Masyarakat diminta pilih pemimpin yang pro lingkungan
Politik

PT 0 persen, Anggota DPR: Maksud Keserentakan Pemilu Tidak Tercapai

Zulfikar Arse Sadikin kepada Antara di Jakarta, Sabtu (18/12/2021) mengatakan bahwa Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu mengatur keserentakan pemilu yang menghendaki dilaksanakan dalam 1 hari pemungutan suara, terutama Pilpres satu putaran.Dia mengatakan kalau PT sebesar 0 persen, itu membuka pelung sebesar-besarnya bagi semua partai memiliki pasangan calon. Dengan demikian, pilpres berpotensi tidak bisa satu putaran selesai. Sebab UUD NRI Tahun 1945 mengharuskan pemenang pilpres itu meraih suara 50 persen plus satu suara dengan sebaran 20 persen dari jumlah provinsi.

“Jadi, kalau PT 0 persen, akan terjadi dua putaran,” ujar Zulfikar.

Ia menuturkan maksud pemilu serentak itu adalah untuk mengatasi pembelahan pemerintahan dalam sistem presidensial dengan sistem multipartai yang dianut Indonesia saat ini.

Selain itu,  menurut dia, pemilu serentak tersebut bertujuan agar pemenang pilpres sekaligus menjadi pemenang di pileg.

“Jadi, kalau pileg dan pilpres tidak dilaksanakan dalam 1 hari pemungutan suara dan tidak satu putaran, maksud keserentakan pemilu itu tidak tercapai,” ujarnya.

Zulfikar menekankan bahwa Partai Golkar menitikberatkan pada apa yang mau dicapai dalam pemilu serentak sehingga PT merupakan “jembatan” untuk memperkuat sistem presidensial yang dianut bangsa Indonesia.

Ia berpandangan bahwa besaran PT sebesar 20 persen seperti yang duatur dalam  Undang-Undang Pemilu, itu secara teori probabilitas bisa memunculkan 4—5 pasangan calon presiden/wakil presiden.

“Kalau itu muncul, masyarakat diberi ruang untuk memiliki calon alternatif. Partai ketika mau mencalonkan pasangan calon akan mempertimbangkan banyak hal, seperti suara publik dan figur yang akan dicalonkan,” terang politisi Golkar itu.

Namun menurut dia, apabila ada pihak yang ingin mengubah norma dalam UU Pemilu, bisa dengan revisi dan mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi.

Ia menegaskan bahwa DPR dan pemerintah sebagai pembentuk undang-undang sudah sependapat tidak akan merevisi UU Pemilu. Kesepakatan itu, menurut dia, sudah ditegaskan dengan mengeluarkan Rancangan Undang-Undang Pemilu dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas.

“Beberapa pihak sudah mengajukan uji materi ke MK, kita lihat saja hasilnya karena sebelumnya sudah dilakukan hal yang sama. Kalau MK mengabulkan gugatan itu, pembentuk UU harus menghormati dan menindaklanjuti. Namun, kalau tidak, semua pihak harus menghormati,” pungkasnya.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

71  +    =  79