Oleh: Dr. Syaifuddin, M.Si., CICS.
Channel9.id – Jakarta – Dalam sebuah acara ngopi santai yang digelar Lembaga Pemikiran Strategik Prabowonomik di salah satu warung kopi Jakarta pada Jumat malam, 26 September 2025, berlangsung diskusi menarik mengenai isu Makan Bergizi Gratis (MBG) yang belakangan ramai diperbincangkan di media sosial. Diskusi ini menghadirkan beragam perspektif dari pengamat kebijakan publik Pascasarjana Universitas Mercu Buana, pakar hukum, hingga kalangan pengusaha. Pada sesi awal, perbincangan diarahkan pada pengalaman keberhasilan program MBG di Tiongkok yang, dalam analisis para narasumber, dinilai bertumpu pada kombinasi komitmen politik yang kuat, pendanaan berkelanjutan, manajemen terdesentralisasi, standar gizi yang terukur, integrasi lintas sektor, sistem pengawasan ketat, serta dukungan luas masyarakat.
Indikator Pembanding
Pada awal diskusi, program MBG di Tiongkok dijadikan pembanding sekaligus landasan analisis studi kasus ini. Program MBG di negara tersebut pada dasarnya merupakan kebijakan National Nutrition Improvement Program for Rural Compulsory Education Students (NNIPRCES) yang dimulai pada 2011. Program NNIPRCES dinilai cukup berhasil karena manajemennya berjalan komprehensif dengan didukung beberapa faktor penting, yaitu:
Pertama, komitmen politik dan kebijakan nasional. Pemerintah pusat Tiongkok menjadikan program MBG sebagai prioritas nasional untuk mengatasi ketimpangan gizi anak, khususnya yang tinggal di wilayah pedesaan. Prioritas ini diperkuat dengan regulasi serta dukungan anggaran langsung dari negara sehingga konsistensi pelaksanaan program terjamin.
Kedua, pendanaan terstruktur dan berkelanjutan. Anggaran MBG di Tiongkok bersumber dari kombinasi pemerintah pusat dan daerah, didukung mekanisme transfer fiskal agar daerah miskin tetap mampu menjalankan program. Sistem ini berjalan transparan dengan pengawasan keuangan yang ketat.
Ketiga, manajemen terdesentralisasi. Pemerintah pusat menetapkan standar umum, sementara pelaksanaan diserahkan kepada pemerintah daerah dan sekolah. Sekolah bekerja sama dengan penyedia lokal, seperti koperasi petani setempat, dalam pengadaan bahan makanan. Sistem ini lebih efisien sekaligus memberdayakan ekonomi lokal.
Keempat, kualitas gizi dan standar menu. Menu makanan dirancang sesuai standar gizi nasional dengan variasi protein, sayur, karbohidrat, dan vitamin. Pemerintah melibatkan pakar gizi, lembaga kesehatan, serta akademisi untuk memastikan kualitas dan keberlanjutan MBG.
Kelima, integrasi dengan program pendidikan dan kesehatan. MBG di Tiongkok terhubung dengan program kesehatan sekolah seperti pemeriksaan gizi, kesehatan mulut, dan edukasi gizi. Hal ini memastikan peningkatan gizi berjalan seiring dengan peningkatan kualitas pendidikan dan kesehatan siswa.
Keenam, partisipasi masyarakat dan orang tua. Orang tua murid, komunitas desa, dan organisasi sosial dilibatkan dalam pengawasan mutu. Petani lokal juga terlibat dalam rantai pasok bahan makanan sehingga program mendapat dukungan luas.
Ketujuh, efek ganda ekonomi. Dengan membeli bahan makanan dari petani lokal, program MBG meningkatkan pendapatan masyarakat desa. Efek ganda ini memperkuat dukungan politik dan sosial terhadap keberlanjutan MBG di Tiongkok.
Kedelapan, pengawasan dan evaluasi berkelanjutan. Sistem pemantauan berbasis data digunakan untuk menilai efektivitas program, mulai dari tingkat kehadiran sekolah, prestasi belajar, hingga indikator kesehatan siswa. Pemantauan dilakukan melalui laporan berkala dan inspeksi mendadak (sidak) untuk mencegah penyalahgunaan anggaran dan menjaga kualitas makanan.
Analisis dan Jalan Keluar
Pelaksanaan program Makan Bergizi Gratis (MBG) di Indonesia pada tahap awal masih menghadapi sejumlah tantangan sehingga belum mencapai keberhasilan seperti di Tiongkok. Dari sisi komitmen politik dan kebijakan nasional, sasaran MBG di Indonesia mencakup anak-anak di pedesaan maupun perkotaan tanpa membedakan kelas ekonomi, sehingga potensi ketidaktepatan sasaran cukup besar. Diperlukan regulasi lebih jelas terkait prioritas penerima manfaat agar anggaran negara dapat digunakan secara efektif.
Mekanisme pendanaan MBG yang sepenuhnya berasal dari pemerintah pusat juga perlu dilengkapi dengan skema pembiayaan berlapis, termasuk kontribusi pemerintah daerah. Hal ini bertujuan menjaga konsistensi pelaksanaan program serta memastikan transparansi pengelolaan dana dari pusat hingga daerah.
Hambatan lain adalah belum adanya standar umum yang ditetapkan Badan Gizi Nasional (BGN) dalam implementasi di daerah. Tanpa manajemen terdesentralisasi, sekolah dan pemerintah daerah belum optimal menjalin kerja sama dengan penyedia lokal seperti koperasi atau kelompok petani, sehingga potensi efisiensi biaya dan pemberdayaan ekonomi lokal belum tergarap. Standar menu gizi nasional dengan variasi protein, sayur, karbohidrat, dan vitamin pun belum sepenuhnya terwujud. Karena itu, keterlibatan pakar gizi, lembaga kesehatan, dan akademisi mutlak diperlukan.
Selain itu, partisipasi masyarakat, orang tua, dan komunitas lokal perlu diperkuat. Pengawasan berbasis komunitas akan meningkatkan kepercayaan publik terhadap program. Dari sisi integrasi, MBG di Indonesia masih berdiri sendiri dan belum terhubung erat dengan program kesehatan sekolah. Padahal, jika dipadukan dengan layanan kesehatan dasar, dampaknya akan lebih besar terhadap kualitas gizi, pendidikan, dan kesehatan anak.
Efek ganda program juga bisa lebih nyata jika bahan makanan diutamakan dari petani lokal. Dengan begitu, MBG tidak hanya meningkatkan gizi siswa, tetapi juga mendongkrak pendapatan masyarakat desa serta memperkuat dukungan sosial-politik.
Aspek lain yang perlu diperkuat adalah sistem pengawasan dan evaluasi. Saat ini, MBG belum memiliki mekanisme evaluasi berkelanjutan berbasis data. Padahal, indikator seperti kehadiran siswa, prestasi belajar, dan kondisi kesehatan sangat penting untuk menilai capaian program. BGN sebaiknya membangun sistem pelaporan berkala dari sekolah serta melaksanakan sidak rutin. Dengan pengawasan ketat, penyalahgunaan anggaran bisa diminimalkan, kualitas makanan terjaga, dan tujuan MBG—meningkatkan gizi serta pendidikan anak bangsa—dapat tercapai.
Menjelang akhir diskusi, Ketua Lembaga Pemikiran Strategik Prabowonomik, Tommy Nicson JT, menegaskan bahwa meski isu viral di media sosial kerap menyoroti kelemahan program MBG, implementasi program prioritas nasional Presiden Prabowo ini sebenarnya telah memberi banyak dampak positif. Pertama, rantai pasok bahan makanan dari petani lokal meningkat sehingga kesejahteraan petani terdongkrak. Kedua, para pekerja lokal yang sebelumnya menganggur memperoleh kesempatan kerja baru dalam jaringan MBG. Ketiga, industri otomotif yang sempat terpuruk terselamatkan karena beralih fungsi menjadi produsen food tray. Keempat, pemilik restoran, kafe, dan jasa katering yang hampir bangkrut kini bangkit kembali setelah menjadi mitra MBG.
Di akhir diskusi, Tommy menyarankan agar isu negatif tanpa fakta dapat diredam dengan menekankan fleksibilitas menu. Menu sebaiknya bersifat kondisional, disesuaikan dengan kearifan lokal dan makanan khas daerah, tetapi tetap berlandaskan standar gizi nasional. Pendekatan ini membuat anak lebih mudah menerima makanan sesuai cita rasa mereka sekaligus menunjukkan kepedulian pemerintah terhadap keberagaman kuliner bangsa. Di sisi lain, keamanan pangan harus diperketat untuk mencegah sabotase, baik melalui kepemilikan dapur MBG yang terkontrol maupun pengawasan distribusi makanan.
Selain itu, strategi komunikasi publik harus berjalan paralel dengan pengelolaan teknis. Peliputan berkelanjutan di berbagai daerah yang menampilkan wajah anak-anak gembira menikmati MBG serta testimoni orang tua perlu diperkuat. Visualisasi positif tersebut akan menjadi narasi tandingan yang kuat terhadap kampanye negatif seperti berita bohong. Untuk itu, BGN perlu membentuk Tim Manajemen Media khusus sebagai alat sosialisasi konstruktif, bertugas menjawab isu atau pemberitaan negatif dengan data, fakta, dan kisah keberhasilan nyata di lapangan.
Kesimpulan
Program Makan Bergizi Gratis (MBG) adalah investasi besar bangsa untuk menyiapkan generasi masa depan yang sehat, cerdas, dan berdaya saing. Namun, agar manfaatnya benar-benar dirasakan secara merata, pemerintah perlu memperbaiki regulasi sasaran, memperkuat transparansi pendanaan, melibatkan pakar gizi, masyarakat lokal, guru, dan akademisi, serta memastikan pengawasan berkesinambungan. Dengan langkah korektif tersebut, MBG tidak hanya menjadi simbol politik, tetapi benar-benar hadir sebagai program strategis yang mengangkat harkat hidup anak-anak Indonesia sekaligus memberdayakan ekonomi rakyat.
Penulis adalah Dosen Pascasarjana Universitas Mercu Buana, Peneliti dan Analis Komunikasi Politik