Hukum

PK Syafruddin Temenggung: Antara Kepastian Hukum dan Bangkitnya Zombie Ekonomi

Channel9.id-Jakarta. Hingga Jumat petang kemarin (14/2/20) Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menyidangkan kasus Peninjauan Kembali (PK) putusan Mahkamah Agung yang membebaskan mantan Ketua Badan Penyehatan Perbankan Syafruddin Arsyad Temenggung (SAT).

Langkah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang banyak ditentang para ahli hukum, termasuk mantan Ketua KPK sendiri. Ini lantaran PK, secara filosofinya adalah hak terpidana untuk mendapatkan keringan hukuman, bukan hak jaksa untuk memberatkan hukuman bebas terdakwa.

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi yang menjadi salah satu ahli yang dihadirkan oleh Tim Pembela Hukum SAT, menyebutkan. Bahwa Jaksa tidak memiliki legal standing karena Komisi Yudisial (KY) sudah memutuskan bahwa PK hanya boleh dilakukan oleh terpidana, keluarga atau ahli warisnya.

“Sesuai putusan MK Nomor 133 intinya sesuai Pasal 263 ayat 1 yang boleh mengajukan PK adalah terpidana dan ahli warisnya,” ujar Hamdan Zoelva di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Hamdan menguraikan putusan MK itu sejalan dengan Surat Ketua Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 04/BUA.6/HS/SP/III/2014 tanggal 28 Maret 2014 yang ditujukan kepada para Ketua Pengadilan Tingkat Banding dan Ketua Pengadilan Tingkat Pertama di seluruh Indonesia.

“SEMA ini sejalan dengan putusan MK. Artinya ketika keluar SEMA masih ada yang mengajukan PK sehingga mengacu kepada MK. MK akhirnya memberikan kepastian jaksa tidak boleh mengajukan PK sesuai ketentuan SEMA,” kata Hamdan.

Hamdan menyebutkan bahwa upaya hukum luar biasa yang diberikan kepada penegak hukum adalah kasasi demi kepentingan umum. Sementara PK didesain untuk terpidana mengoreksi putusan kasasi.

Sedangkan ahli hukum pidana Chairul Huda menilai putusan MK tentang pasal 263 ayat 1 KUHAP sudah tepat. Menurut dia, putusan itu menegaskan norma yang tersurat di pasal tersebut.

Jaksa Penuntut Umum KPK yang tidak terima dengan putusan Kasasi MA tanggal 9 Juli 2019 yang membebaskan SAT dan melakukan PK. Saat membacakan memori PK Jaksa KPK, Haerudin mengatakan PK diajukan untuk mengoreksi putusan yang keliru terhadap terhadap perkara yang sudah berkekuatan hukum tetap.

Ketika putusan Kasasi MA, membebaskan SAT. Mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla pun berkomentar agar baiknya KPK berhati-hati menangani perkara lama, apalagi baru kali ini KPK kalah di MA.

“Kasus ini penting jadi peringatan ke KPK untuk betul-betul memenuhi segala ketentuan dan hati-hati memenuhi syarat itu. Walau benar juga MA tidak 100 persen hakim sama pendapatnya, beda pendapatnya,” kata JK kepada media (10/7/19).

“Kasusnya, kan, dibilang perdata, jadi kalau perdata ada jalan yang lain. Mesti ada yang nuntut (kalau berlanjut),” kata mantan Wakil Presiden itu.

Tidak hanya datang dari JK, bahkan mantan Pimpinan KPK Indriyanto Seno Adji pun menyoroti langkah hukum yang aneh oleh KPK ini.

Menurut Indriyanto, dalam paparan tertulisnya kepada media massa pada 7 Februari lalu, mengatakan, “Pengajuan PK oleh KPK terkait kasus Syafrudin Temanggung, dari  Sisi Regulasi, KPK sewajarnya memperhatikan legitimasi Subyek Pemohon PK yang limitatif, yaitu Terpidana dan Ahli Waris, bukan Hak dari Penegak Hukum, walaupun yurisprudensi tidak konstan peradilan pernah memberikan tempat penegak hukum sebagai subjek pemohon PK,” katanya.

Yurisprudensi yang tidak konstan, yang dimaksud Indriyanto adalah dalam kasus aktivis buruh Muchtar Pakpahan, di mana Jaksa Kejaksaan Agung di zaman Orde Baru itu melakukan PK atas Muchtar.

Tetapi, setelah ada putusan MK di zaman reformasi ini, bahkan Profesor Ahli Hukum Pidana dari Universitas Gajah Mada Eddy OS Hiariej menyebut kasus Muchtar Pakpahan yang menjadi yurisprudensi KPK adalah sebuah noda hitam dalam sejarah praktek hukum pidana di Indonesia. Di mana saat itu Jaksa bisa dikontrol oleh penguasa Orde Baru, untuk berbuat apa saja atas nama hukum.

Jika para ahli hukum sudah bersepakat soal kaidah PK ini, lalu apa sebenarnya yang akan dicari KPK dengan ngotot dan menabrak tatanan hukum ini? Dan jika itu terjadi, maka tidak ada kepastian hukum.

Dan, ada yang dilupakan bahwa BPPN di mana SAT pernah menjadi pimpinannya adalah lembaga superbody bidang ekonomi untuk menangani krisis ekonomi 1997-1998. Di tangan BPPN ada 2000 lebih akun perusahaan yang terpaksa dilikuidasi, diambil alih negara, dengan cara-cara yang ekstra pula.

Jika kasus hukum mantan Ketua BPPN masih diotak-atik lagi, bisa jadi muncul gugatan hukum dari para pemilih ribuan perusahaan-perusahaan yang dulu diambil alih negara lewat BPPN. Mereka menganggap pengambil alihan mereka tidak sah. Wahh bisa hidup lagi zombie-zombie ekonomi.

Edy

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

2  +  5  =