Aliansi Jurnalisme Independen (AJI) Indonesia, Pegiat Jaringan Gusdurian dan Solidaritas Pemuda Rawamangun (SPORA) menggelar diskusi publik bertajuk “Masa Depan Pemberantasan Korupsi di Periode Kedua Jokowi”.
Diskusi ini digelar di Arena Prestasi, Universitas Negeri Jakarta (UNJ) (22/10/19). Turut hadir Abdul Manan (AJI), Anita Wahid (Gusdurian), dan Budi Santoso (Komisi Pemberantasan Korupsi). Diskusi ini dimoderatori Uly Mega Septiani dari Pers Mahasiswa Didaktika.
Diskusi ini berangkat dari upaya perevisian Undang-Undang KPK. Puluhan mahasiswa pun turut berpartisipasi.
Menurut Anita Wahid, satu-satunya yang bisa berpikir jernih dalam menyikapi polemik ini adalah mahasiswa. “Sebab yang lain telanjur antipati,” katanya.
Ia mengungkapkan bahwa hal itu terjadi akibat isu yang digemborkan pemerintah. Misalnya, isu radikalisme dan talibanisme yang subur di KPK, serta kasus Novel Baswesan adalah rekayasa.
Menurut Anita, pemerintah memang sengaja menggemborkan isu ini. “Agar rakyat percaya. Kemudian pemimpin baru dan RUU KPK diterima,” ujarnya.
“Padahal kalau lihat pasal yang direvisi, tidak ada sama satu pun yang ditujukan untuk menanggulangi isu yang digemborkan tadi,” tegas Anita.
Anita pun memaparkan, sama sekali tidak ada pihak otoritatif yang menjelaskan adanya radikalisme dan talibanisme di KPK.
Selain itu, digemborkan pula bahwa Operasi Tangkap Tangan (OTT) adalah bukti kegagalan KPK.
Menurut Anita, akibatnya mau tak mau publik menjadi berpikir dikotomis: pembela pemerintah atau radikalisme ekstrem. “Kita jadi kehilangan critical thinking,” tambahnya.
(LH)