Channel9.id, Jakarta – Rusia mengajukan sejumlah syarat keras dalam perundingan damai terbaru dengan Ukraina di Istanbul, Senin (2/6/2025). Dalam dokumen yang dilansir kantor berita Interfax, Moskow menuntut Ukraina menyerahkan sebagian besar wilayah yang diklaim Rusia, seperti Krimea, Luhansk, Donetsk, Zaporizhzhia, dan Kherson, serta menarik pasukan dari area tersebut.
Selain itu, Rusia meminta Ukraina menjadi negara netral, tidak bergabung dengan NATO, menjadikan bahasa Rusia sebagai bahasa resmi, dan mengesahkan undang-undang anti-nazisme. Ukraina menolak tuntutan ini, menyebutnya sebagai upaya delegitimasi yang tidak berdasar.
Pertemuan yang hanya berlangsung sekitar satu jam ini menjadi perundingan tatap muka pertama sejak 2022. Meskipun tidak menghasilkan kesepakatan gencatan senjata, kedua pihak sepakat melanjutkan pertukaran tawanan, memulangkan jenazah tentara, dan membuka peluang untuk perundingan lebih lanjut.
Presiden Turki Recep Tayyip Erdoğan menyebut pertemuan ini sebagai langkah positif dan berharap dapat mempertemukan Vladimir Putin, Volodymyr Zelensky, dan Donald Trump dalam forum perdamaian di Turki.
Rusia mengusulkan dua opsi gencatan senjata: pertama, penarikan penuh Ukraina dari empat wilayah yang diklaim Rusia; kedua, penghentian total mobilisasi militer, dukungan asing, serta pelaksanaan pemilu Ukraina dalam 100 hari. Ukraina menolaknya dan menyodorkan peta jalan damai sendiri, dengan syarat tidak ada pembatasan militer pascaperdamaian, penolakan terhadap klaim kedaulatan Rusia atas wilayah yang direbut, serta ganti rugi.
Di medan perang, eskalasi terus meningkat. Rusia melancarkan serangan drone terbesar sepanjang konflik, sementara Ukraina menyerang balik dengan Operasi “Jaring Laba-laba” ke pangkalan pembom strategis Rusia di Siberia. Analis menyebut ini sebagai serangan paling berani Ukraina sejauh ini, menyasar komponen vital dalam sistem senjata nuklir Rusia.
Presiden Zelensky menegaskan bahwa Ukraina tetap menolak ultimatum dan menyerukan perdamaian sejati.
“Kami tidak akan tunduk, tapi kami juga tidak ingin terus berperang. Kami hanya menunjukkan bahwa kami masih punya kekuatan untuk melawan,” ujarnya.
Sementara itu, Presiden AS Donald Trump dan sekutu Barat terus mendorong gencatan senjata, meskipun operasi militer Ukraina sering kali dilakukan tanpa pemberitahuan ke Washington maupun London.