Hot Topic Hukum

Proses Hukum Janggal, DPR Desak Kejari Pandeglang Profesional Tangani Kasus Revenge Porn

Channel9.id – Jakarta. Seorang perempuan di Pandeglang, Banten menjadi korban revenge porn oleh seorang mahasiswa Untirta berinisial ALW. Menanggapi hal itu, Wakil Ketua Komisi III DPR Ahmad Sahroni mengatakan pihaknya bakal mengawal kasus yang viral di media sosial itu. Pasalnya, proses hukum dalam kasus ini dinilai janggal.

Sahroni menyoroti kejanggalan proses hukum yang ditangani oleh Kejaksaan Negeri Pandeglang. Ia pun mendesak Jaksa Agung dan Komnas Perlindungan Anak untuk ikut turun tangan.

“Kejanggalan demi kejanggalan yang terjadi harus mendapat penyelesaian yang adil. Jangan sampai korban sudah menderita bertahun-tahun dan negara masih tidak bisa menjamin keadilan selama prosesnya,” kata Sahroni saat dihubungi, Selasa (27/6/2023).

“Jadi saya minta atensi khusus dari Jaksa Agung dan Komnas PA terkait kasus ini,” imbuhnya

Menurut politikus Partai NasDem itu, proses peradilan di persidangan itu penting untuk mendapar atensi dari Jaksa Agung. Pasalnya, ia menduga tindakan jaksa di lapangan sudah tidak sejalan dengan instruksi Jaksa Agung ST Burhanuddin.

Sahroni menilai, rentetan kejanggalan dalam proses peradilan itu kini mulai terkuak. Ia menyebut oknum jaksa Kejari Pandeglang banyak melakukan hal-hal yang tidak profesional.

“Padahal kita selama ini susah payah membina dan mengimbau agar para jaksa lakukan tugas dengan hati nurani. Jadi kalau benar itu terjadi, maka Pak Kajagung wajib tidak hanya menindak, tapi juga menghukum yang bersangkutan,” ujarnya.

Sahroni pun menegaskan dirinya bakal terus memantau perkembangan kasus tersebut. Ia juga memastikan kerahasiaan identitas korban tetap terjaga.

“Saya beri catatan tegas, selama proses berjalan, tidak ada yang boleh ekspos identitas korban. Biasakan jaga kerahasiaan identitas korban,” tegasnya.

Kasus pemerkosaan dan penyebaran video porno atau revenge porn seorang mahasiswi di Pandeglang, Banten, sempat viral di media sosial.

Kasus ini mulai mendapat perhatian publik setelah adanya pengakuan seorang guru bernama Iman Zanatul Haeri melalui akun Twitternya @zanatul_91 yang menceritakan kronologi pemerkosaan terhadap adiknya oleh seorang mahasiswa Untirta berinisial ALW.

Dalam cuitannya, Iman mengakui adiknya mendapat kekerasan fisik, verbal, dan psikis oleh pelaku selama 3 tahun. Hal ini diketahui usai kakak korban lainnya berinisial RK, menerima video asusila adiknya. Keluarga korban pun memutuskan untuk melanjutkan kasus ini di persidangan.

Namun, pihak korban menduga ada kejanggalan saat kasus ini memasuki persidangan. Kuasa hukum korban dari LBH Rakyat Banten, Muhammad Syarifain menyatakan bagaimana proses pendampingannya.

“Setelah korban melapor, kami lakukan pendampingan. Kesimpulan kami adalah dugaan pemerkosaan. Namun dalam penyidikan lanjutan, setelah pengumpulan data, penyidik meneruskan perkara ini pada UU ITE,” kata Syarifain dalam keterangan tertulis, Rabu (27/6/2023).

Sebagaimana diketahui, kasus ini ditangani oleh CyberCrime Polda Banten. Meski demikian, kuasa hukum menyayangkan kurangnya komunikasi dan tidak informatifnya pengadilan dan kejaksaan terhadap pihak korban.

“Tidak ada informasi perkembangan perkara bahwa persidangan sudah dimulai sejak tanggal 16 Mei 2023. Menurut kami ini sangat janggal,” ujarnya.

Pengacara korban pun baru mendapatkan informasi mengenai mengenai persidangan pada sidang kedua. Oleh sebab itu, kuasa hukum tidak melihat dan memiliki dakwaan.

“Kita tidak tahu dakwaannya apa. Sebab kita tidak diberitahu ada persidangan. Kami meminta dakwaan kepada Jaksa penuntut, malah menghindar. Belakangan kami baru tahu ternyata mereka tidak mengharapkan keberadaan pengacara untuk mendampingi korban sebagaimana pernyataan saudara korban di Twitter,” tutur Syarifain.

Ia mengatakan, keanehan-keanehan dalam proses hukum sebenarnya sudah dirasakan sejak awal. Misal, saat kuasa hukum meminta agar nama korban tidak ditampilkan dalam website SIPP. Namun, yang terjadi justru sebaliknya.

“Sidang kedua, rencananya tanggal 30 Mei 2023, namun diundur menjadi 6 Juni 2023. Setelah melihat nama korban muncul dalam aplikasi, Kami juga bersurat kepada pengadilan agar nama korban tidak dimunculkan. Namun yang terjadi nama terdakwa yang hilang, nama korban masih muncul. Kok seolah-olah yang dilindungi privasinya adalah terdakwa, bukan korban yang jelas-jelas dirugikan jika data pribadinya tersebar,” tambah Syarifain.

HT

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

8  +  1  =