Opini

Rayap dan Sepakbola dalam Kurun Pandemi

Oleh: Indra Jaya Piliang*

Channel9.id-Jakarta. Wabah dalam sejarah adalah panggung kemunculan pahlawan dan pengkhianat. Kaum welas asih dan kaum licik picik bertarung guna mencegah kematian dan menghamba kehidupan. Tidak saja metode baru penanganan penyakit tercipta, tetapi tumbukan konflik menjalar di area manusia. Kala terdapat kelompok yang bekerja berdasarkan kemanusiaan yang adil, berkecambah pula kaki tangan manusia dengan prinsip kebinatangan yang biadab.

Wabah saja begitu, apalagi pandemi yang menyapu seantero planet bumi. Dalam menapak tahun kedua, dunia menjadi panggung penuh petaka. Baik berhubungan atau tidak, transmisi energi negatif makhluk tak kasat mata itu menyelimuti perilaku manusia bumi. Tidak saja si miskin saling bunuh, bahkan sang penguasa setingkat Presiden Haiti dieksekusi mati. Pergolakan tiada henti berlangsung antar negara, organisasi profesi, pengusaha, bahkan dalam keluarga sendiri.

Hari ini, giliran itu tiba. Koloni rayap ternyata telah membuat istana indah dengan bahan buku-buku. Entah sudah berapa lama, semalam saya temukan tak sengaja. Rayap-rayap itu saya duga adalah cucu-cicit dari ayah-ibu dan kakek-nenek mereka yang sudah saya eksekusi beberapa bulan lalu. Kemampuan generasi terbaru ini dalam menyembunyikan diri, jauh lebih hebat dibanding nenek moyang mereka yang lengah hingga mudah terlihat. Mereka membuat sarang yang berwara lebih hitam, buram, dan kelam, tersembunyi di sudut tumpukan buku.

Sejak kecil, diajarkan ayah dan ibu untuk tak membunuh serangga. Jejak kekejaman saya dalam pembunuhan massal serangga hampir tak ada. Padahal, area yang saya jelajahi berkali-kali lebih luas dan jauh dibanding rayap-rayap di dalam markas gerilya. Jumlah, jenis, dan metode serangan serangga di rumah, kebun, atau sawah keluarga kami sudah tak bisa dihitung. Hanya saja, saya dididik bersikap welas asih kepada makhluk-makhluk itu. Gigitan yang diberikan, racun yang disemburkan, dan kerusakan kulit yang dihasilkan, berbeda-beda.

Serangan rayap pada buku sudah sering saya hadapi sejak sekolah, kuliah, hingga kini. Metode yang biasa saya pakai adalah menaruh buku-buku yang terkena, bersama rayap-rayap yang memagutnya, dalam area sinar matahari. Saya biarkan mereka eksodus atau migrasi sendiri, ke manapun yang disukai. Tak ada yang saya bunuh, terkecuali telor-telor yang terpanggang, akibat tak sempat terangkut tim evakuasi dari armada darurat yang dibentuk rayap itu.

Bisa jadi saya sedang terjangkit hawa buruk para tiran. Dalam serangan rayap terakhir, saya lebih kejam. Pasukan rayap yang tak ikut terangkut bersama buku-buku dalam pemindahan antar lantai, langsung saya eksekusi. Mati. Massal. Senjata anti serangga berbahan kimia berbentuk gas jadi andalan. Mudah dibeli di toserba atau warung biasa.

Saya semprot lantai dan dinding dengan mimik muka keras-tegas. Lebih seram dibanding wajah serangga apapun. Barangkali itu. Kesumat saya, hinggap pada rayap yang selamat. Berkecambah menjadi dendam yang menyala.

Saya tak perang dalam waktu lama hadapi rayap itu. Tidak pula ada rencana. Saya sedang mencari sejumlah buku. Sebagian bernilai klasik, susah didapat. Ternyata sudah dicerna rayap-rayap itu. Ampas buku keluar dari tubuh mereka. Jadilah material utama pembangunan besar-besaran sarang, jalan dan jembatan. Beruntung, rayap bukan makhluk yang punya kemampuan arsitektur terpandai dalam spesies serangga.

Berbeda dengan kurun pandemi ini. Setiap hari, bahkan hanya dalam pergantian jam, beragam bentuk senjata dikerahkan manusia bumi. Pembebasan satu area, bahkan seluas negara, tak berarti memberi dampak kepada area lain. Jumlah korban yang terpapar dan mati berkurang di satu negara, sementara di negara lain bertambah berlipat kali.

Pusat kerumunan terbesar terjadi dalam bulan kompetisi sepakbola. Perebutan Piala Eropa dan Piala Latin Amerika. Berkerumunan di hadapan layar smartphone, laptop, iPad, televisi. Sorak-sorai yang sayup. Kompetisi sepakbola dalam kepungan pandemi seakan penjara tak kasat mata berukuran raksasa tanpa lubang udara. Pengap. Udara bertuba.

Saya pun ikut serta. Tanpa mitra teriak. Kekawan yang biasa menjadi partner in crime berada di ruang keluarga mereka. Mata saya tertuju kepada kerumunan penonton langsung di stadion, atau area utama pendukung masing-masing negara. Sejumlah pertandingan dihadiri jumlah fans fanatik yang melimpah di stadion. Ledakan Tim Dinamik Denmark tak lepas kehadiran fans itu.

Gairah sepakbola yang membuat iri hati penonton yang terkepung pandemi. Penumpukan penonton Indonesia di depan layar televisi, terbaca dalam status yang tertulis pada dinding laman media sosial. Lewat tengah malam, pukul 02.00 dini hari, hingga pagi. Tak ada syal di kepala. Jersey digantikan kain sarung membelit badan.

Perputaran energi seakan bertukar tempat. Berpindah ke lapangan bola. Bayangkan, begitu banyak perpanjangan waktu dalam perebutan Piala Eropa. Dari babak penyisihan hingga final. Italia menekuk Inggris pun lewat adu pinalti. Fans sepakbola di seluruh tercekik berlama-lama di depan layar tangkapan mereka. Penonton Indonesia menyambut pagi masih dalam keadaan smartphone, iPad atau televisi menyala.

Kedua peristiwa perebutan kampiun sepakbola selesai sudah. Berbondong orang keluar rumah. Disiplin protokol kesehatan rendah. Jangankan orang biasa. Pasukan terlatih sekalipun, apabila kelamaan dalam barak menonton televisi dalam jam terbaik untuk tidur, sudah pasti mengalami penurun kedisiplinan dan kewaspadaan. Yang menaik adalah selera minum dan makan.

Tabrakan hubungan antar manusia terjadi. Mutasi terbaru yang lebih kuat virus hebat ini seperti mengarak piala. Kelamaan menonton televisi membawa kelelahan. Rasa kantuk yang tertahan, jadwal kembali berubah. Kekebalan tubuh menjadi rentan. Virus-virus menemukan indung yang lemah untuk hinggap. Tanpa pernah ada yang menduga, dalam waktu singkat korban-korban virus ini di Indonesia langsung melesat menuju puncak piramida. Juara dalam rupa yang tak terkira. Seakan pergerakan tiba-tiba. Padahal virus yang termasuk kategori hewan, tentu memiliki perilaku yang bukan sihir atau magic.

Bagaimana langkah kita berikutnya?

*Sarjana Ilmu Sejarah, Magister Ilmu Semiotika

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

  +  73  =  81