Channel9.id – Jakarta. Guru Besar UNJ Prof. Hafid Abbas menilai, elite pemerintah tidak melihat ancaman yang di bawa saat mengandeng Sampoerna Foundation sebagai mitra Organisasi Penggerak Kemendikbud (POP).
Menurut Hafid, sebagai salah satu perusahaan rokok terbesar di Indonesia, Sampoerna bisa menimbulkan dampak buruk bagi kehidupan anak di masa depan.
“Di negara lain, ternyata ada larangan pemilik usaha rokok diharamkan ikut campur pendidikan. Di Norwergia misalnya dalam Ombudsman-nya dilarang adanya kerja sama dalam bidang pendidikan. Hal ini juga terjadi di Eropa,” kata Hafid dalam diskusi ‘Moral dan POP Nadiem Makarim’, Rabu (29/7) malam.
“Kenapa elite kita rela mengandeng perusahaan rokok. Itu betul-betul tidak bisa diterima. Kita mengikhlaskan anak didik kita terkena asap rokok dalam langit pendidikan,” lanjutnya.
Sedangkan, lolosnya Tanoto Foundation dari segi moral juga tak bisa diterima. Hafid menjelaskan, Tanoto memiliki tanah seluar 100.000 hektar di Kalimantan Timur. Tanoto juga memiliki tanah seluas 1 juta hektar di Riau.
Melihat hal itu, Hafid menduga, ada perselingkuhan antara elite pemerintah dengan perusahaan. Perselingkuhan tersebut membuat banyak sekolah di sejumlah wilayah Indonesia, tidak diperhatikan oleh pemerintah. Padahal, kondisi sekolah tersebut di bawah standar atau tidak layak untuk kegiatan belajar mengajar.
“Kalau Tanoto dibantu artinya ada nurani kering para elite untuk membantu mereka. Padahal, masih banyak sekolah yang tidak layak untuk KBM. Di Indonesia, 88,8 persen sekolah jauh di bawah standar minimal. Seperti hanya ada satu guru, satu ruangan untuk dua kelas. Saya mengetahui itu karena datang langsung,” kata Hafid.
Menurut Hafid, APBN 20 persen untuk pendidikan seharusnya mampu membuat pendidikan di Indonesia semakin baik. Namun, nyatanya pendidikan kita masih jauh seperti yang diharapkan.
“Sampai kapan pun kalau tidak pakai hati nurani, pendidikan kita akan gini-gini aja,” kata Hafid.
Hafid pun mengutip Pasal 11 dalam UU No 20 Tahun 2003 Sisdiknas. Pasal itu menyatakan, pendidikan merupakan tanggungjawab pemerintah pusat dan daerah dalam memberikan pelayanan pendidikan yang bermutu dan tanpa diskriminasi.
Berdasarkan hal itu, Sampoerna dan Tanoto seharusnya tidak mengambil peran dalam urusan pendidikan. Pun bila ingin mengambil peran, mereka hanya bisa mendukung saja.
“Masih dalam UU yang sama, Pasal 9 menyatakan warga masyarat berkewajiban membantu sumber daya dan membantu supporting, dengan itu baru legal. Tapi dalam kasus ini, kenapa tiba tiba peran negara tak hadir. Ada dua perusahaan besar yang seakan mengendalikan. Ini terjadi karena pemahaman elite kita mengurus negara dan pendidikan sangat kering nurani,” pungkasnya.
(HY)