Opini

Politik Podcast – Podcast Politik dalam Bingkai Madilog

Oleh: Indra J Piliang*

Channel9.id-Jakarta. Sudah sejak beberapa tahun lalu sejumlah pihak menyarankan saya agat mengaktivasi podcast politik. Dan berkali-kali saya menghindar dengan alasan yang seragam: saya seorang penulis yang sejak lahir hingga tamat kuliah dalam keadaan gagap. Kadang, kondisi psikomotoris itu muncul dalam pembicaraan paling sederhana sekalipun. Belakangan, saya mulai setuju bahwa podcast politik itu penting. Dan saya perlu hadir di dalam podcast. Masalahnya, saya belum punya kemampuan dalam menyiapkan segala sesuatu yang terkait dengan podcast.

Ketika hadir dalam podcast PhD 4K yang diampu sahabat saya Poempida Hidayatullah dalam masa kampanye pemilu 2024, pihak Forum Keadilan TV menawarkan saya sebagai host untuk podcast sendiri. Saya mulai tertarik dan menyiapkan rancangan tersendiri. Tertulis. Seperti naskah puisi, novel, atau bahkan film yang saya pernah bikin. Sangat detil.

Namun, saya belum percaya diri. Solusi tokcer langsung hadir, ketika bersua kembali dengan Budhius M Piliang, alumni Jurusan Sosiologi Universitas Indonesia yang pernah bekerja di sejumlah stasiun televisi. Beberapa kali Budhius mewawancarai saya, terutama di stasiun RCTI Kebun Jeruk. Budhius sudah pensiun dari televisi dan tahun lalu memimpin majalah Angkatan Bersenjata. Tanpa bertanya lebih jauh, saya sampaikan kepada Budhius untuk melahirkan Duo Piliang sebagai host. Budhius langsung setuju. Sangat antusias.

Madilog Forum mulai dipersiapkan pada akhir Juni 2024. Rencana awal menghadirkan tokoh perempuan. Tentu sosok yang sangat dekat dengan saya, putri seorang pendiri bangsa. Begitu juga sosok perempuan lain, anak seseorang yang pernah berkuasa sangat lama. Namun, perburuan tokoh-tokoh ini belum berhasil, berhubung padatnya jadwal yang mereka miliki. Karena persiapan yang sudah matang, perekaman dilakukan tanggal 16 Juli 2024. Keesokan hari, 17 Juli 2024, tayangan pertama hadir di kanal Forum Keadilan TV. Dua host memperkenalkan diri. Bertengkar.

Tiga minggu lebih Madilog Forum hadir. Lebih banyak kekurangan, ketimbang kelebihan yang pasti belum ada. Sangkakala kata-kata revolusioner yang menjadi ciri dari pemikiran Tan Malaka dalam banyak naskah, baik buku, catatan harian, hingga transkrip pidato dalam sebuah pertemuan, sama sekali tak muncul dalam Madilog Forum. Yang terjadi, seluruh tim Madilog Forum seolah sedang memasuki bangku ‘Sekolah Anti Kurikulum Kolonialis’ yang diampu Tan.

Saya mulai masuk ke dalam lingkungan kerja yang betul-betul menyita waktu, tenaga, hingga pikiran. Kompromi atas realitas empiris berupa limbik pikiran netizen Indonesia yang menyukai judul-judul bombastis, tetapi miskin isi, terhidang setiap saat. Begitu juga daya tarik guna mengejar dan menghadirkan narasumber kontroversial yang memicu sikap pro dan kontra, betul-betul menjadi godaan yang menerbitkan air liur di selipan bibir.

Yang terjadi justru tenggelam dalam detuk-demi-detik dan menit-demi-menit pekerjaan sebagai host yang turut serta menyusun isu dan nenghubungi narasumber. Sering, perekaman (taping) dilakukan dalam keadaan lelah, di sore atau malam hari. Baik akibat menunggu narasumber, atau kehadiran kru yang membongkar-pasang peralatan studio. Kemunculan dalam taping, bukan terjadi ketika energi sedang bangkit dan menyala, yakni di pagi hari dalam keadaan segar bugar. Para narasumber yang hadir juga sudah melewati sejumlah aktivitas yang melelahkan. Sehingga, ketika keseluruhan dialog muncul, walau tak sampai satu jam, kelelahan masih terbayang di wajah.

(())

Podcast politik adalah media yang paling menarik dewasa ini. Tentu saja bagi kalangan yang memang menjadikan media sosial sebagai wahana memperkaya pengetahuan, sekaligus juga bersikap atas pengetahuan itu. Podcast politik mampu menghipnotis para subscriber untuk mengambil posisi berseberangan, berhadapan, bahkan berhadapan, dengan pihak yang dianggap sebagai pemegang kekuasaan. Dengan podcast, proses penyeimbangan kekuasaan (balancing of power) berproses dan terjadi, sekalipun berlangsung dalam ranah virtual.

Podcast politik dengan sendirinya bersalin rupa sebagai palu godam yang menghancurkan media konvensional, sebut saja halaman wawancara di media cetak, baik bulanan, mingguan, apalagi harian. Tak menonton satu episode atau tayangan pada kanal yang digemari, lambat laun menjadi beban sosial tersendiri. Terdapat perasaan bersalah, manakala podcast politik tertentu tak sempat disimak.

Bukan hanya itu, terasa sekali ada semacam ‘kewajiban kognitif dan kolektif’ guna ikut menyebarkan link dari podcast politik yang dianggap sebagai sisi, sikap, dan situs yang mewakili pribadi si penyebar. Podcast politik tidak terasa mengantikan peranan dari lembaga perwakilan politik resmi. Podcast politik menjadi pengganti dari trias politika, atau paling tidak menjadi cabang keempat dari otoritas politik.

Siapa yang tak kenal Rocky Gerung, seorang ahli tutur yang pandai membingkai fenomena politik yang sedang berkembang?

Rocky Gerung adalah raksasa di bidang podcast politik. Ucapannya dicermati, gayanya dieja, formulasi tata aksaranya ditulis ulang, ketika para pengagum dan pemujanya berhadapan dengan fenomena politik yang sama atau mirip. Yang lebih mencengangkan lagi, penilaian Rocky Gerung atas seorang tokoh atau sosok politisi – dalam artian luas, mereka yang berada di area kekuasaan (lembaga politik) – digunakan bagai label yang (maha) benar. Dan tentu saja penilaian itu dalam nuansa yang negativistik, sekalipun logika yang digunakan Rocky Gerung berasal dari teori-teori positivistik. Yakni, nalar kritis.

Atau siapa yang tak terpapar podcast Letkol Tituler Deddy Corbuzier?

Tak hanya ahli dalam membentuk otot-otot tubuh, Corbuzier mampu menyedot penggemar podcast dalam jumlah terbanyak. Angka jutaan selalu berhasil ditembus. Kehandalan manajemen Corbuzier sudah tak diragukan lagi, yakni menghadirkan tokoh atau sosok yang menjadi sumber berita terhangat di publik. Bahkan sebelum kanal-kanal media massa lain mendapatkan, baik televisi, online, hingga cetak. Ringan, akrab, sekaligus menggelitik ketika menggali informasi yang  ‘baru pertama didengar atau diketahui publik’ lewat kanalnya.

Podcast politik adalah bentuk yang sempurna dari perebutan, pertarungan, hingga peperangan dalam merebut apa yang disebut sebagai ruang publik (public sphere). Jumlah podcast politik, atau jenis podcast lainnya — tentu yang paling populer adalah podcast kuliner dan podcast memancing – yang banyak di Indonesia menunjukan betapa perayaan atas demokrasi begitu bergairah. Hampir tak terdengar terjadi pemberangusan atau pembreidelan atas podcast. Atau pembuatan ketentuan yang membatasi siapa saja yang boleh atau tidak boleh memproduksi podcast. Pun tak ada mekanisme pemberian surat izin membikin podcast yang berasal dari pemerintah atau lembaga peradilan.

Podcast Madilog Forum, tentu saja berorientasi kearah kemerdekaan bersuara, berpendapat, hingga tingkat menyiarkan suara dan pendapat itu. Madilog Forum bukan sekadar proklamasi atas kemampuan berpikir, melainkan menjalani peranan paling manusiawi sekalipun: tuna wicara ketika berbicara di hadapan kamera. Siapapun yang menyandang kata ‘tuna’ atas kondisi tubuhnya, bukanlah hambatan guna memproduksi dan menyiarkan podcast sendiri. Anak-anak indigo, difabel, autis, hingga yang sekadar mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri dengan metode dan kurikulum pendidikan ‘normal’, justru sangat potensial dipandu untuk mewujudkan podcast pribadi atau kelompok.

Podcast politik dan politik podcast yang menyertai, adalah bentuk paling nyata dari teriakan MERDEKA 100 % Tan Malaka. Bukan kemerdekaan yang setengah-setengah, sekalipun dilakukan lewat upacara yang berbiaya mahal dengan sumberdaya manusia terbaik dan terbanyak. Yang dimaksud politik podcast tentu saja arah yang hendak dituju oleh produsen podcast politik. Arah yang mengarahkan subscriber. Tentu dengan asumsi dan imajinasi yang bertentangan dengan kaidah media sosial: arah seseseorang bisa diarahkan. Yang sepenuhnya tentu saja salah dan bertentangan dengan mentalitas: me-MERDEKA-kan manusia 100%!

Emang netizen pandir???

*Sang Gerilya Indonesia

Baca juga: Pariaman: 22 Tahun Usia Administratif, 5 Abad Usia Biologis

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

  +  26  =  31