Channel9.id, Jakarta. Industri semen nasional tengah menghadapi tekanan berat akibat kombinasi penurunan permintaan dan kelebihan pasokan (oversupply) yang masih berlanjut hingga kuartal III/2025. Kondisi ini mencerminkan tantangan struktural yang dihadapi sektor bahan bangunan di tengah perlambatan ekonomi dan pergeseran kebijakan pemerintah dari proyek infrastruktur ke program sosial.
Ketua Umum Asosiasi Semen Indonesia (ASI), Lilik Unggul Raharjo, menjelaskan bahwa penjualan semen nasional hingga September 2025 tercatat 45,68 juta ton, turun 2,4% dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang mencapai 46,9 juta ton.
“Penyebab utama penurunan ini karena daya beli masyarakat belum pulih dan prioritas anggaran pemerintah bergeser dari pembangunan infrastruktur ke program sosial seperti MBG,” ujar Lilik, Minggu (2/11/2025).
Dari sisi produksi, industri juga mengalami kontraksi sekitar 5,9% secara tahunan, dengan kapasitas nasional mencapai 119,9 juta ton dan tingkat utilisasi hanya sekitar 56,5%. Kondisi ini menegaskan bahwa kelebihan pasokan semen masih menjadi masalah utama, meskipun moratorium pendirian pabrik baru telah diterapkan sejak 2018 melalui sistem OSS.
“Pendirian pabrik baru saat ini hanya diperbolehkan di wilayah tertentu seperti Papua, Papua Barat, dan Maluku,” jelas Lilik.
Beberapa daerah seperti Jawa, Kalimantan, dan Sulawesi disebut mengalami kelebihan pasokan karena penjualan turun sekitar 2% secara tahunan. Bahkan proyek besar seperti Ibu Kota Nusantara (IKN) hanya menyerap sekitar 1 juta ton semen per tahun, jauh di bawah kapasitas produksi nasional.
Di sisi lain, program pembangunan 3 juta rumah rakyat yang diharapkan menjadi penopang penjualan juga belum memberikan efek signifikan terhadap peningkatan permintaan.
Situasi oversupply ini mendorong munculnya persaingan harga antarprodusen, meskipun Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) telah mengingatkan agar pelaku industri tidak menjual di bawah harga pasar.
“Sekarang disparitas harga hanya sekitar seribu rupiah per kantong. Jadi persaingan tetap ada, tapi tidak separah dulu sebelum KPPU turun tangan,” kata Lilik.
Upaya meningkatkan ekspor juga menghadapi hambatan. Pasar regional di Asia kini mengalami kondisi serupa, dengan kelebihan pasokan dan kompetisi ketat, terutama dari negara-negara yang mendapat subsidi energi dari pemerintahnya.
“Biaya listrik menjadi salah satu faktor yang membuat industri semen Indonesia sulit bersaing di pasar ekspor, karena negara lain bisa menjual lebih murah,” imbuhnya.
Dengan permintaan domestik yang stagnan dan tekanan dari pasar global, pelaku industri semen kini dituntut untuk berinovasi dalam efisiensi energi dan diversifikasi pasar agar mampu bertahan di tengah ketidakseimbangan struktural yang berkepanjangan





