Nasional

Profesor Unud Apresiasi Kebijakan Energi Bersih Koster: Terobosan Menuju Bali Mandiri Energi

Channel9.id – Bali. Ketua Tim Community Based Renewable Energy (CORE) Universitas Udayana (Unud) Prof. Ida Ayu Dwi Giriantari menegaskan pentingnya pengembangan pembangkit listrik berbasis gas dan energi baru terbarukan (EBT) di Bali. Hal ini sejalan dengan visi Gubernur Bali periode 2018-2023, Wayan Koster, yang fokus mendorong Bali menuju kemandirian energi.

Salah satu tonggak penting dari kepemimpinan Koster adalah penerbitan Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 45 Tahun 2019 tentang Bali Energi Bersih. Prof. Giri menyebut kebijakan ini menandai Bali sebagai provinsi pertama di Indonesia yang secara resmi mengadopsi strategi menuju penggunaan energi bersih.

Ia menyebut Pergub Bali Nomor 45 Tahun 2019 itu sebagai langkah signifikan dalam mengurangi ketergantungan Bali terhadap pasokan energi dari luar. Menurutnya, kebijakan tersebut menjadi landasan penting untuk mengembangkan infrastruktur energi terbarukan di Bali.

“Pergub 45 itu kan pergub yang luar biasa dan pertama di Indonesia tentang energi bersih, itu luar biasa,” kata Prof. Giri saat ditemui di Kota Denpasar, Bali, Selasa (22/10/2024).

Prof. Giri mencontohkan transisi dari Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) ke Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG) di beberapa daerah di Bali. Menurutnya, transisi ini menjadi bukti nyata penerapan Pergub Nomor 45/2019. Selain itu, peningkatan kapasitas energi terbarukan di Bali juga terus dilakukan secara masif, seiring dengan upaya Koster untuk memastikan Bali bisa mandiri dalam pasokan energinya.

“Setelah Bali kembali recover dari pandemi, penerapan pergub ini sudah mulai diterapkan, itu bisa dilihat dari peningkatan jumlah kapasitas terpasang dari energi terbarukan, energi bersih di Bali, dan beberapa program-program yang sudah berjalan, seperti mengganti PLTD menjadi PLTG, itu salah satu program transisi energi yang dilakukan,” ujarnya.

Selain itu, kapasitas energi terbarukan di Bali juga terus meningkat. Dari awalnya hanya 2 megawatt, kini kapasitas energi terbarukan di Bali sudah mencapai hampir 18 megawatt. Meski persentase energi bersih terhadap total energi masih kecil, peningkatan kapasitas ini menunjukkan langkah maju dalam transisi energi di Bali.

“Dari segi kapasitas sudah meningkat, yang tadinya cuma 2 mega, sekarang ini sudah hampir 18 mega. Itu dari kapasitas. Jadi, kapasitas ini mengejar, yang lain juga meningkat kapasitasnya. Sehingga secara persentase masih kecil, dan ini perlu menjadi perhatian karena target kita kan ini harus diperbesar,” tuturnya.

Di samping itu, kebijakan Bali Energi Bersih ini menurut Prof. Giri juga bertujuan agar Bali tidak terlalu bergantung pada pasokan energi dari Jawa, terutama pada saat terjadi gangguan sistem di luar pulau.

“Mandiri energi di sini bukan berarti lepas dari luar Bali, tapi jika ada sesuatu terhadap sistem Jawa-Bali, Bali itu masih bisa survive,” jelasnya.

Langkah ini menjadi bagian dari strategi jangka panjang Koster untuk memastikan Bali dapat mengatasi tantangan energi di masa depan, terutama dengan pesatnya pertumbuhan sektor pariwisata yang terus meningkatkan kebutuhan listrik.

Menurut Prof. Giri, Bali saat ini masih aman dalam hal ketersediaan energi, namun dalam lima tahun ke depan, pertumbuhan kebutuhan energi diperkirakan akan melonjak. Oleh karena itu, lanjutnya, pembangunan energi bersih harus terus diprioritaskan.

Ia pun menggarisbawahi pentingnya pemimpin Bali berikutnya untuk tetap melanjutkan kebijakan ini demi keberlanjutan sektor pariwisata dan perekonomian Bali secara keseluruhan.

“Kebutuhan energi di Bali ini kan luar biasa. Bali ini pulau kecil tapi pertumbuhan energinya luar biasa karena memang di-drive oleh pariwisata,” tegasnya.

Di sisi lain, meski kebijakan energi bersih sudah mulai dijalankan, Bali saat ini masih bergantung pada energi fosil. Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Celukan Bawang, yang berbahan bakar batu bara, masih menjadi salah satu sumber utama pasokan listrik di Bali.

Namun, sesuai dengan kebijakan Koster yang tertuang dalam Pergub 45/2019, kontrak PLTU Celukan Bawang akan berakhir pada tahun 2045. Setelah itu, tidak akan ada lagi penambahan pembangkit berbasis batu bara di Bali.

“Rencana umum energi daerah sudah mengakomodasi itu. Jadi, setelah 2045 tidak akan ada lagi pembangkit batu bara di Bali,” kata Prof. Giri.

Prof. Giri juga mengakui bahwa meski kebijakan energi bersih Koster sangat visioner, dampaknya mungkin belum dirasakan langsung oleh masyarakat dalam jangka pendek. Namun, ia optimis bahwa kebijakan ini akan memberikan dampak positif terhadap kualitas hidup masyarakat Bali di masa depan, dengan lingkungan yang lebih bersih dan sehat.

“Kita tahu masyarakat kita sekarang ini kan inginnya instan hasilnya. Padahal kebijakan energi bersih itu hasil akhirnya memang jangka panjang,” jelasnya.

HT

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

7  +  2  =