Ekbis

Punya Potensi Besar, Diskusi INDEF Soroti Tantangan dan Strategi Ekspor Komoditas RI ke India

Channel9.id – Jakarta. Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) menggelar diskusi bertajuk “Peluang Pasar India Untuk Komoditas Indonesia” untuk membahas peluang, tantangan, dan upaya pemerintah dalam memanfaatkan peluang ekspor komoditas ke India. Para pemangku kebijakan dan pelaku usaha yang hadir dalam diskusi ini menyoroti beberapa tantangan, baik dari dalam negeri maupun pihak India, dalam memaksimalkan potensi ekspor Indonesia di sektor pertanian dan kehutanan ke India.

Direktur Ekspor Produk Pertanian dan Kehutanan Kementerian Perdagangan Farid Amir menyoroti peran penting pemerintah dalam mendukung peningkatan ekspor ke India. Menurutnya, meskipun berbagai hambatan, terutama terkait tarif, pemerintah terus berupaya menanggulangi masalah ini dengan berbagai inisiatif.

“Kami selalu mengembangkan promosi dan misi dagang, baik di dalam maupun luar negeri. Termasuk dengan promosi melalui kerja sama kementerian lain, seperti Kementerian Perindustrian dan Kementerian Pertanian. India memiliki potensi besar, meskipun produk yang diekspor ke sana lebih banyak bersifat curah dan melibatkan perusahaan menengah ke atas,” ujar Farid Amir dalam pemaparannya secara daring, Jumat (27/9/2024).

Ia juga menegaskan bahwa pemerintah terus berupaya memanfaatkan perjanjian perdagangan, seperti ASEAN-India Free Trade Area (AIFTA) untuk membuka akses pasar lebih luas bagi komoditas Indonesia.

“Kami sedang meninjau AIFTA dan mengejar PTA (preferential trade agreement/perjanjian perdagangan preferensial) yang lebih menguntungkan bagi produk seperti CPO,” tambahnya.

Di sisi lain, Koordinator Fungsi untuk Wilayah India dan Bhutan Kementerian Luar Negeri (Kemlu) Syafran Haris menjelaskan bahwa salah satu hambatan utama ekspor minyak sawit Indonesia ke India adalah tarif impor yang tinggi.

Ia menuturkan, pada September 2024, India menaikkan pajak impor minyak sawit dari 12,5 persen menjadi 32,5 persen. Hal ini, menurutnya, menambah tantangan bagi Indonesia dalam bersaing dengan negara eksportir minyak nabati lainnya.

“Selain tarif, kampanye negatif mengenai minyak sawit di India juga menjadi tantangan. Minyak sawit dicitrakan sebagai minyaknya orang miskin dan buruk bagi kesehatan, serupa dengan kampanye di Uni Eropa,” jelas Syafran.

Selain hambatan citra, India juga menjalankan program National Mission on Edible Oils – Oil Palm (NMEO-OP) yang bertujuan mengurangi ketergantungan pada impor minyak sawit. Meskipun target peningkatan produksi lokal diperkirakan sulit tercapai, upaya ini tetap menjadi ancaman bagi eksistensi pasar ekspor minyak sawit Indonesia di India.

Dalam menghadapi tantangan tersebut, Farid Amir menekankan pentingnya strategi mitigasi yang melibatkan pemerintah dan pelaku industri. Ia mengatakan, pemerintah Indonesia secara berkala bekerja sama dengan asosiasi minyak nabati India, Solvent Extractors’ Association of India (SEA), dan mengikuti pameran internasional seperti Globoil untuk mempromosikan citra positif minyak sawit Indonesia.

Farid juga menekankan pentingnya perjanjian perdagangan bilateral yang lebih spesifik dengan India, mengingat hingga saat ini belum ada PTA atau Comprehensive Economic Partnership Agreement (CEPA) antara kedua negara.

“Kami sudah mengajukan PTA, dan saat ini bola ada di India,” kata Syafran Haris, menekankan pentingnya mendorong India untuk merespons upaya Indonesia dalam menjalin kerja sama bilateral yang lebih menguntungkan.

Sementara, Ketua Bidang Perdagangan dan Promosi Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Manumpak Manurung menyoroti bahwa India dan Tiongkok merupakan dua pasar terbesar untuk ekspor kelapa sawit Indonesia. Meski India bersifat protektif dengan tarif tinggi, Indonesia tetap berupaya memperkuat posisinya di pasar tersebut.

“India sangat protektif, mereka mengenakan tarif tinggi untuk melindungi pasar domestik mereka. Ini mendorong ekspor kita lebih banyak dalam bentuk crude palm oil (CPO) daripada produk olahan yang memiliki nilai tambah lebih tinggi,” ujar Manurung.

Ia berharap upaya diversifikasi dan hilirisasi produk agar terus didorong pemerintah Indonesia untuk mengurangi ketergantungan pada ekspor bahan mentah. Manumpak juga berharap pemerintah Indonesia dan pelaku industri dapat bersinergi untuk mengatasi hambatan tarif dan non-tarif yang ada, serta menjajaki peluang melalui perjanjian perdagangan bilateral.

“India masih merupakan pasar yang penting bagi kelapa sawit dan komoditas Indonesia lainnya. Dengan langkah strategis dan dukungan pemerintah, kita dapat mengatasi hambatan yang ada dan memaksimalkan potensi pasar ini,” jelas Manumpak.

HT

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

  +  81  =  83