Hot Topic Hukum

Polisi Tak Bisa SP3 Kasus Nurhayati, Praperadilan Harus Penuhi Keadilan Masyarakat

Channel9.id – Jakarta. Kasus viralnya Nurhayati Kaur Keuangan Desa Citemu Cirebon yang jadi tersangka kasus korupsi kepala desa. Polisi tak bisa keluarkan SP3.

Kasus korupsi Kepala Desa Citemu, Cirebon yang menyeret dua tersangka, Kades Supriyadi dan Kepala Urusan Keuangan Nurhayati, ramai di media sosial.

Kasus dugaan korupsi dana desa ini sudah melalui proses penyelidikan dan penyidikan oleh Polres Cirebon. Bahkan setelah serangkaian penyidikan oleh Jaksa Kejaksaan Negeri Cirebon dinyatakan lengkap (P-21).

Kasus ini menjadi viral di media sosial, setelah tersangka Nurhayati mengunggah pengakuan bahwa dirinyalah yang melaporkan Kades. Sehingga merasa menjadi korban.

Ahli Hukum Pidana Universitas Trisakti Jakarta, Azmi Syahputra mengatakan dari konstruksi hukum kasus ini sudah berada di tangan Jaksa. Sebelumnya atas arahan Jaksa pemeriksa Nurhayati menjadi tersangka.

“Kuat dugaan ada kontruksi pidana melibatkan Nurhayati sebagai Kaur Keuangan Desa yang jadi bawahan Kades, ini yang mungkin dilihat jaksa,” kata Azmi.

Belakangan memang terungkap bahwa yang melaporkan kasus ini ke Polres Cirebon adalah BPD Desa Citemu, bukan tersangka.

Azmi pun menyebut dari pasal yang disangkakan, nampak konstruksi hukumnya Kades Suharyadi tidak sendirian. “Ada penerapan pasal 55 KUHP, turut serta. Dan ini lazim dalam kasus tindak pidana korupsi,” ujar Azmi.

Soal pembelaan Nurhayati, baiknya tidak disampaikan ke media sosial. Karena jaksa melihat kasus ini sudah lengkap. Maka perlawanan dengan cara hukum pula, misalnya seperti yang disampaikan pengacara akan melakukan praperadilan.

“Penetapan Tersangka Nurhayati memang menimbulkan pro kontra dimana seolah penegakan hukum pidana bisa menampakkan dua wajah berbeda,” ujar Azmi.

Dalam satu sisi, dianggap telah menegakkan hukum bila penegak hukum dapat membuktikan kesalahan tersangka dan memiliki alat bukti yang cukup dan sah. Namun di sisi lain  dapat dianggap kesewenangan dan tidak adil.

Untuk ini hukum memberi ruang dengan adanya wadah lembaga pengujian. Untuk menguji apakah penetapan Nurhayati sebagai tersangka sah atau tidak, dapat diuji melalui praperadilan.

“Perlu diingat bahwa dalam kasus ini polisi telah melakukan fungsinya sebagaimana diatur KUHAP, bilamana penuntut umum berpendapat ada pihak lain yang harus diperiksa dalam hal ini atas diri Nurhayati,” terang Azmi.

Maka mengacu pada pasal 110 KUHAP ayat 3 bila ada petunjuk jaksa pada penyidik harus dilengkapi dan karenanya penyidik wajib segera melakukan tindakan sesuai dengan petunjuk dari penuntut umum.

“Jadi tindakan kepolisian disini sudah clear melakukan sebagaimana petunjuk jaksa,” ujar Azmi.

Mendorong pihak yang merasa hak hukumnya dirugikan untuk sidang praperadilan, merupakan satu pranata hukum untuk menguji, memeriksa dan memutus bila ada penyimpangan dalam proses penyidikan.

Menurut Azmi, praperadilan salah satu mekanisme komplain sekaligus kontrol terhadap kemungkinan tindakan upaya paksa atau tindakan sewenang -wenang aparatur dalam melakukan penangkapan dan penggeledahan termasuk penetapan tersangka, jadi akan terlihat faktanya di sidang praperadilan.

Menurutnya, sidang Praperadilan berfungsi juga sebagai upaya mengawasi proses penegakan hukum sehingga kepada yang kepentingan hak hukumnya dilanggar dapat mengajukan uji legalitas penetapannya sebagai tersangka dengan menguji apakah bukti-bukti sesuai aturan dan proses penyidikannya sesuai ketentuan.

“Melalui gugatan permohonan praperadilan dengan menerapkan asas hukum acara pidana terlihat perlindungan hak konstitusional warga sekaligus menunjukkan bekerjanya atau tidaknya sistem peradilan pidana,” ujar Azmi.

Menurut Azmi, tujuan dari sidang Praperadilan itu untuk melindungi kepentingan hak konstitusional warga negara sebagaimana  diatur dalam Pasal 28 G ayat (1) UUD 1945.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

9  +  1  =