Opini

Prabowo-Gibran: Bertemunya Kedua Nalar

Oleh: Mukti Ali Qusyairi

Channel9.id – Jakarta. Ketiga calon presiden dan wakilnya oleh banyak pakar—juga oleh para timses masing-masing?—digambarkan sebagai kolaborasi kedua entitas yang berbeda yang hendak disatukan. Anies representasi Islam modernis-HMI kolaborasi dengan Cak Imin representasi Islam tradisionalis-PMII. Ganjar representasi kaum nasionalis kolaborasi dengan Mahfudz MD representasi kaum santri. Aspek atau faktor yang mengikat Prabowo dan Gibran agaknya berbeda dengan kedua pasangan itu.

Prabowo berpasangan dengan Gibran diikat oleh sebuah pengalaman nyata bahwa selama hampir lima tahun terakhir Prabowo bergabung ke dalam kabinet kepemerintahan Jokowi yang cukup positif-produktif dalam menyelesaikan berbagai persoalan seperti covid-19 dan pembangunan infrastruktur serta berhasil merekatkan keterbelahan sosial yang sebelumnya cukup tajam dan mengkhawatirkan berpotesi terjadinya distintegrasi bangsa. Karena tidak ada titik temu dalam Upaya komunikasi politik kolaborasi antara Puan dan Prabowo atau Ganjar dan Prabowo, di mana Puan dan Ganjar dianggap representasi Jokowi, akhirnya pilihan jatuh pada Gibran.

Pendapat di atas sudah banyak kita dengarkan dari para pengamat maupun dari pernyataan timses masing-masing. Akan tetapi, di sini, saya hendak mencoba menganalisa dari sudut pandang lain dalam melihat pasangan Prabowo-Gibran (PAGI).

Menyoal Relevansi
Saat ini kaum nasionalis vs kaum santri sejatinya sudah kurang relevan untuk dikategorisasikan sebagai entitas yang berbeda. Sebab kaum santri—apalagi yang dimaksudkan adalah NU dan Muhammadiyah—tidak kalah nasionalismenya daripada kelompok yang mendaku kaum nasionalis. Seperti warga NU sangat nasionalis, terbukti berkomitmen pada Pancasila, Bhinekatunggal Ika, NKRI, UUD 45 (disingkat PBNU), memperjuangkan nilai-nilai persaudaraan antar anak bangsa dan toleransi, juga nasionalisme tercermin dalam lagu Ya Lal Wathan, Hubbu al-Wathan Min al-Iman.

Begitu juga sudah kurang relevan juga mengkolaborasikan kaum modernis Islam vs kaum tradisionalis Islam. Sebab dalam aspek pemikiran keagamaan, keduanya sudah banyak mengalami persamaan. Bahkan semenjak tampilnya Gus Dur, dari kalangan tradisionalis Islam lahir banyak para tokoh muda yang pemikirannya lebih progresif melampaui kaum modernis. Bahkan Fachry Ali, pengamat senior dan kolumnis prolific, menggambarkannya bahwa: “NU menggulung seluruh kekuatan-kekuatan masyarakat yang dulu dominan ketika NU mengadopsi gagasan-gagasan modern tetapi dengan sikap memelihara keotentikannya.”

Dalam realitas sosial saat ini, dikotomisasi atau kategorisasi sosial tersebut sudah lebih mencair dan kabur. Sebab banyak kaum santri yang berada di partai nasionalis misalkan PDIP. Begitu pun tidak sedikit kaum yang bukan santri berada di partai agamis seperti para artis banyak yang bergabung ke partai PAN. Sehingga partai semacam PKB, PAN, PPP, dan PBB disebut sebagai partai nasionalis-religius. Di sana sudah terpatri label ‘nasionalis’.

Kaum Tua-Kaum Muda
Pasangan Prabowo dan Gibran boleh dikatakan sebagai kolaborasi kaum tua dan kaum muda. Prabowo representasi kaum tua dan Gibran representasi kaum muda. Menurut saya, faktor generasi tua-muda lebih universal dan lebih substansial.

Dikatakan lebih universal lantaran netral dari berbagai embel-embel identitas baik identitas keagamaan, kelompok, maupun etnis. Melampaui dikotomisasi kaum nasionalis vs kaum santri atau kaum Islam modernis vs Islam tradisionalis atau HMI vs PMII.

Tua-muda meliputi semua lapisan masyarakat dari semua kelas sosial, kategorisasi, dan suku serta agama. Tua-muda adalah soal generasi dan regenerasi yang menggambarkan sebuah proses kedewasaan seseorang bergulat dengan waktu dan realitas.

Soal tua dan muda relevan untuk dipersatukan. Saya ingat pandangan ulama klasik Islam abad ke-4 seorang konseptor politik Imam al-Mawardi dalam kitabnya Adab al-Dunya wa al-Din, menyatakan bahwa perkembangan akal manusia disebabkan oleh seringnya digunakan untuk memahami dan merespons serta menyelesaikan berbagai persoalan melalui proses pengalaman hidup dan eksperimentasi yang biasa didapatkan oleh kaum tua serta kecerdasan alamiah dan konteks realitas terdekat yang didapatkan oleh kaum muda.

Kaum tua memiliki segudang pengalaman, banyak makan asam-garam kehidupan, eksperimentasi dan banyak menghadapi serta menyelesaikan berbagai persoalan nyata sehingga akalnya mengalami perkembangan. Prabowo sebagai representasi kaum tua yang memiliki segudang pengalaman; Kopasus, Jenderal, pengusaha, pemimpin partai, pemimpin para petani Indonesia, dan Menteri Pertahanan RI.

Akan tetapi, anak muda merupakan entitas yang terdekat dengan realitas kekinian. Sehingga merekalah yang sejatinya lebih memahami apa yang paling relevan dan dibutuhkan untuk masyaraat saat ini. Sebab dinamika yang terjadi saat ini berbeda dengan dinamika masa lalu. Mungkin kaum tua sudah merekam dengan baik dinamika masa lalu, sedangkan persoalan masa kini masih belum memahami sepenuhnya dan bisa dipahami dengan baik oleh kaum muda.

Misalkan, saat ini sangat terasa betapa pentingnya memahami fenomena dunia maya, medsos, plafon bisnis berbasis digital, cyber security, AI (Artivisal Intelijen), dan kecenderungan serta gaya hidup generasi millennial, generasi alfa, generasi zoomer. Tak kecil angka anak muda Indonesia saat ini, yaitu 60%. Setiap generasi selalu saja ada tantangannya sendiri yang berbeda dengan tantangan bagi generasi sebelumnya. Karena itu pemuda adalah anak zamannya. Ketika saya bertanya kepada 7 keponakanku yang muda, mereka menjawab “pilih Girban, Mang!” Menurut saya, di sinilah relevansinya Gibran hadir dalam perpolitikan nasional mendampingi Prabowo.

Bukankah manakalah terjadi perkawinan antara nalar kaum tua dengan segudang pengalaman dan nalar kaum muda dengan penguasaannya tentang masa kini, maka terjadi tambal sulam antar generasi sehingga terjadi saling melengkapi? Karena itu, boleh dibilang bahwa Prabowo-Gibrani (PAGI) sebentuk bertemunya kedua lautan kaum tua dan kaum muda sebagai modal untuk masa depan Indonesia.

Penulis adalah Penulis buku Ulama Bertutur tentang Jokowi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

  +  83  =  85