Channel9.id-Jakarta. Bagi yang berkecimpung dalam dunia politik Indonesia, maka nama Rahman Tolleng pasti tak akan asing. Laki-laki asal Watampone, Sulawesi Selatan ini dikenal sebagai aktivis angkatan 66 dan mantan Pemimpin Redaksi Koran Mahasiswa Indonesia pada 1970-an.
Sebagai aktivis 66 yang berhasil menumbangkan Presiden Soekarno, ia cukup dekat dengan kekuasaan baru.
“Kak Rahman jadi anggota DPR. Tapi hanya sebentar, karena dia bilang politik tidak sesuai ide dan ekspektasinya,” ujar Tati, istri Rahman Tolleng saat ditemui di Bandung, Sabtu (26/10).
Meski kecewa dengan politik, kata Tati, aktivitas Rahman tak bisa dilepaskan dari dunia politik. Hampir setiap hari akan ada tamu untuk berdiskusi tentang politik.
“Saya biasanya diminta jangan ikut-ikut politik. Jadi biasanya kalau temannya datang, saya lebih memih main dengan anak saja,” katanya.
Petaka bagi Rahman mulai datang pada 1974, tepatnya pada 15 Januari 1974 atau biasa dikenal Malapetaka 15 Januari (malari). Ketika perseteruan elite politik antara Asisten Pribadi Ali Moetopo dan Jenderal Soemitro yang menyebabkan kerusuhan besar di Jakarta, nama Rahman ikut terseret.
“Kak Rahman dianggap mengagitasi mahasiswa. Padahal, mahasiswa yang datang biasanya hanya diskusi. Tidak pernah Kak Rahman mengagitasi atau memprovokasi mahasiswa,” tandasnya.
Tati menceritakan setelah kerusuhan, Rahman dijatuhi hukuman 16 bulan penjara. Konsekuensinya, Tati jadi harus menjadi tulang punggung keluarga menggantikan peran Rahman Tolleng.
“Saya jualan makanan ringan untuk biaya hidup. Selain itu, saya dan anak juga setiap minggu menjenguk bapak di Jakarta,” ujar Tati yang sejak menikah tinggal di Bandung.
Ada hal yang sulit dilupakan saat Rahman dipenjara, Tati diminta Rahman untuk menyatakan kepada Erman, anaknya, bahwa ia sedang sekolah.
“Saat menjenguk anak saya digendong oleh Hariman Siregar ke dalam sel tahanan,” katanya sambil tersenyum.
Awalnya, lanjutnya, anaknya diam saja setelah dibawa ke dalam sel tahanan, tetapi begitu Rahman bebas dan bermain dengan Erman di rumah. Erman melancarkan protes.
“Bapak bohong! Itu kan penjara, bukan sekolah,” imbuhnya menirukan Erman.
Setelah peristiwa 15 Januari 1974, Rahman sempat tak banyak melakukan aktivitas. Baru, beberapa tahun setelah bebas, ia kembali bekerja di Lembaga Penerbitan Grafiti dan kembali melakukan aktivitas politiknya seperti membentuk Forum Demokrasi (Fordem) pada 1991 bersama Gus Dur, Marsillam Simanjuntak, dan Bondan Gunawan.
Kalah terkenal dari Rocky Gerung
Rahman meninggal pada 29 Januari 2019. Ia dimakamkan di TPU Cibarunai, Bandung, tak jauh dari rumahnya.
Akan tetapi, ketika ingin mengunjungi makamnya, seluruh petugas TPU tak ada yang hafal atau tahu makam Rahman Tolleng.
“Oh temannya Rocky Gerung ya,” ucap salah satu petugas TPU yang enggan mengenalkan namanya.
“Beberapa bulan lalu, ada Rocky Gerung ziarah. Seluruh warga ramai berkumpul ingin melihat dan foto dengan Pak Rocky,” katanya dalam logat sunda.
Hal itu dibenarkan oleh Tati, ia juga merasa heran.
“Lucu ya itu. Rocky jadi seperti artis. Padahal, Rocky kalau mengkritik orang lain itu sangat keras,” selorohnya sambil tertawa.
Tak cukup sampai disitu, sambung Tati, beberapa petugas TPU bahkan meminta untuk dikabari kalau Rocky kembali berziarah.
“Iya saya masih heran tapi lucu. Ya saya sampaikan ke Rocky, dia jawab iya sambil tertawa juga,” ucapnya yang selalu ke makam Rahman setiap hari jumat.
Dikenalnya Rahman sebagai teman Rocky Gerung, dianggap Tati sebagai sebuah berkah.
“Temannya Kak Rahman kan banyak. Jadi kalau ada yang mau ziarah tak perlu repot minta temani saya. Cukup tanya saja makamnya teman Rocky Gerung,” tutupnya tertawa.