Oleh: Awalil Rizky*
Channel9.id-Jakarta. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan bahwa pemerintah berhasil menekan angka kemiskinan di masa pandemi Covid-19, lebih rendah dari prediksi Bank Dunia (19/03/2021). Antara lain karena kebijakan ekonomi yang responsif, dan masyarakat terbawah telah memperoleh bantuan sosial dari pemerintah. Disebutkan bantuan tidak hanya bagi 10 persen yang miskin, melainkan ditambah untuk 30% lagi dari rumah tangga dengan pemasukan terendah.
Sasaran program perlindungan sosial kepada 40 persen kelompok masyarakat terbawah sebenarnya sudah menjadi narasi kebijakan Pemerintah sebelum ada pandemi. Selama beberapa tahun terakhir, Menteri sosial menetapkan Basis Data Terpadu fakir miskin dan orang tidak mampu tiap tahunnya. Sebagai contoh, pada tahun 2019 ditetapkan sebanyak 99.359.312 orang atau 27.308.510 rumah tangga. Besarannya tampak begitu meyakinkan dan terkesan Kemensos telah memiliki data rincian.
Pemerintah Indonesia pada semua era juga telah mengatakan komitmen untuk mengurangi angka kemiskinan dan jumlah penduduk miskin. Pemerintah pusat selalu memiliki program dan kebijakan terkait soalan itu. Sebagian program dan kebijakan merupakan kelanjutan atau perbaikan dari periode pemerintahan sebelumnya. Sebagian lagi merupakan program dan kebijakan baru pada satu periode pemerintahan.
Alokasi anggaran dari APBN tiap tahun bernilai besar untuk berbagai program perlindungan sosial dan penanggulangan kemiskinan. Pandemi membuat pemerintah pusat menambah alokasinya serta meningkatkan sasaran pencapaian berbagai program.
Perbandingan antara alokasi anggaran dengan jumlah penduduk miskin dan garis kemiskinannya. Sebagai contoh, APBN 2020 sebelum pandemi mengalokasikan Rp387,7 triliun. Penduduk miskin yang tercatat pada September 2019 berjumlah 24,79 juta orang. Secara hipotetis, tiap orang akan memperoleh sekitar Rp19,97 juta. Bahkan, setelah adanya pandemi, alokasi anggaran ditambah menjadi Rp495 triliun.
Padahal garis kemiskinan nasional pada September 2020 adalah sebesar Rp440.538 per bulan per orang. Jika disetahunkan menjadi sebesar Rp5,29 juta per orang. Alokasi dana APBN 2020 secara hipotetis melebihi batas ukuran tersebut. Secara hipotetis maksudnya andai dana tersebut langsung diberikan sepenuhnya, dalam bentuk tunai atau transfer, tanpa program lainnya. Dengan demikian, jumlah penduduk miskin menjadi nihil atau tidak ada lagi.
Jika dianggap yang menjadi sasaran adalah 40% penduduk terbawah, maka jumlahnya menjadi 107,5 juta orang. Secara hipotetis, jatahnya menjadi Rp3,61 juta per orang selama setahun dalam APBN sebelum pandemi. Memang lebih kecil dari batas kemiskinan. Akan tetapi penduduk miskin ataupun dalam cakupan lebih luasnya tadi, telah memiliki pemasukan sendiri. Maka tetap bisa diasumsikan, bisa membuat jumlah penduduk miskin menjadi nol orang.
Alokasi dana APBN dibandingkan jumlah penduduk miskin pada tahun yang bersangkutan cenderung terus berfenomana demikian. Besarannya berubah-ubah, namun bisa dipastikan jatah tiap orang selalu di atas batas garis kemiskinan, andai hanya dibagi kepada penduduk miskin saja.
Selain alokasi dana, APBN mencantumkan pula target atau sasaran pencapaian berbagai program penanggulangan kemiskinan dan perlindungan sosial. Sebagai contoh, informasi APBN 2021 menyebut perlindungan sosial (perlinsos) sebagai upaya percepatan pemulihan sosial bagi keluarga miskin dan rentan miskin serta menjamin akses kesehatan dan Pendidikan. Kebijakan utamanya antara lain: Melanjutkan program perlinsos untuk akselerasi pemulihan; Mendorong program perlinsos yang komprehensif berbasis siklus hidup dan antisipasi penuaan penduduk; Penyempurnaan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) dan perbaikan mekanisme penyaluran program perlinsos, serta penguatan monitoring dan evaluasi
Program perlinsos dimaksud antara lain: Program Keluarga Harapan (PKH), Kartu Sembako, Bantuan sosial Tunai, dan Kartu Pra kerja, dan lain-lain. Disebutkan rencana pencapaian dari masing-masing. Sebagai contoh, target keluarga penerima manfaat (KPM) antara lain: PKH (10 juta), Kartu Sembako (18,8 juta), dan Bansos Tunai (10 juta), penerima subsidi listrik (32,8 juta). Target jumlah orang, antara lain: Peserta PBI JKN (96,8 juta), siswa penerima Bantuan PIP (20,1 juta), mahasiswa memperoleh KIP Kuliah (1,2 juta), debitur penerima Subsidi Bunga KUR (29,9 juta), Kartu Pra Kerja (10 juta).
Dapat dikatakan, jumlah keluarga dan orang yang menjadi sasaran program perlinsos selama ini memang hampir menjangkau 40% penduduk berpendapatan terbawah.
Meski alokasi dana dan target sasaran teleh sedemikian rupa, sejauh ini hasilnya belum terlampau optimal. Hanya terjadi penurunan jumlah penduduk miskin dan angka kemiskinan secara perlahan. Dan terjadi kenaikan pada saat pandemi berlangsung.
Dapat dikatakan lebih lanjut, ada berbagai detil dari soal kemiskinan dan kesejahteraan penduduk yang tidak mengalami perbaikan signifikan. Bahkan ada yang sedikit memburuk, seperti indeks kedalaman dan keparahan kemiskinan. Sulit untuk tidak menyimpulkan tentang kurangnya efektivitas dan efisiensi program.
Publikasi BPS berjudul “Penghitungan dan Analisis Kemiskinan Makro Indonesia tahun 2020” yang mengolah data Susenas dan survei lainnya pada Maret 2020 menunjukkan hampir semua program tidak tepat sasaran. Meski narasi publikasi tersebut melihat data dari sudut pandang yang lebih optimis dan “menyenangkan”, dapat dibaca secara berbeda. Yaitu yang berhak mendapat, tidak semuanya mendapatkan atau kurang dari 100% jumlah orang atau rumah tangga pada kelompok sasaran. Yang seharusnya tidak berhak, justeru masih memperolehnya. Sasaran meleset dari 40% terbawah.
BPS menyajikan beberapa data yang antara lain terbaca sebagai berikut. Penerima BNPT yang D1-D4 sebesar 61,79%, masih diterima D5-D10 sebesar 39,21%. Q1 penerima KKS sebesar 21,81%, Q2 penerima KKS (17,21%), Q1 penerima PIP (18,24%, Q2 penerima PIP sebesar (14,46%), Q1 penerima PKH (25,87%), dan Q2 penerima PKH (9,03%). Desil (D) merupakan pengelompokkan dari 10% dan Quintil (Q) dari 20% penduduk lapisan berpendapatan terbawah.
Terdapat beberapa faktor seperti ketidaktepatan sasaran dalam penentuan penerima program, mekanisme pendampingan program belum optimal, koordinasi dan pelaksanaan program belum terintegrasi, dan prioritas pendanaan untuk program perlindungan sosial masih terbatas
Harus diakui, tanpa upaya itu, kondisi kemiskinan pada September 2020 akan lebih buruk dari yang dipublikasikan oleh BPS. Namun, tetap diperlukan menganalisis dan mengevaluasi berbagai upaya tersebut, agar diketahui efektivitasnya. Asesmen juga diperlukan untuk perbaikan, eliminasi program yang tidak tepat, mengeskalasi program yang berjalan efektif, serta memungkinkan adanya program baru.
Penulis menilai perlu dikaji soalan yang lebih mendasar dalam pengelolaan ekonomi negara. Ada kemungkinan proses dan dinamika yang berjalan dalam masyarakat menciptakan fenomena pemiskinan. Terjadi semacam perlombaan antara keduanya. Dalam kondisi normal, program bisa mengurangi kemiskinan secara perlahan. Dalam kondisi ekonomi terguncang, seperti pernah terjadi pada krismon 1998 dan pandemi saat ini, kemiskinan bertambah. Dkhawatirkan adanya gejala kemiskinan yang berkelanjutan.
*Kepala Ekonom Institut Harkat Negeri