Opini Politik

Revolusi Apa Tanpa Perancis?

Oleh: Indra J Piliang*

Channel9.id-Jakarta. Sejumlah pesohor Indonesia dengan mudah menisbikan Perancis. Hanya akibat perilaku dan penilaian sebagian warga mereka, termasuk Presiden Emmanuel Macron, terhadap Islam, lantas membuat banyak pihak gelap mata. Cara yang ditempuh luamayan kuno dan berulang: boikot produk Perancis.

Dengan cara memboikot, terbukti selama ini ummat Islam Indonesia sama sekali tidak memiliki kemandirian dalam bidang ekonomi. Sebab, ancaman boikot bukan sekali ini saja, dan tidak hanya negara Perancis. Hampir seluruh negara yang dianggap memiliki masalah dengan ummat Islam Indonesia, ummat Islam di negara mereka sendiri, dan atau ummat Islam di seluruh dunia, selalu beri ajian pamungkas: boikot!

Ambil contoh negara Myanmar, India, atau China. Ketiga negara yang mayoritas berpenduduk Hindhu dan Budha itu juga diakhiri dengan kata boikot. Myanmar untuk masalah Rohingnya, India untuk kebangkitan kaum Hindu nasionalis di bawah Partai Baratya Janata, serta China bagi persoalan Uighur. Tak ada komite evaluasi pemboikotan. Dan apakah para pesohor yang berada di depan tetap pada komitmen pemboikotan itu.

Bagaimana yang terjadi terbalik? Keempat negara tadi melakukan boikot produk-produk mereka terhadao negara-negara muslim? Industri militer dan intelektual Perancis, sebagai contoh. Atau produk murah yang berasal dari China atau India? Serta pelbagai perkembangan destinasi wisata bagi kaum muslim kelas menengah yang terdapat di Myanmar, Vietnam, Thailand, hingga Vietnam? Pembatasan makanan halal dan restoran Muslim, misalnya?

Saya tidak bisa membayangkan, kalau Perancis menyusul Inggris, keluar dari Uni Eropa. Langkah dalam membendung kaum migran asal dunia Arab, akibat konflik dalam pengaruh kebiadaban ISIS. Setengah pesepakbola Perancis beragama Islam, termasuk legendaris Zinedine Zinade. Berapa banyak pula yang kudu mengembalikan status kewarganegaraan mereka, jika konflik perbedaan identitas berkelanjutan?

Jika kita menimba mata air sejarah, seberapa banyak yang mendapat pengaruh dari Perancis dalam menjalankan revolusi? Bisa jadi sebagian besar negara yang melakukan revolusi nasional dalam abad ke 20. Pengaruh, dalam arti pergulatan pemikiran yang mereka alami selama menetap, melarikan diri, atau berpetualang di Perancis.

Bahkan kemunculan abad pencerahan atau auflarung di Eropa hampir identik dengan Perancis. Yakni kehadiran café atau kedai-kedai kopi tempat banyak orang bertemu. Pertemuan yang berujung kepada pertukaran ide dan ilmu. Banyaklah istilah yang dipakai merujuk bahasa Perancis.

Terdapat empat bentuk atau jenis revolusi paling legendaris yang mendapat pengaruh dari Perancis. Yakni Revolusi Amerika Serikat dan Revolusi Perancis (abad 18), Revolusi Industri (abad 18-19) dan Revolusi Iran (abad 20). Bisa jadi, revolusi Bolshevic (1917) saja yang tidak mendapatkan pengaruh dari Revolusi Perancis.

Revolusi yang terjadi di pelbagai belahan dunia, termasuk revolusi kemerdekaan di Indonesia, revolusi di China dan bahkan Indo China, sudah bisa “ditebak” direguk dari anggur yang terhidang dari pikiran filsuf hingga kaum revolusioner asal Perancis.

Upaya membangun “kebencian” kepada Perancis dalam konteks demonstratif ala boikot-boikotan sungguh tak punya nalar yang kuat. Ketergantungan  sejumlah negara Arab dan Afrika terhadap persenjataan moderen asal Perancis sungguh besar. Bagaimana “jihad” dengan cara boikot bekerja dalam tataran industri pertahanan ini?

Atau dalam praktek yang lebih membius. Yakni penggunaan parfum asal Perancis. Memang ada parfum selain dari Perancis? Bahan wewangian itu bukannya tersibak dari setiap sapuan kafiyeh petinggi-petinggi agama yang “berperang” melawan bau keringat dari kegiatan mereka? Wewangian yang berlabel halal ataupun minimal berbahasa Arab, bukannya baru muncul belakangan di dunia selebritas Indonesia? Itupun diampu artis-artis yang naik tangga popularitas dari industri sinetron yang sulit dilepaskan dari keluarga Punjabi yang Hindu itu.

Semula, revolusi ditasbihkan kepada perubahan radikal (sampai ke akar) dalam sistem pemerintahan. Yakni dari monarki ke republik. Monarki yang ditopang oleh teokrasi dan kelompok feodal. Itulah yang menjadi dasar betapa revolusi Perancis disebut lebih dulu, ketimbang revolusi yang lain. Belakangan, revolusi dikaitkan dengan pembebasan nasional. Atas dasar itu, Amerika Serikat pun menyebut diri sebagai kekuatan revolusioner, tatkala membebaskan diri dari Inggris. Jejak Perancis jelas ada dalam revolusi Amerika, sekalipun revolusi di Perancis terjadi limabelas tahun setelah kemerdekaan Amerika Serikat.

Dari kilas lintas itu, terlihat betapa rapuh dan konyolnya istilah revolusi moral dan lain-lain yang dihembuskan di Indonesia belakangan. Mau mengubah republik menjadi monarko atau teokrasi? Dengan mencimooh Perancis, semakin tak ada bangunan logika sekecil apapun dalam seluruh pergerakan massa yang disebut jutaan itu.

Saya tidak begitu memahami apa yang dijelaskan oleh Pak Jusuf Kalla ketika menyebut demokrasi Indonesia seperti kehilangan daya tampung atas fenomena Rizieq Shihab. Setahu saya, bahkan tokoh-tokoh yang memiliki kedekatan dengan Rizieq Shihab adalah para pemilih dalam pemilu dan pilkada. Mereka bukanlah tokoh-tokoh yang meneriakkan golongan putih atau revolusi putih. Mereka pemilih. Suara mereka sudah ditampung dalam kotak-kotak demokrasi di tempat-tempat pemungutan suara.

Sudah lama muncul kajian di negara-negara Skandinavia, betapa satu orang warga memiliki lebih sari satu organisasi. Pun dalam sistem politik Indonesia, satu warga bisa saja pendukung Rizieq Shihab, tetapi sekaligus pendukung pasangan tertentu dalam pilpres atau pilgub. Pimpinan mereka juga orang-orang yang jelas-jelas berpartai. Dalam fenomena 212, massa partai politik jelas hadir di lapangan, pun sesudahnya, termasuk dalam jumlah mayoritas dari luar Jakarta.

Cek saja arus pemberitaan sepanjang 212. Arus massa berasal dari mana? Bis, pesawat, sampai kendaraan pribadi itu apa ditumpangi oleh warga Jakarta? Begitu juga dengan pesaing-pesaing mereka, juga berbaris dari luar Jakarta. Pemindahan tugas Kapolda Jawa Barat pascaperistiwa 212 jelas-jelas berdasarkan pertimbangan ketidak-mampuan menahan arus massa yang masuk ke Jakarta.

Berapa hari santri-santri asal Ciamis berjalan kaki?

Pun pihak-pihak yang melakukan “pembelaan” terhadap penumpukkan massa dalam mengarak Rizieq Shihab berasal dari tokoh-tokoh politik. Mereka yang berpidato di dalam mobil komando juga anggota-anggota parlemen nasional yang sebagian besar bukanlah legislator asal DKI Jakarta. Kemacetan luar biasa yang terjadi di Jakarta setiap aksi mobilisasi massa dilakukan, juga bukan terjadi dalam jalanan kampung. Tetapi di jalanan utama. Arus massa hilang juga tak masuk ke perumahan warga, melainkan bermuara di daerah-daerah penyangga hingga luar Jawa.

Dalam soal-soal seperti ini, Ali Syariati layak dikenang. Walau bukan pemimpin revolusi Iran, tetapi keberadaannya di Paris mampu menyusun lapisan intelektual yang secara konsisten mendukung penumbangan Syah Rezha Pahlevi. Kaset-kaset ceramah Imam Khomeini mereka sebarkan ke seluruh Iran, terutama Teheran. Siapapun yang mengaku kaum intelektual, tak bakal berkhianat kepada kehadiran sosok Ali Syariati ini.

Ketika revolusi sedang diteriakkan di Indonesia, siapa Ali Syariati-nya? Itu yang kabur gambarnya. Sehingga yang muncul ke permukaan lagi-lagi ampas, sampah, plus klaster baru Covid 19.

*Ketua Umum Perhimpunan Sang Gerilyawan Nusantara

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

4  +  2  =