Oleh: Dr. Syaifuddin, M.Si., CICS.
Channel9.id – Jakarta. “Esay ini adalah analisis kritis di balik politik konspirasi kelangkaan BBM swasta. Tidak berarti setiap tuduhan harus dianggap fakta hukum, karena ini sebuah peta bacaan politik. Analisis ini penting untuk dapat memahami dinamika relasi kekuasaan di balik kelangkaan energi yang sangat menyulitkan rakyat saat ini.”
Tulisan ini mencoba membaca fenomena kelangkaan Bahan Bakar Minyak (BBM) di SPBU swasta (Shell, BP, Vivo) pada September – Oktober 2025 ini bukan semata sebagai persoalan teknis kuota impor, melainkan sebagai gejala politik. Dengan menggunakan teori konspirasi sebagai pisau analisis, tulisan ini berargumen bahwa kelangkaan ini merepresentasikan gerakan politik terstruktur dari jejaring lama, terdiri dari kelompok bisnis energi, menteri titipan, oknum aparat, dan figur politik era sebelumnya yang berupaya melemahkan citra Presiden Prabowo di awal masa pemerintahannya.
Dengan menelaah pola kasus oplosan Pertamax, jejaring oligarki energi, dan konflik kepentingan antara sisa-sisa rezim lama dengan pemerintahan baru, tulisan ini menawarkan pembacaan kritis atas kemungkinan adanya “politik sabotase energi” di Indonesia.
Isu energi selalu menjadi isu seksi, strategis sekaligus sensitif dalam politik Indonesia. Sejarah mencatat bahwa gejolak harga minyak, listrik, atau bahan bakar kerap memicu ketidakstabilan politik. Pada 2025 ini publik dikejutkan oleh fenomena langkanya BBM di SPBU swasta non-Pertamina, khususnya di Shell, BP, dan Vivo. Kelangkaan yang terjadi hingga tiga minggu berturut-turut ini menimbulkan kecurigaan banyak pihak, apakah ini sekadar masalah teknis kuota impor, atau ada “permainan politik di balik layer ?.”
Fenomena BBM hadir menjadi berita viral setelah mencuatnya skandal oplosan Pertamax oleh Pertamina, yang membuat kepercayaan publik pada BUMN energi tersebut menurun drastis. Banyak masyarakat beralih ke SPBU swasta yang dianggap lebih terjamin kualitasnya. Namun, secara tiba-tiba, lagi-lagi BBM di SPBU swasta menghilang. Apakah ini kebetulan ?.
Tulisan ini menggunakan teori konspirasi untuk membaca fenomena tersebut. Dalam kajian ilmu politik, teori konspirasi tidak selalu dipahami sebagai “fiksi” atau “hoaks”, melainkan sebagai cara memahami pola relasi kekuasaan tersembunyi ketika fakta formal tidak sepenuhnya bisa menjelaskan gejala social yang sedang terjadi.
Landasan Teoretis
Menurut Sunstein & Vermeule (2009), Conspiracy Theory adalah sebuah narasi alternatif yang meyakini adanya kelompok tertentu yang bekerja secara rahasia untuk mencapai tujuan politik yang merugikan publik. Teori ini sering muncul ketika ada kesenjangan antara realitas empiris – fakta yang dirasakan masyarakat – dengan realitas formal yakni narasi resmi negara.
Dalam konteks Indonesia, teori konspirasi sering kali justru terbukti pada kemudian hari, misalnya dalam kasus mafia migas, skandal BLBI, atau permainan harga beras. Karena itu, membedah kelangkaan BBM swasta yang sedang terjadi saat ini dengan teori konspirasi bukanlah fantasi, melainkan alat membaca arah politik tersembunyi di balik fenomena.
Penting dipahami bahwa ada empat ciri-ciri politik konspirasi yang lebih populer: Pertama, terdapat jejaring aktor yang terdiri dari politisi, birokrat, aparat, dan pengusaha. Kedua, ada motif kekuasaan dan ekonomi yang sama-sama dipertaruhkan. Ketiga, ada fenomena di lapangan yang tampak tidak wajar, misalnya kelangkaan serentak suatu kebutuhan pokok / penting. Keempat, ada framing media yang diarahkan untuk menyalahkan pihak tertentu, misalnya dalam hal ini pemerintah baru.
Analisis Kelangkaan BBM Swasta sebagai Politik Sabotase
Pertama, yang harus diingat kasus dari pertamax oplos ke perang energi. Dalam konteks kasus oplosan Pertamax yang mencuat pada 2024–2025 ini bukan sekadar kasus yang bersifat konvensional dalam sebuah korporasi, melainkan sebuah peristiwa terbukanya borok hitam jejaring bisnis besar energi. Publik telah mencatat dari semua berita media yang beredar luas tentang adanya keterlibatan figur-figur besar di balik kasus itu, yang disebut namanya mulai dari raja minyak (Riza Chalid), oknum petinggi Badan Usaha Milik Negara (BUMN), oknum politisi, hingga aparat penegak hukum. Skandal ini memukul dan menjatuhkan reputasi Pertamina, dan pada akhirnya membuat masyarakat berbondong-bondong beralih ke SPBU swasta akibat kehilangan kepercayaan bahkan kecewa terhadap kebobrokan manajemen Pertamina. Kejadian itu tentu patut disayangkan oleh rakyat Indonesia.
Secara psikologis, tentu kelompok yang diuntungkan dari bisnis energi lama itu merasa terancam dan bahkan dendam karena kasus mereka terekspos dan viral. Di sinilah letak adanya potensi motif politik konspirasi bermain, membangun gerakan politik laten untuk tujuan menjatuhkan kredibilitas pemerintah yang dianggap “tidak melindungi warisan penguasa lama”.
Kedua, berpikir tentang peran Menteri titipan dan jejaring rezim lama. Pada poin ini kehadiran menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang dikenal sebagai figur titipan rezim lama membuat narasi semakin kuat. Menteri ESDM itu adalah sebagai regulator yang memegang kendali regulasi impor BBM. Di tengah kelangkaan BBM, justru ia menjadi aktor yang menunda solusi, sehingga publik semakin marah. Makna apa yang bisa pembaca tangkap di balik prilaku politik seorang Menteri seperti itu ?. Jika ditarik ke atas, jejaring ini masih terkoneksi dengan rezim lama yang disebut-sebut ingin menjaga warisan politik melalui putra mahkotanya. Dalam logika politik konspirasi, melemahkan Presiden Prabowo di awal pemerintahan akan membuka ruang bagi putra mahkota untuk tampil sebagai “dewa penyelamat”. Hanya patut disayangkan, kualitas permainan politik seperti ini sangat rendah karena begitu muda terbaca oleh rakyat.
Ketiga, terkait jaringan politik oligarki energi. Dalam konteks ini, figur seperti Riza Chalid – seorang raja minyak Indonesia – memiliki sejarah panjang dalam menguasai bisnis energi, distribusi, dan jaringan politik energi ini. Jika benar bahwa sebagian kelompoknya saat ini sedang dalam pusaran kasus hukum di Kejaksaan Agung, maka ada insentif kuat untuk menggunakan kelangkaan BBM sebagai bargaining chip politik, misalnya “kalau kami ditekan, rakyat akan melawan karena energi kami kendalikan.” Intrik politik seperti ini bukan lagi permainan baru di dunia politik Indonesia. Maka itu, Presiden Prabowo tentu harus tetap waspada sembari berpikir dengan cerdas, kemana angin itu ditiup oleh sang pemain.
Keempat adalah soal terciumnya bau oknum aparat hukum yang terlibat dan jaringan BUMN di balik fenomena nyata. Keterlibatan nama-nama yang sering disebut oleh berbagai media seperti Menteri BUMN yang lama atau oknum aparat (Kapolda Metro) dalam isu yang beredar di publik menambah warna konspiratif dalam isu ini. Sekalipun belum ada bukti hukum yang solid, kehadiran figur ini dalam pusaran rumor ini menunjukkan betapa kuat jejaring oligarki yang bercampur dengan birokrasi dan oknum aparat negara.
Kelima, terkait Dampak politik konspirasi itu kepada Citra Presiden Prabowo. Bagi rakyat, detail teknis bagaimana proses politik konspirasi itu adalah tidak penting. Yang tampak hanyalah BBM swasta tiba-tiba serempak hilang, harga BBM naik, dan kesulitan makin bertambah. Akibatnya, dalam kasus seperti ini yang disalahkan tetap Presiden. Jika kondisi ini tidak direspon cepat, maka isu ini bisa dimanfaatkan menjadi framing media, misalnya menuding pemerintah baru tidak becus. Bisa juga muncul gerakan jalanan seperti demo yang mengatas-namakan “energi rakyat”. Atau terjadi krisis koalisi, dimana oposisi menggoreng isu dan menekan reshuffle.
Penutup
Membaca fenomena kelangkaan BBM swasta hanya sebagai “masalah kuota impor” atau karena “belum ada kesepahaman antara pihak” adalah penyederhanaan narasi yang berlebihan. Dengan pisau analisis teori konspirasi, terlihat pola bahwa ada jejaring lama – yang berisi menteri titipan, oligarki energi, oknum aparat, dan bahkan bayangan politik rezim lama – yang masih memainkan peran untuk menekan dan mengintervensi kebijakan politik Presiden Prabowo.
Apakah ini konspirasi yang terbukti secara hukum?, bisa jadi iya, dan bisa jadi tidak. Tetapi sebagai analisis politik, tanda-tanda itu jelas terbaca, ada motif, ada aktor, ada pola, dan ada dampak yang ditimbulkan.
Karena itu, penulis memberikan empat poin rekomendasi sebagai solusi atas masalah di atas, sebagai berikut: Pertama, soal transparansi energi, pemerintah harus segera membuka data kuota impor, distribusi, dan stok harian BBM swasta. Kedua, soal pembersihan politik, Presiden Prabowo harus tetap tegar dan berani melakukan bersih-bersih dengan mereshuffle menteri titipan dan pihak-pihak terkait yang jadi “kuda troya” politik, jika tidak bisa disebut “duri dalam daging”. Ketiga, soal lawfare, dalam mengambil setiap keputusan penting dan mendasar terkait pembersihan hegemoni oligarki energi, Presiden Prabowo tetap menggunakan prosedur hukum untuk menekan oligarki energi yang bermain ganda sebagai ular berkepala dua. Keempat, soal komunikasi publik, Presiden Prabowo jangan biarkan rakyat hanya mendapat narasi dari media saja, presiden harus tampil langsung membangun komunikasi politik yang intens dengan solusi gerak cepat.
Penulis adalah Dosen Pascasarjana Universitas Mercu Buana, Peneliti dan Analis Komunikasi Politik dan Kebijakan Publik