan pemerintahan juga sangat memadai. Mereka juga dikenal baik oleh Presiden. Selain itu, sosok-sosok tersebut terbilang bersih, berani, dan layak menjadi patron dalam pemberantasan korupsi di Indonesia.
Baca juga: Pelantikan Presiden dan Wakil PresidenTerpilih Terlalu Lama, Perlu Ada Amandemen UUD 1945
*Peneliti LAPEKSI